ثمانية عشر

109 4 0
                                        

بسم الله الرحمن الرحيم

اللهمّ صلّي على سيدنا محمد وعلى عليّ سيدنا محمد

☪︎☪︎☪︎

“Rasa gengsimu akan menjadi bumerang bagimu, suatu saat nanti.”

[DBLS]

☪︎☪︎☪︎

“Kamu tadi ditanyain Bapakku. Kok gak pernah main ke rumah?”

Pagi sekali di sekolah, tepatnya di parkiran khusus kelas ATR, Lesa mendatangi Tia dengan wajah semringah. Mood pagi ini bisa dikatakan baik-baik saja. Sampai jawaban dari Tia membuat senyum Lesa luntur.

“Maaf, Sa. Bilang sama Bapak. Beberapa hari ini gak bisa datang ke rumah karena peternakan kambing Babe sedang mengalami beberapa masalah. Salah satunya terkena penyakit. Aku harus bantu Babe.” Usai turun dari motor, Tia mengatakan demikian dan langsung meninggalkan Lesa sendirian di parkiran motor.

Hanya ada beberapa murid yang melihat interaksi mereka berdua. Mengingat sekarang jam baru menunjukkan pukul 06.48 waktu terlalu dini untuk kehadiran siswa ATR. Mengingat siswa ATR kalau berangkat lima sampai dua menit sebelum bel pertanda pembelajaran dimulai.

Lesa menghela nafas. Harapannya pupus untuk membawa Tia ke rumahnya. Padahal niat awalnya adalah untuk mencegah dampak dari pembicaraannya kemarin. Sungguh, Lesa tak bermaksud berbohong.

Lain halnya dengan Tia yang kini sudah sampai di dalam kelas, sendirian. Ia menatap kosong papan tulis putih di depannya. Suara kebisingan dari luar karena siswa jurusan lain yang melewati kelasnya tak ia pedulikan.

Ia memikirkan jawabnya tadi. Ia tidak sepenuhnya bohong bahwa peternakan kambing babenya sedang terkena penyakit. Untuk membantu babe ada benarnya, cuma tidak seratus persen, paling hanya 20 persen dari seratus persen.

Sekarang ia sedang menjaga jarak dengan Lesa. Ia ingin Lesa tersadar bahwa perilakunya yang di ceritakan kemarin akan membuatnya jatuh ke dalam lubang penyesalan. Ia hanya takut Lesa mengalami itu dan terakhir terpuruk seperti kejadian delapan tahun silam.

Kejadian yang tak mau Tia lihat lagi, setelah kematian ibu Lesa. Masa itu Lesa kehilangan arah hidupnya. Bapaknya dan kedua kakaknya sama-sama terpuruk karena kematian sosok perempuan tercinta mereka.

Tapi, mereka tidak melihat dari sudut pandang yang lain. Bahwa masih ada Lesa yang lebih terpuruk dari mereka bertiga. Ia masih butuh peran sosok ibu, ia masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, dan ia masih belia untuk menerima kenyataan pahit itu.

Tia menggeleng menepis pikirannya tentang kejadian delapan tahun silam. Walaupun mereka berdua memiliki usia yang sama, tapi cara berpikir mereka berbeda, kala itu.

“Maaf, Sa. Kalau caraku memberikan peringatan salah. Aku cuma gengsi untuk mengungkapkan tujuan yang aku maksud.”

“Dan maaf Ya Allah, aku kemarin yang bilang jangan sampai renggang hubungan pertemanan ini, tapi aku sendiri yang buat renggang,” lirih Tia menatap wallpaper loockscreen ponselnya, dua orang gadis tampak dari belakang dan di depannya terdapat luasnya samudra. Foto itu di ambil saat ia dan Lesa sedang berlibur ke pantai sebelum memulai bangku kelas 12.

☪︎☪︎☪︎

Baju biru oranye melekat sempurna di tubuh siswa kelas 12 ATU 1 kini sedang melaksanakan praktik di kandang ayam yang biasanya digunakan untuk praktik. Letaknya ada di gedung lor sedikit jauh dengan kandang ternak sapi milik jurusan ATR.

Di Bawah Langit Subuh (Seson 1||SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang