Lee Juyeon

123 9 0
                                    

Mingyu duduk di ujung sofa, wajahnya cerah dengan semangat bercerita. 

Di sebelahnya, Juyeon duduk bersandar dengan santai, kakinya bersila. Matanya tertuju pada Mingyu, tapi pikirannya melayang jauh dari cerita yang sedang disampaikan. Mingyu sedang menceritakan sesuatu yang terjadi di kampus—sebuah kisah yang tampaknya sangat penting baginya.

“Dan kau tahu, akhirnya dia memutuskan untuk datang ke acara itu juga! Kupikir dia tidak akan pernah berani, tapi ternyata dia cukup berani untuk menghadapinya. Aku benar-benar terkejut melihat dia muncul di sana!” Mingyu terus bercerita, tangannya bergerak-gerak seolah menambah dramatisasi pada ceritanya. Matanya bersinar penuh antusiasme, dan senyumnya—oh, senyumnya benar-benar mempesona.

Juyeon tersenyum samar, tapi senyum itu bukan untuk cerita Mingyu. Sebenarnya, dia hampir tidak mendengarkan apa yang dikatakan Mingyu. Pikiran Juyeon sibuk dengan hal lain, atau lebih tepatnya, dengan seseorang di depannya. Setiap kali Mingyu tersenyum, Juyeon merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Dia bahkan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memperhatikan detail kecil yang membuat Mingyu begitu menarik—cara rambutnya sedikit berantakan tapi tetap terlihat bagus, bagaimana ujung hidungnya sedikit memerah ketika dia tertawa, dan kilauan mata Mingyu saat dia sedang bersemangat.

“… dan aku benar-benar tidak tahu harus bilang apa saat itu! Juyeon, kau tahu bagaimana rasanya, kan?” Mingyu tiba-tiba berhenti berbicara, menatap Juyeon dengan mata penuh harap, menunggu tanggapan.

Juyeon tersadar dari lamunannya dan berusaha keras mengingat apa yang baru saja dibicarakan Mingyu. Dia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba mengalihkan fokusnya kembali ke cerita. “Uh, ya, tentu saja. Aku mengerti,” jawabnya cepat, berharap itu jawaban yang cukup baik.

Mingyu memiringkan kepalanya sedikit, menatap Juyeon dengan curiga. “Kau benar-benar mendengarkan, kan?” tanya Mingyu, sedikit menggoda tapi dengan nada serius.

Juyeon tertawa kecil, menutupi rasa bersalahnya. “Tentu saja aku mendengarkan! Aku hanya… terpesona oleh betapa antusiasnya kau bercerita,” katanya, mencoba menutupi kenyataan bahwa dia benar-benar terpesona oleh Mingyu itu sendiri.

Mingyu menghela napas lega dan kembali bercerita, merasa lebih yakin bahwa Juyeon memang memperhatikan. Namun, saat Mingyu melanjutkan ceritanya, Juyeon kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, memperhatikan bagaimana cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat rambut Mingyu tampak bersinar. Sekali lagi, cerita Mingyu hanya menjadi latar belakang bagi kekaguman Juyeon yang diam-diam.

Dalam hati, Juyeon bertanya-tanya apakah Mingyu menyadari betapa menariknya dia ketika sedang bersemangat seperti ini. Betapa setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis, meskipun Juyeon tidak sepenuhnya mendengarkannya. Juyeon berharap bisa memberitahu Mingyu betapa dia sebenarnya tidak peduli dengan cerita itu, tapi lebih peduli pada orang yang menceritakannya.

“… dan begitulah akhirnya semuanya selesai. Menurutmu bagaimana?” Mingyu menyelesaikan ceritanya, menatap Juyeon dengan penuh harap sekali lagi.

Juyeon tertegun, merasa sedikit panik karena sekali lagi dia gagal menangkap keseluruhan cerita. Tapi dia tersenyum dan berkata, “Aku rasa itu luar biasa. Kau benar-benar hebat, Mingyu.”

Mingyu tertawa, merasa senang dengan pujian itu. “Terima kasih, Juyeon. Aku senang kau berpikir begitu. Aku hanya ingin berbagi ini denganmu.”

Juyeon mengangguk, merasa sedikit bersalah tapi juga bahagia. “Aku senang kau bercerita padaku. Aku selalu senang mendengarkanmu,” katanya, meskipun dalam hati dia menambahkan, Bahkan jika aku tidak selalu mendengarkan, aku tetap senang melihatmu begitu bersemangat.

Mingyu tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Aku juga senang berada di sekitarmu, Juyeon. Kau selalu membuatku merasa nyaman.”

Kata-kata itu membuat hati Juyeon berdebar lebih kencang. “Kau juga membuatku merasa nyaman, Mingyu,” jawabnya pelan.

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehangatan dari kebersamaan mereka. Meskipun cerita itu mungkin sudah terlupakan di benak Juyeon, perasaan hangat yang ditimbulkan oleh Mingyu tetap terpatri dalam ingatannya. Juyeon menyadari bahwa dia tidak membutuhkan cerita yang sempurna untuk merasa bahagia; cukup dengan melihat Mingyu di sampingnya, itu sudah lebih dari cukup.

Setelah momen keheningan itu, Mingyu meluruskan punggungnya, menghela napas dalam-dalam sebelum berkata, “Juyeon, kau tahu? Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. Aku tidak terlalu sering bercerita seperti tadi pada orang lain.”

Juyeon menatap Mingyu dengan sedikit terkejut. “Benarkah? Kenapa tidak?”

Mingyu tersenyum tipis. “Aku merasa banyak orang tidak benar-benar mendengarkan. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tapi denganmu, aku merasa… dihargai. Kau selalu ada, siap mendengarkan, meskipun aku tahu ceritaku kadang membosankan.”

Juyeon merasakan kehangatan menyebar di dadanya, senyum muncul di wajahnya tanpa bisa ia tahan. Dia tahu bahwa Mingyu mungkin salah paham tentang seberapa besar perhatian yang dia berikan pada cerita itu, tetapi mendengar bahwa kehadirannya memberikan kenyamanan bagi Mingyu membuatnya merasa berarti. Dia tidak perlu menjadi pendengar yang sempurna—cukup dengan berada di sana sudah membuat perbedaan.

“Aku senang kau merasa begitu, Mingyu,” jawab Juyeon lembut. “Dan sebenarnya, ceritamu tidak membosankan sama sekali. Bahkan jika aku terlihat terdiam, itu karena aku sedang mencerna semua yang kau katakan. Kau selalu punya cara unik untuk membuat cerita biasa menjadi istimewa.”

Mingyu tertawa pelan, seolah tidak sepenuhnya percaya tapi tetap menghargai kata-kata itu. “Kau benar-benar tahu cara membuat seseorang merasa baik, Juyeon.”

Juyeon hanya mengangkat bahu, tersenyum lebar. “Mungkin karena aku merasa begitu terhadapmu.”

Mendengar kata-kata itu, senyum Mingyu sedikit memudar menjadi lebih lembut, penuh perasaan. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dalam cara Juyeon berbicara, dan untuk sesaat, mereka hanya saling menatap tanpa berkata apa-apa. Ada kehangatan yang mendalam di antara mereka, seolah-olah seluruh dunia menghilang dan hanya menyisakan dua hati yang saling berbicara tanpa kata-kata.

Akhirnya, Mingyu memutuskan keheningan itu, tapi kali ini dengan nada yang lebih serius. “Juyeon, aku merasa kita sudah semakin dekat akhir-akhir ini. Aku hanya ingin kau tahu… aku sangat menghargai itu. Kau adalah salah satu teman terbaik yang pernah kumiliki, dan aku tidak ingin kehilangan itu.”

Juyeon merasakan hatinya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu di balik kata-kata Mingyu yang membuatnya merasa campur aduk. Sebagai teman terbaik? Apakah itu saja yang dilihat Mingyu dalam dirinya? Atau apakah ada sesuatu yang lebih?

Juyeon menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Aku juga merasa begitu, Mingyu. Aku tidak ingin hubungan kita berubah, kecuali itu menuju ke arah yang lebih baik.”

Mingyu mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu, meskipun Juyeon tidak bisa sepenuhnya membaca perasaannya. “Ya, aku juga berpikir begitu. Dan aku harap, kita bisa terus bersama seperti ini—menghabiskan waktu, bercerita, dan menjadi diri kita sendiri.”

Juyeon tersenyum dan mengangguk, meskipun ada sedikit kegelisahan di hatinya. Apakah mungkin, suatu hari, mereka bisa lebih dari sekadar teman? Atau apakah mereka akan selalu berada dalam lingkaran nyaman ini tanpa pernah melangkah keluar?

Namun, untuk saat ini, Juyeon memilih untuk menikmati kebersamaan mereka, tanpa terlalu memikirkan masa depan. Karena setiap momen dengan Mingyu, meskipun hanya berbagi cerita, sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bahagia.

“Aku setuju,” kata Juyeon akhirnya, “Mari kita nikmati ini. One day at a time.”

Mingyu tersenyum, dan kali ini, senyumnya begitu tulus dan hangat sehingga Juyeon merasa seolah-olah segala keraguan yang sempat hinggap di hatinya lenyap begitu saja. Mereka tidak perlu terburu-buru. Mungkin, suatu saat nanti, mereka akan menemukan jawaban yang mereka cari.

Tapi untuk saat ini, duduk bersama di sofa itu, dalam kebersamaan yang tenang dan hangat, sudah cukup bagi mereka berdua.

B R A V E 💪🏿 bottom!Mingyu [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang