"Pa, aku nggak mau tau! Kali ini Papa harus bantu aku. Ibunya Karen secara nggak langsung udah jadi pembunuh!" Untuk pertama kalinya, baik Abimanyu atau pun Dewa melihat seorang Sagara yang memohon pada ayahnya sendiri. Remaja itu bahkan tak bisa lagi membendung rasa kecewa di hatinya, atas tindakan yang telah di lakukan oleh wanita yang katanya telah melahirkan Karen itu.
"Kamu tenang dulu," Sanjaya membawa putra tunggalnya itu untuk berdiri. "Papa bakal bantu kamu. Kita harus kumpulin bukti-bukti yang bisa menyerang mereka. Kamu tau, 'kan, siapa yang akan kita lawan ini?" Melihat wajah penuh luka putranya, sebagai seorang ayah, Sanjaya juga merasa marah.
"Aku bakal cari bukti-bukti nya."
"Iya. Sekarang kamu tenang dulu. Duduk dulu sana sama Dewa dan Abimanyu." Kemudian, Sanjaya meminta agar Sagara bergabung dengan kedua temannya yang duduk di kursi tunggu.
Saat ini, suasana di lorong rumah sakit sangat sepi. Selain terdengar isak tangis dari seorang wanita, selebihnya benar-benar hening. Sanjaya menoleh pada sepasang pengantin baru yang kini tengah hancur lebur akibat kehilangan sosok tersayang. Sagara sudah menjelaskan semuanya, ketika dia tiba di sini. Kurang lebihnya, dia tahu, bahwa sosok yang baru saja dinyatakan meninggal itu adalah ibu kandung dari laki-laki yang telah menolong Karen.
"Maaf menyela." ucap Sanjaya dengan pelan.
Jaka yang masih mendekap Juwi di dalam pelukan, sontak mendongak. "Iya, Pak?"
"Saya Sanjaya, ayahnya Sagara. Salam kenal." Tanpa menunggu balasan dari sang lawan bicara, Sanjaya melanjutkan. "Tadi, Sagara sudah bercerita semuanya. Kamu tenang saja, saya akan mencarikan keadilan untuk ibu kamu. Kasus ini akan saya usut."
Bibir Jaka terlihat bergetar ketika membalas. "B-Bapak serius?"
"Saya serius. Keadilan ini bukan hanya untuk kamu. Tetapi juga untuk anak saya, dan terutama untuk Karen."
Mendengar itu, Jaka lantas terdiam. Terdengar langkah kaki yang mendekat tak lama kemudian. Sosok itu adalah Dewa, yang kini menatap gamang ke arah Jaka dan Juwi. Lalu, Dewa berkata, "Mas Jaka, maaf, saya dan yang lain datang terlambat."
"Nggak pa-pa. Ini bukan salah kamu."
Hening sejenak. Lima detik setelahnya, lagi-lagi suara Dewa terdengar. "Mas Jaka marah sama Karen?"
Pertanyaan itu menimbulkan keheningan yang panjang. Jaka tak langsung membalas, membuat Dewa merasa takut. Apakah Jaka juga ikut menyalahkan Karen atas apa yang terjadi pada ibunya?
"Enggak." Namun, ketakutan itu terpatahkan begitu saja. Dewa menatap yang lebih tua dengan terkejut. "Saya nggak menyalahkan dia. Di banding menyalahkan Karen, saya lebih menyalahkan bunda nya. Saya juga yakin, Ibuk nggak akan suka kalau saya melimpahkan semua kesalahan pada Karen." kata Jaka melanjutkan. Tatapan laki-laki itu terlihat kosong.
"Hari ini saya kehilangan Ibuk. Ketakutan yang selama ini berusaha saya sangkal. Setelah Bapak meninggal, Ibuk adalah satu-satunya orang tua yang saya punya. Rela bekerja apa saja, untuk membiayai hidup saya. Wajar, 'kan, kalau saya memiliki ketakutan akan kehilangan beliau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen Laka
General FictionSemesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang. Dia Karen...