"Bunda baru pulang?"
"Hmm. Buatkan saya kopi."
"Siap, Bunda!!" Dengan cepat, Karen kembali berlalu ke dapur untuk membuatkan segelas kopi untuk bunda. Dengan langkah riang, padahal di tangannya masih membawa kemoceng hasil dari pekerjaannya yang baru saja membersihkan meja.
Syifa menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa empuk dan nyaman miliknya. Sudah hampir pukul sepuluh malam, dan dirinya baru kembali. Sedangkan sang suami masih memiliki perkejaan lain di luar kota. Rumah juga terasa sepi, mungkin Nadikta dan Nada sudah berada di kamar mereka masing-masing.
"Ini Bunda, kopi nya." Karen datang dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Ia letakkan gelas kopi tersebut ke atas meja, lalu kembali berkata. "Mau aku pijat, Bund, kakinya?"
"Hmm? Boleh, deh." Kemudian Syifa melihat jika Karen sudah duduk bersimpuh di depannya, segera saja dirinya mengulurkan kedua kaki agar berada di pangkuan Karen. "Gimana sama masalah itu? Sudah kamu selesaikan?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Karen merasa jantungnya bertalu-talu. "Se-Sebentar lagi Bunda. Masih harus dibicarain lagi."
"Jangan lama-lama. Nadikta udah nggak sabar mau ke sekolah." ucap Syifa. "Oh, iya, kata Nada, kisi-kisi yang kamu kasih kurang lengkap. Dia minta yang lebih lengkap, nanti kamu buatin kisi-kisi nya terus kasih ke dia. Kalau perlu, kamu curi aja kunci jawabannya dari guru kamu itu ...,"
"Bunda?!" Kalimat bunda barusan membuat Karen sontak mendongak. Menatap bunda tak percaya. "Nggak, Bund, nggak bisa. Itu terlalu jauh. Aku bisa kok buatin kisi-kisi yang lain buat Nada. Tapi kalau ... harus berbuat curang kaya gitu, aku nggak bisa. Resikonya besar, Bund, kalau sampai ketahuan."
"Ck. Kamu itu! Sama saja seperti ayah kamu yang pengecut itu!"
Karen kembali menundukkan kepala. Kini lebih memilih fokus untuk memijat kaki bunda. Dan setelah obrolan tadi, bunda pun tak mengatakan apa-apa. Hanya diam, dengan sesekali menyesap kopinya.
"Sudah." Syifa mengangkat kedua kakinya, dan menjauh dari Karen. "Sana kamu lanjut beres-beres. Besok temen-temen arisan saya datang, jangan lupa buat ke pasar dan beli bahan makanan."
"Iya, Bunda." Melihat bunda yang sudah berdiri, Karen juga berdiri. "Eum, Bunda?"
"Apalagi?" Untuk sejenak, Syifa melirik sosok Karen yang terlihat ragu di depannya. "Cepetan bicara, saya mau tidur, nggak punya waktu untuk meladeni kamu!"
Sebenernya, ia ingin meminta bantuan bunda perihal masalah itu. Namun setelah di pikir-pikir lagi, bunda tentu tidak akan repot-repot untuk membantunya. Jadi, semua permintaan itu ia telan kembali. "Nggak ada apa-apa," ucapnya. Sebelum bunda menyela, cepat-cepat ia kembali bersuara. "Selamat malam Bunda, semoga tidur Bunda nyenyak."
Sekali lagi, Syifa menatap aneh pada Karen, tetapi tak membalas apa-apa. Begitu Karen selesai, Syifa juga berlalu pergi ke lantai dua. Menatap punggung bunda yang sudah hampir menghilang, lagi-lagi Karen hanya mampu menghela napas pasrah atas apa yang kini menimpanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen Laka
Ficção GeralSemesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang. Dia Karen...