Kim Jongin [intro]

2.1K 151 41
                                    

Mingyu mendorong kuat tubuh Kai karena ia membutuhkan oksigen lebih banyak-meskipun telah banyak tersedia-selepas ciuman panas keduanya.

Tapi di luar itu, alasan utama Mingyu menjauhkan fisiknya dari Kai adalah karena ia tidak menyukai hal ini. Ciuman ini. Ia tidak menginginkannya. Tidak pernah menginginkannya. Dan tidak akan pernah ingin mengulanginya.

Pagutan bibir penuh nafsu yang Kai lakukan pada Mingyu, adalah satu-satunya alasan kenapa Kai tidak ingin jika adik kesayangannya-karena memang hanya satu-satunya-ini sampai berkencan dengan Sehun.

"Apa yang kau lakukan?!" Mingyu membentak dengan wajah yang memerah marah bercampur malu. Kakaknya yang selama ini ia kagumi, ia hormati, ia sayangi sepenuh hati, ternyata adalah entitas paling menjijikkan di muka bumi. Ia tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Menjelaskan sesuatu?" Jawab Kai santai. Penolakan adiknya barusan bukanlah apa-apa baginya.

Mingyu berdecih. "Menjelaskan? Menjelaskan katamu? Menjelaskan apanya?! Sesuatu yang jelas yang kau bicarakan itu, adalah kau tidak menjawab apapun selain melakukan tindakan gila secara konkrit dan sangat kentara!"

"Kau tahu itu adalah cara bagaimana aku menjelaskan sesuatu."

"Tutup mulutmu Kim Jongin. Kau gila! Kau menjijikkan! Aku sungguh kecewa padamu! Akan kulaporkan semua kegilaanmu itu pada eomma!"

Mingyu tidak menutup pintu ketika berlalu. Ini adalah kamar tidurnya, tapi ia membiarkan Kai ditinggalkan sendirian di dalam teritorial paling pribadinya itu.

Kai sudah bisa melihat bahwa ini yang akan terjadi. Tentu saja. Kakak normal mana yang mencintai dan ingin menikahi adik kandungnya sendiri? Ia tidak menyalahkan Mingyu karena apa yang adiknya lakukan sebagai respon adalah sesuatu yang natural. Tapi karena ia juga masih mencintai dirinya sendiri, maka ia tidak mau menyalahkan diri.

Tadi Mingyu bilang apa? Akan melaporkan ketidakwarasan Kai pada ibunya?

Sekarang apa yang harus ia lakukan?

Matilah ia.

.

.

.

Di luar dugaan, Mingyu hingga saat ini masih tetap bungkam.

Ia mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya adalah terlalu banyak jasa dan pengorbanan yang telah kakaknya itu berikan padanya selama ia hidup di dunia, sejak pertama kali ia bisa mengingat. Kapan itu? Sejak ia menginjak usia tiga tahun? Ya, sepertinya sejak saat itu. Berapa ratus atau bahkan ribu jam waktu yang mereka lalui bersama selama ini? Menghabiskan waktunya yang indah bersama-sama dalam keadaan sehat maupun sakit, senang maupun susah, suka maupun duka.

Sebagai sepasang kakak-adik yang akur dan bahagia tentu saja. Bukan sebagai pasangan pengantin yang suka bercinta.

Jadi untuk saat ini, menghendaki dirinya dan Kai untuk berada dalam jarak sejauh mungkin adalah segala yang bisa Mingyu lakukan.

Mereka masih berada di bawah naungan atap yang sama. Mereka begitu dekat, tapi begitu jauh. Karena Kai merasa begitu. Raganya berdampingan, tapi jiwanya berjauhan. Mengakibatkan satu kecanggungan tak terpatahkan.

Kai merasa sakit, itu terlalu jelas. Ia mengutuki dan menyesali dirinya yang begitu kurang ajar menyatakan perasaan terlarang itu secara terang-terangan. Berharap dengan pengakuan jujur dari hati itu Mingyu juga akan menerimanya begitu saja? Yah, harapan memanglah hanya harapan. Ia tahu Mingyu tidak akan menerimanya. Tapi tidak mengira jika influensnya adalah efek sebesar ini, dimana adiknya itu akan menghindar darinya semenjauh ini. Ini menyakitkan, setiap kali sepasang mata mereka bertemu, Mingyu akan segera berpaling. Berlalu, meninggalkannya sejauh mungkin. Rasa sakit yang tidak mampu ia lukiskan.

Suatu malam secara kebetulan Kai dan Mingyu keluar dari dalam kamarnya masing-masing, melalui pintu kamar yang saling berhadapan. Secara otomatis tatap keduanya kembali saling bertemu.

"Mingyu..."

Dan sudah bisa ditebak siapa satu pihak yang lebih dulu memutus kontak penglihatan itu.

Tanpa menanggapi sedikitpun, Mingyu berjalan cepat ke arah ruang tengah, duduk menempel dengan sang ibu di atas sofa empuk, memeluk erat lengannya, bersandar manja kepalanya di sana.

"Ada apa, hm? Manja sekali." Sang ibu tak sedikitpun melepaskan sentuhan putra bungsunya ketika sedang asik menyaksikan opera sabun kesukaannya di layar kaca.

"Aku hanya menginginkan perlindunganmu," jawab Mingyu singkat tapi penuh maksud.

"Kau sudah besar sekarang, bukan lagi seorang bayi."

"Aku akan selalu menjadi bayimu selamanya jika itu adalah satu-satunya cara agar kau bersedia untuk selalu melindungiku seumur hidupku, eomma." Mingyu mungkin memang mengatakan kalimat itu untuk ibunya. Tapi matanya menatap tajam sang kakak yang berdiri di sana, beberapa langkah darinya dan tak melepaskan tatapannya.

Mingyu membutuhkan seseorang untuk bisa melindunginya dari ancaman berbahaya dalam bentuk apapun di dunia. Bahkan jika ancaman itu berada di dalam rumahnya sendiri.

Sang ibu terbahak. Yang sedang menyaksikan tayangan drama adalah dirinya. Tapi yang menjadi drama queen malah anaknya. Sepertinya Mingyu terlalu banyak menguping ketika ibunya ini menonton TV.

Kehadiran Kai tidak dipedulikan sang ibu. Atau mungkin karena wanita paruh baya itu terlalu sibuk dengan tontonannya, bahkan ia telah membagi fokus dengan tingkah manja Mingyu.

Jadi Kai memutuskan untuk kembali memasuki kamar. Dan merenungkan sesuatu.

Sesuatu seperti apa yang akan dan harus ia lakukan ketika mengonfrontasi esok hari yang tengah menanti.

.

.

.

.

GAHHH!!! AKHIRNYA KELAR JUGA SEMUA INTRO KUKELUARIN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

GAHHH!!! AKHIRNYA KELAR JUGA SEMUA INTRO KUKELUARIN. Cuma ngeluarin semua intro doang leganya kek abis orgasme (~‾▿‾)~

Bhai

B R A V E 💪🏿 bottom!Mingyu [⏯]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang