⋆༺ 25 - PRISON

3.9K 352 1K
                                    

1K nya dulu baru fast update! ·˚₊· ͟͟͞͞꒰➳
________________________________

Tempat selanjutnya yang Delacey datangi juga bukanlah tempat menyenangkan. Wilayah perkumpulan narapidana yang terperangkap di dalam jeruji besi pasca melakukan perilaku kriminal yang melanggar norma. Delacey tidak menyangka akan mengunjungi tempat yang sama sekali bukan termasuk dalam daftar tempat yang ingin ia datangi.

Selama perjalanan tadi, Delacey seratus persen yakin jika narapidana yang ingin ia kunjungi telah melarikan diri dari penjara. Ia bisa memastikan jika polisi yang menurutnya tidak berguna telah membiarkan pelaku kriminal itu kabur.

Delacey sangat yakin akan pikirannya itu.

Namun, keyakinan yang ia bangun sangat besar langsung runtuh begitu ketika dirinya diantarkan oleh petugas kepolisian di dalam ruangan khusus pengunjung. Ia harus duduk selama beberapa menit sampai seseorang yang ia pikir telah melarikan diri, tiba-tiba muncul di hadapannya mengenakan seragam khas narapidana.

"No way..." gumam Delacey tidak percaya.

Pria yang diantar oleh penjaga itu kini duduk berhadapan dengan Delacey di mana meja dan kaca besar menjadi pembatas sehingga masih ada sesuatu yang menghalangi interaksi mereka.

Terakhir kali Delacey lihat, pria itu berpenampilan sangat menawan. Rambut dicukur rapi, wajah mulus, kacamata terpasang, tanpa kumis ataupun jengot menghiasi. Mungkin bisa dibilang, Oliver juga termasuk lelaki berpenampilan idaman waktu itu. Tetapi sekarang pria itu terlihat sangat kacau dan tidak terurus. Rambut gondrong, kumis tebal, berewokan, dan badan yang semakin kurus serta kulit menggelap.

Delacey menahan tubuhnya untuk tidak gemetaran.

Pria itu menyeringai sembari terkekeh sinis ketika melihat kehadiran Delacey. "Delly... Delly."

Delacey menelan saliva susah payah.

"Kau..." Pria itu memperhatikan penampilan Delacey dengan saksama disertai seringai yang tidak kunjung lenyap di bibirnya. "Kau tumbuh dengan sangat baik ya, Adik Ipar?"

Pria itu, Oliver. Mantan pacar Kakaknya.

Jika orang ini masih terperangkap dalam penjara lalu siapa lagi musuh yang meneror dan mencoba... membunuhnya? Lalu siapa orang yang berusaha menenggelamkannya kemarin?

"Kalau dilihat dari penampilan, kayaknya lo hidup dengan sangat nyaman setelah semua hal buruk terjadi ya?" Oliver terkekeh sinis. Mata tajamnya mengamati Delacey. "Jadi gimana rasanya hidup tanpa seorang Kakak? Menyenangkan bukan bisa habisin seluruh harta dan kekayaan bokap lo tanpa pengganggu. Hidup lo masih sangat bahagia. How lucky you are, Delly."

"Gue gak punya banyak waktu buat basa-basi." Rahang Delacey mengetat ketika melontarkan kalimat ketus dengan badan yang ia tahan supaya tidak gemetaran. "Gue bakal langsung ke intinya."

"Oh, sure. Apa yang mau lo lakukan di sini?" Oliver terkekeh menyebalkan. "Lo pasti sangat merindukan orang yang telah membunuh Kakak tercinta lo 'kan?"

"Watch your fucking mouth, you idiot." Delacey meremas ujung roknya sambil menggertakan gigi. Tatapannya berubah nyalang begitu Oliver mengucapkan perkataan tidak menyenangkan itu.

Oliver kembali terkekeh. "Oh, sepertinya Delly kita benar-benar sudah dewasa, sudah sangat pintar mengumpat. Padahal rasanya baru kemarin Delly kita masih kecil, manis, dan..." Senyuman Oliver langsung lenyap. Tatapan matanya berubah lebih dingin. "Menyebalkan."

Oliver mendekatkan dirinya, sekalipun kaca besar menghalangi jarak. Rahang pria itu turut mengeras, tatapan penuh dendam menyala di matanya. "Hei, jalang sialan," lontar pria itu. "Bisa-bisanya setelah lo menghancurkan hidup gue di sini... lo hidup dengan bahagia."

"Dasar pria bodoh."

Oliver mendelik. "Apa lo bilang?!"

"You are the one who ruined your fucking life. Lo hamilin Kakak gue tapi lo gak mau tanggung jawab kayak bajingan dan brengseknya lo sampai bunuh kakak gue bahkan anak kalian cuma karena pecundang kayak lo gak mau tanggung jawab." Bibir Delacey bergetar ketika mengatakannya. "Dan lo masih bisa nyalahin gue atas kebodohan lo sendiri? Lo dendam sama gue karena perbuatan sialan yang lo bikin sendiri? Dickhead killer."

Mata Oliver semakin melotot. "Seandainya lo gak di sana malam itu, gue gak bakal berakhir seumur hidup di sini, Dasar Jalang!" teriaknya.

"Berhenti nyalahin gue atas penderitaan lo, dasar bodoh," ketus Delacey. Matanya memandang lebih intens. "Lo gak punya hak buat dendam sama gue apalagi sampai gunain kaki tangan buat balas dendam."

"Apa lo bilang?"

"Gue tau lo punya kaki tangan yang lo suruh untuk balas dendam buat bunuh gue tapi sayang sekali, anak buah lo gagal lakuinnya." Lagi-lagi Delacey menahan tubuhnya untuk tidak gemetaran. "Berhenti melakukannya. Berhenti bertindak lebih bodoh sebelum gue bikin lo semakin menderita di sini."

Tiba-tiba saja Oliver tertawa dengan sangat keras. Pria itu terus tertawa selama beberapa saat sampai membuat Delacey menahan diri untuk tidak memecahkan kaca di depannya untuk membungkam mulut pria itu dengan sepatunya.

Tawa Oliver redup seketika. "Kaki tangan? Bunuh lo?" Tatapan Oliver. "Bahkan gak ada satu pun orang yang jenguk gue di tempat sialan ini, bangsat. Bagaimana mungkin gue punya kaki tangan, sialan!"

"Atau mungkin... lo sendiri yang melakukannya."

Oliver tertawa lagi. "Oh, sekarang gue ngerti tujuan lo berkunjung." Pria itu menarik satu sudut bibirnya ke atas kembali. "Lo mau mastiin kalau orang yang coba bunuh lo itu gue? Sayang sekali, penjara sialan ini bahkan gak kasih gue celah buat gue lepas."

Delacey terdiam dengan pikiran berkelana. Pria itu bisa saja berbohong. Ingat Delacey, pria di hadapan lo adalah pembunuh. Bukan seseorang yang bisa dipercaya omongannya. "Pembohong."

"Jadi, sungguh ada orang yang berusaha bunuh lo?" Oliver tersenyum senang. "Wah. Sepertinya lo udah melakukan banyak dosa di dunia ini sampai banyak sekali orang membenci dan mencoba bunuh lo. Sungguh menyeramkan, hidup lo disekelilingi pembunuh, Delacey Sayang."

Mata Delacey yang terus menatap tajam perlahan memerah dan berkaca-kaca.

"Katakan dengan jujur bahwa lo adalah orangnya, brengsek."

"Sayang sekali..." Oliver tertawa lagi dan lenyap dalam seketika. "Bukan."

"Sial...."

"Tapi mendengarkan bahwa ada orang lain yang berusaha bunuh lo cukup membuat gue senang dan berterima kasih. Jadi gue bisa tidur dengan tenang di sini sambil menunggu berita kematian lo," kekeh Oliver jahat. "Gue doakan semoga orang itu berhasil mencapai tujuannya karena itu akan membuat gue hidup bahagia di sini. Setidaknya, orang yang menghancurkan hidup gue juga... binasa."

Mata Delacey semakin berkaca-kaca dan bibir gemetaran yang terlihat. "Fuck."

"Kenapa?" Tawa jahat Oliver tidak berhenti-henti. "Takut? Oh, kasihan sekali, Delly tercinta ini merasa takut. Kayaknya gue bisa bantu lo tapi..." Oliver menopang dagunya dengan seringai semakin tebal. "Lo harus bantu gue keluar dari sini lebih dulu."

"I'd rather die than let a bastard like you out of this fucking hell," tekan Delacey dingin. "Tapi gue bakal pastikan kalau gue gak bakal mati di tangan pembunuh gak berotak kayak lo. Gue akan pastikan... lo atau siapapun yang coba hancurin gue yang bakal sengsara."

Delacey beranjak bangun dari kursi. "Dan gue doakan, supaya lo membusuk di tempat ini... selamanya."

"Sial... Mau ke mana lo?! LEPASKAN GUE DARI SINI! JALANG SIALAN! KELUARKAN GUE DARI TEMPAT INI BANGSAT! GUE... GUE PASTIKAN HIDUP LO HANCUR JUGA! DASAR JALANG!" Oliver mengamuk hingga urat-urat di lehernya menonjol ketika berteriak. Petugas kepolisian segera menahan pria itu dan menariknya kembali ke dalam sel tahanan.

Sementara Delacey yang baru saja keluar dari ruang kunjungan itu langsung menemukan Jeaven di luar yang senantiasa menunggu—sebenarnya Jeaven ingin menemani tetapi sesuai prosedur, hanya satu orang saja yang boleh menjenguk dan Delacey juga ingin berbicara empat mata. Jeaven segera menghampiri perempuan yang keluar dengan ekspresi datar tapi gelisah.

Jeaven menggenggam tangan Delacey. Laki-laki itu tahu Delacey tidak baik-baik saja.

DELACEY & HER GUARDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang