❝ Kalau lo butuh bantuan, I'll help you. ❞
❝ So, can you help me? ❞ Delacey menyeringai. ❝ My lips wanna taste yours. ❞
Jeaven mendekatkan wajah, mempertemukan bibir Delacey dengan miliknya.
❝ As you wish, My Lady. ❞
•••
Seolah tertelan semesta be...
1K nya dulu baru fast update! ·˚ ༘₊· ͟͟͞͞꒰➳ ________________________________
Previous Chapter:
"It hurts," balas Delacey dengan desahan samarnya, "But addictive." "I know." Jeaven kini memegang kendali. "I'm Jeaven and I'll make you feel like you're in heaven."
Malam itu, Delacey sungguh merasakan surga dunia yang sebelumnya belum pernah ia rasakan dari siapapun. "Harder. Harder." Dan momen itu sungguh mengguncang tetapi candu bagi mereka.
"Harder." "Sure, Lady." Jeaven membalas dengan bisikan berat ke telinga gadis yang sangat intim dengannya saat ini. "But first... call my name. Call my name, Delly." "Fuck you, Jevy."
"Yeah. I'm fucking you."
***
Delacey tertegun dengan wajah kembali berubah merah untuk kesekian kali sampai ponselnya berbunyi cukup keras hingga mendistraksinya. Segera ia mengambil alat komunikasi dengan tiga kamera besar itu lalu memeriksa pesan yang ia pikir berasal dari Agatha atau Larissa. Nyatanya tidak. Selain ciuman tadi pesan kali ini juga berhasil membuat Delacey membeku. Matanya melebar. Terpaku seperkian detik. Sebelum Delacey melempar handphonenya sembari menjerit histeris. ________________________________
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pesan yang Delacey terima tadi sanggup memengaruhi pikirannya selama perjalanan menuju sekolah. Cewek itu hanya bersandar di jendela mobil tanpa berbicara sepatah kata pun kepada Jeaven yang sedang mengemudi mobil.
Jeaven berusaha menyentuh tangan Delacey dengan tangannya yang tidak memegang kemudi. Delacey tidak bereaksi apapun, membiarkan tangan kekar itu mengelus lembut tangan mungilnya.
"Don't be afraid, no one will hurt you anymore like what I said." Jeaven berusaha menenangkan. "I'm your guardian."
"Don't be afraid?" Delacey memandang Jeaven dengan tatapan frustrasi. "Di luar sana ada pembunuh yang ngincer buat bunuh gue, gimana gue gak takut. Setelah gue lihat gimana orang gila itu bunuh anjing yang ada di foto itu... gue semakin yakin kalau peneror itu emang psikopat gila! Fuck!"
Sial. Lagi-lagi Delacey teringat dengan pesan yang ia terima tadi di rumah.
"What's going on? Kenapa, Delly?"
Jantung Delacey seperti berhenti berdetak begitu menemukan foto mengerikan dan pesan yang baru saja ia terima.
Segera Jeaven memeriksa pesan yang membuat Delacey sampai melempar ponselnya ke lantai. Dengan kaget, Jeaven melihat foto mengerikan yang dikirim oleh nomor tidak dikenal. Sebuah foto anjing berbulu lebat yang dimutilasi dengan sangat sadis. Bahkan salah satu matanya copot. Di bawah foto itu ada sebuah pesan ancaman.
anjing ini sangat menyebalkan, dia selalu menggonggong dengan angkuh, mengingatkanku padamu. jadi saya bunuh dia seperti ini. mungkin ini adalah spoiler gimana nanti saya akan membunuhmu. Dan penjaga sialanmu itu.
Adalah pesan yang mereka terima yang tidak lama kemudian langsung menghilang tanpa jejak.
Mobil Jeaven akhirnya memasuki area sekolah begitu Delacey mengatakan kalimat barusan. Mereka tidak langsung turun dari mobil begitu Jeaven memarkirkan kendaraannya karena Jeaven menanggapi ucapan Delacey yang belum sempat ia balas.
"Gak ada yang perlu dikhawatirin, gue bakal tangkap orang yang berusaha bunuh lo sebelum dia berani nyakitin lo," balas Jeaven sembari melepaskan seat belt. Matanya menatap Delacey intens. "Gue bakal selalu di samping lo 24 jam supaya gak ada celah orang itu buat nyakitin lo. Don't worry, okay?"
Delacey bersedekap, membalas tatapan tajam Jeaven. "Gimana kalau keadaan justru terbalik? Gimana kalau justru lo juga ikut mati Jev karena berusaha lindungin gue? What if you die because of me?"
"I won't fucking die." Intonasi Jeaven meninggi. Tatapannya kepada Delacey juga lebih tajam. "Gue gak bakal mati di tangan siapapun."
"Lo bukan Tuhan, jangan ngomong seolah-olah lo itu gak bakal bisa mati," jawab Delacey. "Lo gak bakal pernah tau mungkin aja lo nanti bisa mati saat psikopat that I don't even know lagi coba bunuh gue. Lo bisa aja mati waktu lo lindungin gue, jadi stop suruh gue buat tenang because you don't even know what's going to happen."
"I'm never afraid to die but I won't fucking die that easily." Jeaven kembali menggenggam tangan Delacey. "Gue gak bakal mati sebelum orang yang coba bunuh lo itu... mati. Trust me, Delly. You have nothing to fear because I'm here to protect you."
Delacey terdiam, memandang Jeaven lekat dengan matanya yang mulai berkaca-kaca ketika mendengarkan kalimat yang terdengar sungguh-sungguh dari bibir Jeaven.
"Kalau lo mati karena gue gimana?" Pertanyaan itu keluar lagi dari mulut Delacey secara spontan.
Jeaven menggenggam tangan Delacey semakin erat. "Hei, itu gak bakal terjadi kayak yang gue bilang barusan dan itu juga gak bakal terjadi buat lo."
"Kalau lo dalam bahaya karena gue, lo masih ada buat gue?"
"Justru itu kenapa gue ada di sini, Delly." Jeaven tersenyum. "Gue harus melindungi orang yang gue sayang dari bahaya. So how could I possibly go?"
"Gue pegang omongan lo." Delacey meruncingkan matanya sinis. "Kalau sampai lo mengingkari lagi, gue sendiri yang bakal bunuh lo," ancam Delacey entah sudah keberapa kalinya.
Jeaven terkekeh lalu mengelus puncak kepala Delacey. "Kamu kenapa gemesin gini sih."
"Dih!" Wajah Delacey kembali bersemu merah hanya karena kalimat singkat yang baru saja terlontar. "Kamu! Kamu! Emang siapa yang kasih lo bilang gitu!"
"Aku." Jeaven mendekatkan wajahnya ke wajah Delacey. "Selain bodyguard kamu, aku 'kan juga pacar kamu sekarang."
Delacey terbelalak. "Siapa yang bilang? Sembarangan!"
"I was waiting your answer yesterday." Jeaven membawa sehelai rambut Delacey ke belakang telinga. "Kamu belum jawab tapi... kamu memberikan reaksi yang justru meyakinkan aku tanpa jawaban itu sendiri aku tahu apa kita sekarang."
Ucapan Jeaven berhasil membuat Delacey mematung sembari menelan salivanya dengan amat susah.
"We did more than just kiss yesterday." Jeaven berbisik tepat di daun telinga Delacey, desiran udara dari bibir lelaki itu menyentuh lembut permukaan kulit Delacey. "Do you regret we did that, Lady?"
"..."
"Tell me. Do you regret?"
"No." Delacey langsung membalas. "Fuck. I'm not regret it."
Jeaven menarik kedua sudut bibirnya sebelum mengecup kening Delacey. "Okay then, so you're mine right now." Jeaven turun dari mobil lebih dulu kemudian membukakan pintu mobil untuk tuan puterinya. "Ayo. Kelas sebentar lagi mulai, Sayang."
"Lo... kenapa pengen pacaran sama gue sih?"
"Dan gue gak bakal bosen buat jawab... seperti yang gue katakan, My hearts belongs to you." Jeaven mengulurkan tangan mengajak Delacey. "Since my eyes met yours."
༄𝄡𝄢𓆩ᥫ᭡𓆪𝄡𝄢༄
"Jadi ngapain aja lo selama diskors kemarin?"
Adalah pertanyaan dari Agatha yang sedang bersantai di sekitar area taman hijau sekolah bersama Delacey dan Larissa setelah melewati kelas kimia yang membosankan. Bahkan Agatha dan Larissa tadi memilih meninggalkan kelas untuk bersemayam di toilet, tapi tidak untuk Delacey. Selain karena perintah Jeaven, pikiran Delacey juga masih terpusat tentang peneror itu sehingga ia terus mendekam di kelas dengan pikiran berkelana.
Saking fokus memperhatikan Jeaven yang sedang bermain basket di lapangan luas tepat di depannya, Delacey sampai tidak mendengarkan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Did you hear me? It was like I was talking to the devil," jengkel Agatha karena tidak ditanggapin oleh Delacey.
"Oh?" Delacey menaikan satu alisnya. "Lo ngomong apa barusan?"
Agatha memutar kelereng matanya. Sedikit kesal. "Selama diskors lo ngapain aja sampai gak keliatan dan gak ada kabar?" ulangnya.
"Betul! Lo gak tau apa kalau kita itu kangen dan cemas banget sama lo! Kita pikir lo kenapa-kenapa. Kalau hari ini lo gak sekolah, kita rencanaya mau datang ke rumah lo tau!"
Lagi-lagi Delacey terdiam tetapi pikirannya menjawab. Selama diskors gue ke taman hiburan sama Jeaven, piknik di pantai, diculik orang, hampir mati, masuk rumah sakit, ketemu sama pembunuh kakak gue, ke pemakaman kakak, dan... tidur bareng Jeaven.
Hal terakhir sanggup membuat pipi Delacey berubah merah lagi.
"Eh? Kenapa lo?" heran Agatha melihat Delacey yang tiba-tiba salah tingkah sendiri. "Sakit lo sekarang?"
Larissa cekikikan. "Pasti selama libur bareng Jeaven lo... main ya sama dia?"
"Sembarangan mulut lo!" sewot Delacey dengan nada melengking hingga membuat para siswa di sekitar tersentak. "Gak, anjing," sangkalnya.
Pandangan Larissa lantas menuju ke arah Jeaven yang masih bermain basket sesekali lelaki itu mencuri pandang ke arah Delacey untuk memantau. "Ya mau gimana lagi, Jeaven itu ganteng, hot, seksi, kekar, berotot gue kalau diajak pun gak mau. Gak mau nolak maksudnya."
Agatha langsung menyentil dahi Larissa. "Najis banget mulut lo."
"Tapi kalau gue gak bisa sama Jeaven." Pandangan Larissa lalu berpindah kepada cowok keturunan Jepang yang juga turut main bersama Jeaven, "Sama Hitoshi juga gak apa-apa deh." Larissa kemudian memandang Agatha. "Jir! Gue ada ide! Delacey jadian aja sama Jeaven, gue sama Hitoshi, dan lo sama Vincent! Terus kita triple—dwate—awnjing! Puki!"
Ucapan Larissa terpotong begitu Agatha memasukan sepotong sandwich ke mulut gadis itu. Sementara Delacey hanya terdiam saking banyaknya hal menyerang kepalanya sekarang.
Siapa yang mencoba membunuhnya jika bukan Oliver alias pembunuh kakaknya yang pasti punya dendam?
Siapa yang bekerja sama dengan Oscar mantan berengseknya itu?
Siapa yang membencinya lagi?
Pertanyaan itu menguasai pikirannya sekarang.
"Eh lihat tuh, musuh lo juga udah sekolah lagi setelah jambak-jambakan sama lo sampai diskors," komentar dari Agatha otomatis membuat Delacey menoleh ke orang yang dimaksudkan temannya. Sakura.
Adik kelasnya yang sejak awal sudah mencari masalah dengan selalu meniru penampilan hingga tingkah lakunya bahkan dulu terang-terangan ingin merebut Oscar yang ternyata adalah selingkuhan Mama dari cewek itu.
Sampai akhirnya sesuatu melintas seketika di kepalanya.