Chapter 41 : Let you go

378 45 11
                                    

Perang dengan monster kedua kalinya yang di alami oleh kekaisaran kali ini menimbulkan kerusakan lebih banyak. Hutan Redland luluh lantah, Pasukan Heavenstone dan Leafrostt pun mengalami banyak kerugian baik secara finansial maupun sumber daya.

Selene Landrect sebagai tuan rumah Garanhir yang baru, mengalami banyak kerusakan. Sebagian kebun di wilayah mereka terbakar dan terkontaminasi kutukan dari monster. Pangeran Dios pun ikut membantu menyuntikan dana kerugian kepada wilayah tersebut yang merupakan wilayah paling terdampak perang. Ia berusaha sekuat tenaga menyatukan rakyatnya saling bahu membahu membangun kembali kota kecil mereka.

Di sisi lain, Duke Xander dan Xavier memulihkan wilayah Leafrost dan Heavenstone di bantu dengan orang tua mereka, Slavia dan Regis. Slavia merupakan mantan Duchess Leafrost sebelumnya sehingga ia lebih tahu bagaimana cara memulihkan Leafrost lebih dari siapapun.

Sedangkan di kediaman Greenleaf, Xane dan Sirius termenung. Menunggu kapan gadis berambut hitam itu bangun. Xane memperhatikan Olivia yang masih tertidur tak sadarkan diri. Sudah seminggu sejak kejadian perang. Olivia tak bergeming sedikitpun.

Gadis berkulit pucat, rambut sepunggung hitam legam tetidur dengan tenang. Tak lupa tanduk di kepalanya yang kokoh dan tajam. Xane berusaha menyentuh Olivia, namun seolah ada energi yang menghalanginya.

"Sirius.. kau yang paling dekat dengan Oliv. Melebihi diriku sendiri. " Lirih Xane.

Sirius tak menjawab.

"Terkadang aku iri padamu. Oliv lebih percaya padamu dari pada keluarganya sendiri." Lanjut Xane.

"Apa menurutmu.. aku berharga baginya?" Bisik Xane Ragu.

"Omong kosong apa yang kau katakan. Apa menurutmu Oliv sedingin itu?" ujarnya.

"Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri atas segala yang terjadi. Kepergian Duke dan Duchess, perang monster, kutukan, kematian Komandan Dimitri, dia.. Lebih banyak terluka dari pada kita" jelas Sirius.

Xane menunduk, menumpukan keningnya pada sisi kasur tempat Oliv berbaring. Ia menangis dalam diam. Dari mana semua rasa sakit itu berasal? apakah ketika keluarga mereka hancur terpecah belah? atau ketika mereka mulai menjauh satu sama lain?

Olivia tak pernah mengatakan apapun padanya. Baik rasa sakitnya, maupun perasaannya. Itu membuat Xane semakin merasa gagal sebagai saudaranya.

"Xane.. kau menangis?" tanya Sirius.

"Hah? mana ada!" bantah Xane sambil mengangkat kepalanya.

Siapapun yang melihatnya tahu ia berbohong. Terlihat jelas bekas air matanya terjiplak jelas di kasur Olivia.

"Kalau kau begitu menyesal, dewasalah! Kau tahu seberapa sulitnya Oliv menangani semua ulah yang kau lakukan" Decak Sirius mengingat Xane lah yang selalu membuat Oliv sakit kepala dengan hutang judinya.

"hei, mata satu.. memangnya kau berhak mengomeliku? kau sendiri diam-diam menyukai adiku. Dasar pengecut! Kenapa tidak mengaku saja!" Balas Xane mengalihkan dosanya.

Sontak telinga Sirius memerah. Selama ini ia selalu bersikap seperti sahabat dan kakak bagi Olivia. Apa perasaannya terlihat sejelas itu sampai si pembuat onar ini menyadarinya?

"I-itu.. apa terlihat jelas?" gugup Sirius.

Xane memeluk dirinya sendiri.

"Ugh, menggelikan. Apa kau pernah bercermin setiap ada pria yang menatap Oliv? kau selalu memelototinya sampai matamu mau keluar!"

"Aku tidak seperti itu!" Balas Sirius tak kalah keras.

"Iki tidik sipirti ityiii..." Ledek Xane, Jidat Sirius berkedut.

CURSED GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang