5. Ayah dan Anak {Bagian 2}

580 80 3
                                    

Saat ini Dursala dan Dursita sedang menghabiskan waktu mereka bersama sang ayah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat ini Dursala dan Dursita sedang menghabiskan waktu mereka bersama sang ayah.

Bertahun tahun mereka hidup tanpa cinta seorang ayah kini akhirnya terbayarkan.

Mereka menceritakan sagala hal terutama apa yang terjadi hari ini oleh para pangeran kurawa itu.

"Jadi maksud kalian, keseratus satu  saudara laki laki mengintipi kalian hanya karena penasaran dengan permaianan?" sekarang Destarastra tidak tahu harus berkata apa. Ini sungguh diluar pemahamannya.

"Aywah tewkejwut um bukan, lalu bagaimana dengan kami" jawab Dursita sembari memakan kue kue di dapannya itu.

"Sita habisakan makanan mu dulu baru kemudian berbicara, itu sangat tidak sopan sebagai seorang putri" omelan Dursala akhirnya keluar.

"Huu kwakak apwha swayahnya akhwu juga bwaik baik saja- uhuk uhuk air uhuk" lihat, belum apa gadis itu sudah mendapatkan karmanya.

Dengan cepat Destarastra memberi air kepada putrinya itu. Seperti kesetanan, Dursita meminum air itu dengan sangat cepat.

"Huhuhu ayah terimakasih" ucap Dursita

"Lihat belum apa kau sudah mendapat ganjaran karena tidak memedulikan perkataan kakakmu ini huh" kata Dursala dengan kesal.

Namun bukannya menyesal, Dursita malah tersenyum kearah sang kakak seakan akan ini memang sudah biasa.

Destarastra menatap hal itu dengan penuh bahagia, bagaimana dia bisa melewati beberapa tahun pertumbuhan putri putrinya ini.

"Oh iya, omong omong ayah. Mengapa ayah tampak sedikit tidak nyaman dengan perempuan. Aku dapat melihat itu dengan baik" sebenarnya Dursita sudah tahu alasannya. Namun dia ingin melihat dan mendengar jawaban dari ayahnya secara langsung.

Kedua anak perempuan itu dapat melihat wajah sang ayah menegang. Kemudian disusul dengan tangannya yang mencengkram erat kursi yang digunakan.

"Ini..." Destarastra tidak tahu harus menjawab apa.

"Apa ini karena ibu" tanya Dursala. Namun pertanyaannya tidak menuai jawaban yang artinya memang benar.

"Ayah apa kau ingin mendengarkan ku sebentar" tanya Dursita. Destarastra masih tidak menjawab namun dapat dilihat bahwa dia menanti jawaban Dursita.

"Aku yakin ayah seperti ini karena ibu menutup matanya bukan..." Dursita terdiam sejenak, "ayah sejujurnya ada alasan mengapa ibu menutup matanya" jika orang lain yang mendengar pernyataan Dursala dan Dursita tentu mereka terkejut karena kedua anak ini bahkan belum berusia dewasa.

"lalu apa alasannya sita" itulah jawaban sang ayah.

"Ibu menutup mata untuk menghargai ayah. Ibu tulus mencintai ayah selama ini. Alasan mengapa ibu menutup matanya adalah untuk berbagi kepedihan ayah dengannya. Ayah, ibu tidak rela bila dia bisa menikmati dunia ini dengan matanya sementara engkau harus hidup dalam kegelapan. Itulah sebabnya ibu rela menurut mata untuk selamanya" kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Dursita sontak membuat air mata kembali jatuh dari mata pria yang bersatu ayahnya itu.

"Seperti dewa Siwa dan dewi Parwati yang disatukan dalam satu tubuh sebagai ardhanariswara murti. Ibu juga ingin berbagi segalanya dengan ayah, termasuk penderitaan ayah selama ini. Itulah alasan ibu menutup matanya ayah, ibu tidak ada niatan untuk menghinamu namun justru dia sangat menghormati mu" pecah sudah tangisan raja Hastinapura itu.

Selama ini tidak ada sedikit pun rasa kasihan kepada istrinya maupun rasa bangga melainkan hanya rasa benci. Namun kini dia memahami alasan sebenarnya sang istri menutup matanya.

"Ayah jangan bersedih, melainkan perbaikilah apa yang ada selagi bisa" ucap Dursala.

Begitulah hingga akhirnya Destarastra mengeluarkan pengumuman sekaligus dekrit bahwa siapapun yang menghina istrinya, maka sungguh itu akan sama dengan menghina dirinya sendiri.

Pengumuman tersebut menyebar luas dengan sangat cepat hingga sampai ke telinga Gandari.

Air mata mengalir dengan deras dari kedua mata yang tertutup kain itu, namun tidak kali ini bukan air mata kesedihan namun air mata bahagia.

Suaminya telah mengakuinya, suaminya telah membelanya. Ini bahkan lebih berharga dibanding seluruh emas dan perhiasan di dunia ini.

Bukan hanya Gandari yang merasakan kebahagiaan tersebut, melainkan anak-anaknya, Bisma, Widura dan para pelayan maupun pengawal ikut senang.

Saat itu pula Gandari dengan segera melakukan pemujaan atas berkah dan kebahagian yang telah dewa berikan padanya.

Air mata kebahagian tidak bisa berhenti untuk terus menetes disetiap langkahnya.

Dia sangat yakin bahwa ini adalah awal kebahagian yang dikirimkan para dewa dan dewi kepada keluarganya.

Disisi pangeran kurasa, tentu mereka senang mendengar dekrit tersebut.

Mereka merayakan ini bersama dengan saudara saudari mereka melalui acara makan makan yang tentunya dimenangkan oleh Dursila.

Suka cita memenuhi istana hari itu, seakan akan ada cahaya di dalam istana.

Bahkan pada pelayan dan pengawas terus menerus memamerkan senyum mereka.

Sudah bukan rahasia umum mengenai bagaimana dinginnya hubungan rumah tangga raja dan ratu Hastinapura.

Oleh sebab itulah mereka sangat bahagia dengan adanya berita imi

~~~~~~~~~

Sementara itu di pegunungan yang tinggi nan jauh, sepasang dewa-dewi tampak menatap peristiwa itu dengan penuh kebahagiaan. Satu sejarah berubah, tidak tetapi dua.

"Istriku, keputusanmu sungguh tepat. Lihatlah akhirnya putri kita bisa hidup dengan baik juga senantiasa berada di dalam pengawasan kita" ucap suami yang saat ini tengah duduk di atas batu es.

"Aku tidak akan pernah salah dalam hal ini, terutama karena dia adalah putri kita suamiku" ucap sang istri yang tak lain adalah dewi Parwati.

Mereka adalah dewa dan dewi tertinggi, Dewa Siwa dan Dewi Parwati.

"Dia mewarisi sebagian kebaikan dan keberanian mu sementara dariku kini tampak kejelasan adanya kebijaksanaan di dalam dirinya. Kelak dialah yang akan menjadi patokan kehidupan manusia" kata dewa Siwa

"Oleh karena itu, sebagai seorang ayah akan aku kirimkan berkah ku kepadanya. Dia akan menjadi bentuk cinta, kemanapun dia berjalan dan dimanapun dia menapakkan kakinya maka hanya cinta dan kebahagian lah yang akan mengikuti nya" Dewa Siwa tersenyum menatap kearah depan.

Dewi Parwati yang mendengarnya sangat bahagia, benar yang dikatakan suaminya.

Dursita telah mendapat apa yang seharusnya menjadi miliknya, sebagai ibu dia sangatlah bahagia. Bila dulu dia tidak tahu bagaimana kehidupan anaknya maka kini dia akan menyaksikan sendiri pertumbuhan dari anak bungsunya itu.

Menerawang ke depan, dia sungguh berharap hanya akan ada kebahagian di alam manusia sana. Terutama untuk Putrinya, Dursita.

~~~~~~~~

JANGAN LUPA VOTEEEE BEBEB KUUUH
KOMENN JUGAAAA



Takdir Yang BergeserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang