17

219 20 0
                                    

"Maria tidak ada di rumah? Kamu tahu kemana perempuan itu pergi?"

Pembantu di rumah Maria, Bi Sum hanya menggeleng takut. Pasalnya, aura suami majikannya ini sangat dingin, kaku dan sangat menakutkan.

"Sejak kapan perempuan itu tidak ada di rumah?"

"Sejak kemarin tuan".

Davema mengibaskan tangannya meminta bi Sum kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, ia memilih menunggu Maria sembari duduk di kursi teras depan.

Beberapa menit kemudian, matanya memicing saat ia melihat Maria turun dari taksi dan sedikit terkejut mentapnya. Namun, sebisa mungkin Maria kembali menormalkan ekspresinya.

Maria merapikan rambutnya dan mendekati Davema yang duduk di kursi menatapnya datar. Davema mengernyit heran saat ia menghirup aroma tidak nyaman, seperti bau rokok.

Davema menatap Maria dari bawah hingga ke atas, dan tatapannya memicing saat ia menemukan kissmark di leher Maria. Davema tersenyum miring, mungkin wanita itu lupa menutupinya.

"Kamu, udah lama disini Dave?"

"Baru sampai".

"Yuk masuk dulu, aku mau mandi dulu sebentar".

"Nggak perlu, saya hanya sebentar, ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu disini".

"Nggak ke dalem aja? Biar enak ngomongnya".

Davema menggeleng, ia berdiri, menatap Maria dengan tatapan dingin, "ada yang ingin saya bicarakan, tentang pernikahan ini!"

Maria mengangguk, "kenapa?"

Maria menelan ludah, tenggorokannya mendadak sakit. Seakan-akan ia tahu, kemana Davema akan membawa percakapan ini. Ia teramat ketakutan, bagaimana jika lelaki itu melepaskannya. Tidak, tidak, ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

"Saya..."

"Nggak Dave".

Davema mengernyit, rupanya Maria cukup paham akan apa yang akan ia sampaikan pada wanita di depannya. "Mar, ini yang terbaik".

"Tau apa kamu soal yang terbaik Dave?" Maria menatap suaminya, "apa kamu pikir perceraian adalah yang terbaik??"

"Ya".

"Brengsek kamu Dave, ohh.. kamu begini karena Dinda yang menyuruh kamu kan? Wanita itu dari dulu munafik".

Davema mengetatkan rahangnya, kenapa Maria bisa menyimpulkan hal itu, "jaga bicara kamu Mar, apapun yang saya lakukan, termasuk keinginan bercerai dengan kamu, itu murni karena keinginan saya sendiri, Dinda tidak ada hubungannya dengan ini".

Maria berdecak, "aku nggak mau bercerai," ujarnya lalu masuk ke dalam rumah, mengabaikan Davema yang akan hendak berbicara kembali.

Ia tidak ingin mendengarkan kata-kata menyakitkan dari bibir Davema. Hatinya tidak sekuat itu jika ia harus kehilangan Davema kembali. Perlahan, Maria menutup pintu kamarnya lalu tertunduk bersimpuh dengan air mata yang berlomba-lomba keluar.  Ternyata, sesakit ini mencintai Davema, tapi lebih sakit lagi jika ia tidak bersama laki-laki itu.

****

Dinda masih terdiam saat sang papa dan mama mertuanya asik bermain dengan Radja-putranya. Kedua orang tua Davema menanggapi celotehan Radja dengan antusias.

Ada perasaan senang saat kedua orang tua suaminya menyukai putranya. Setidaknya, sekalipun tidak menyukai dirinya, cukuplah menyukai Radja.

"Din, gimana kalau Radja mama bawa dulu ke rumah mama sebentar?"

Dinda sedikit terkejut mendengar permintaan mama mertuanya.

"Atau, kamu juga ikut".

Dinda meremas roknya, ia banyak memiliki kenangan buruk di rumah itu. Menyakitkan sekali jika mengingatnya.

"Mama boleh bawa Radja, nanti biar mas Davema yang jemput Radja pulang".

Rianti-sang mama mertua tersenyum gembira, ia mengucapkan banyak terimakasih kepada menantunya.

"Dinda masih harus beres-beres, nanti Dinda akan persiapkan keperluan Radja ma" ujarnya sembari pamit undur diri membereskan keperluan Radja.

****

Maria cukup heran mendapati sang mama mertua-Rianti yang turun dari mobil menggendong seorang anak laki-laki. Pasalnya, ia baru melihat anak itu. Jadi, sangat mustahil jika itu anak dari sepupu tau keluarga Davema.

Rianti cukup terkejut melihat Maria yang sudah lama tidak bertemu dengannya, "loh, Maria, udah lama?"

"Nggak terlalu lama Ma," ujarnya saat sang mam mertua berada di depannya. Sementara sang papa mertua sibuk membawa barang-barang anak dalam gendongan mama mertuanya.

"Ayo masuk ke dalem".

Maria mengikuti langkah Rianti dengan tatapan yang sibuk mengamati anak dalam gendongan mama mertuanya. Entah kenapa, wajah anak ini tidak asing di matanya.

"Mama, kenapa dia mirip Davema" ujar Maria setelah ia sadar, anak kecil dalam gendongan mama mertuanya sangat mirip dengan Davema.

Rianti berhenti melangkah, menatap Maria dengan tatapan sulit diartikan, "kamu sudah makan?? Mama punya makanan kesukaan kamu, yuk ke dapur". Rianti memilih enggan menjawab dan mengalihkan pembicaraan.

Maria diam, menelisik dan berpikir, hingga akhirnya ia menyadari sesuatu, "mama, apakah anak ini, anak Dinda??"

Rianti diam tidak menjawab.

Saat itu, Maria tahu, anak kecil ini benar-benar anak Dinda dan Davema? Benarkah begitu?? Maria tersenyum pedih, ada perasaan terluka dalam dirinya yang tidak bisa ia katakan. Ia, ia juga ingin memiliki anak, dengan Davema tentu saja.

"Maafkan Davema Maria, dia hanya anak laki-laki mama yang tidak sempurna." Ujar Rianti sembari mengelus punggung Radja penuh sayang.

Maria memilih diam, pikirannya mendadak kosong.




_________________
Jangan lupa vote dan komennya yaa. Makasii❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang