"Jadi lo beneran bakal mundur dari perlombaan?" Dewa menatap tajam sang lawan bicara. Kata-katanya penuh penekanan, juga berusaha menahan diri agar tak murka dan menghancurkan meja di depannya.
Karen Laka, yang di tanya demikian, hanya menganggukkan kepala. Terkesan acuh, padahal cowok di depannya sudah siap murka kapan saja. "Ya ... mau gimana lagi? Suara gue kalah sama uang mereka, De."
"Brengsek!!"
"Eh, mau kemana lo?!" Karen buru-buru mencekal lengan Dewa, yang sudah bersiap pergi. "Jangan, De, percuma. Orang tua lo emang punya power, gue akui itu. Tapi bakalan percuma, apalagi kalo lawannya Bunda gue sendiri." Terdengar tawa di akhir kalimat yang Karen katakan. Tawa mengejek pada dirinya sendiri.
Rahang wajah Dewa makin mengeras, pun dengan tangan yang terkepal erat. Menarik napas dalam-dalam, Dewa menepis tangan Karen yang mencengkram lengannya. "Lo nggak capek ngalah terus? Lo nggak capek harus kaya gini terus, Karen Laka?"
"Capek," Karen tersenyum. "Ya gue capek, De. Tapi, gue bisa apa, sih? Bunda bakal tetep bela anak tirinya itu. Sedangkan gue? Bisa apa gue? Gue aja masih numpang di rumah Bunda, syukur-syukur masih bisa sekolah dan makan, De, jadi gue nggak berani macem-macem. Udah, lah, masih ada kesempatan yang lain kok gue yakin. Masih banyak lomba yang lain, 'kan? Anggap aja ini bukan rezeki gue."
Namun, penjelasan Karen barusan justru membuat Dewa kian murka. "Basi!" sentak nya. "Terus, kalau bunda lo nyuruh lo mati, lo bakal mati?!"
"Iya."
Ruangan laboratorium biologi tempat dimana Karen dan Dewa mengobrol kini, seketika menjadi hening begitu jawaban Karen mengudara. Kini, pandangan Dewa bukan lagi tajam, melainkan kecewa. "Sia-sia kalau gitu gue khawatir sama lo selama ini, Ren. Sia-sia banget. Kalau lo mau mati, silahkan mati!"
"De! Bukan gitu maksud gue! Dewa!!"
Karen tatap punggung temannya yang sudah menghilang dari balik pintu. Dari tatapan Dewa tadi, Karen tahu, bahwa cowok itu sangat amat kecewa padanya. Namun, ia bahkan tidak bisa memberikan jawaban apapun selain apa yang terlintas di kepala. Karena memang seperti itu adanya. Jika bunda memintanya mati, maka akan ia lakukan tanpa keraguan apa-apa.
Hanya saja, tanpa Karen sadari, jika jawabannya hari ini membuat Dewa teramat sakit hati. Selama ini, Dewa yang menjadi temannya, yang selalu ada di dalam segala situasi. Yang juga paling tahu kehidupan Karen setelah orang tuanya berpisah dan memiliki kehidupan mereka sendiri-sendiri.
Dewa tahu. Jadi, Dewa kecewa dengan jawaban pasrah Karen barusan. Atas semua luka yang sudah di dapatkan oleh cowok itu, mengapa Karen masih tidak bisa berusaha untuk membela harga dirinya?
Kaki jenjang Dewa terus berpacu menjauh dari ruang laboratorium. Tidak peduli pada panggilan Karen yang kini berusaha mengejarnya di belakang. Bahkan, Dewa pun tak menoleh sama sekali, rasa sakit hatinya kali ini sudah bukan sesuatu yang bisa dengan cepat dihilangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen Laka
Narrativa generaleSemesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang. Dia Karen...