Karen mengerjap, berusaha membuka kedua matanya yang terasa panas, pun dengan kepalanya yang berdenyut menyakitkan. Butuh usaha keras, sampai akhirnya Karen bisa melihat dengan jelas. Sebuah ruangan, dengan cahaya remang, adalah apa yang pertama kali Karen saksikan. Mengernyitkan dahi—kebingungan—Karen menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan.
Ini bukan kamar nya.
"Akh!!" Kepalanya teramat sakit, apalagi saat tubuhnya bergerak dengan begitu tiba-tiba. Menarik napas panjang, Karen memilih bersandar pada dinding di belakangnya, lalu memejamkan mata lagi.
Baru saja merasa tenang dan agak baikan, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar. Sebuah sinar menyorot dengan tajam, membuat Karen pun semakin memejamkan mata dengan erat.
"Oh, sudah bangun kamu? Saya pikir kamu sudah mati."
Suara itu, membuat Karen terpaksa membuka kedua matanya yang masih terasa panas dan berat. "B-Bunda?"
"Bangun, dan ikut saya!!" ucap Syifa tanpa penjelasan apapun lagi. Karena setelahnya, wanita itu berlalu pergi.
Karen menghembuskan napas, kemudian memaksa dirinya bangkit berdiri. Dengan susah payah, akhirnya kini ia mulai melangkah untuk mengikuti jejak bunda yang sudah pergi. Saat baru akan meninggalkan ruangan, Karen baru sadar, bahwa ia memang bukan berada di kamar nya, melainkan di gudang.
"Bunda, aku minta maaf. Tapi aku beneran nggak tau kalau bisa sampai kaya gitu. Maaf, Bund." Begitu berhasil menyusul bunda ke halaman belakang, Karen langsung membuka suara untuk menjelaskan. "Tadi, tadi itu Nada mau makan semua kue nya, Bund. Karena aku takut kalau kue nya bakal habis, jadi aku bawa lari ke depan supaya Bunda bisa bantu bujuk dia juga. Maaf, Bund, ini memang salah aku."
"Sudah?"
"Bund ...,"
"Sudah belum dengan omong kosong kamu itu?"
"Ini bukan omong kosong, Bunda. Aku bicara apa adanya."
Syifa berbalik badan. Netra nya bertemu dengan milik sang putra. "Saya tau." Diam sejenak, Syifa mengamati raut wajah Karen yang terlihat terkejut namun senang di saat bersamaan. "Tapi kamu tetap saja bodoh! Kenapa nggak kamu kasih saja ke Nada? Kalau dia mau makan, ya biar dia makan. Dia anak saya, hanya beberapa kue yang nggak ada harganya, saya nggak akan mempermasalahkan itu. Tapi lihat tindakan kamu, justru malah membuat saya malu!! Kamu 'kan tau siapa tamu-tamu saya, Karen! Kamu sengaja, ya?!"
Senyum Karen seketika luntur. Berganti dengan kepalanya yang menggeleng kuat-kuat. Ia bahkan mengabaikan rasa sakitnya. "Enggak! Demi Tuhan aku nggak punya maksud untuk mempermalukan Bunda."
"Nggak ada maksud? Lalu tadi itu apa?! Kamu tau nggak, mereka bahkan tadi mengira kalau kamu itu salah satu dari anak saya?! Kamu tau, nggak?!"
Karen menunduk dalam-dalam. "Kan aku memang anak Bunda ...," gumamnya. Yang tentu saja tidak akan di dengar oleh bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen Laka
Ficción GeneralSemesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang. Dia Karen...