18

309 25 3
                                    

Dinda menyusuri lorong rumah sakit dengan berlari, mengabaikan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh karena ia menangis. Peduli setan dengan itu.

Setibanya di depan pintu ruang ICU, tangisan Dinda semakin memilukan. Hatinya berdenyut nyeri membayangkan putranya berada di dalam sana dengan kondisi memprihatinkan.

Padahal, tadi pagi, Radja masih berada dalam pelukannya, ia masih menggendongnya kesana kemari, memberinya ASI dan bermain dengannya. Lalu, kenapa sekarang putranya seperti ini.

Di sisi lain, Davema berdiri kaku melihat sang istri yang menangis tersimpuh di depan pintu. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat Dinda menangis semenyedihkan ini. Tapi, kali ini, ia merasa sangat gagal menjadi suami dan seorang papa.

Hatinya berdenyut sakit saat melihat wanita yang ia cintai seperti ini. Davema melangkah, hendak merengkuh tubuh ringkih itu penuh kasih. Namun, langkahnya berhenti saat Dinda menengadah menatapnya penuh luka dan kebencian. Tatapan yang belum pernah ia terima selama ini, dan itu cukup membuatnya sakit.

"Berhenti disitu Davema". Suara Dinda bergetar saat mengatakannya, selama ini, betapa ia sangat mencintai lelaki di depannya, tapi kali ini, ia merasa cintanya sudah lelah, melelahkan sekali mencintai seorang Davema.

Ia selalu berusaha menerima perlakuan keluarga Davema padanya, ia bisa menerima saat semua orang menganggapnya hanya mantan istri Davema, ia selalu menutup telinga saat semua orang menghujatnya seolah-olah dirinya adalah orang ketiga dari hubungan Davema dan Maria.

Sedari dulu, Dinda sudah terlalu banyak mengerti Davema yang memprioritaskan Maria dengan embel-embel teman baiknya. Tapi, kejadian hari ini, cukup membuatnya tersadar.

Tatapannya beralih kepada mama mertuanya yang menangis tergugu, lalu pada papa mertuanya yang juga lebih banyak diam.

Dinda tertunduk, air matanya kembali deras, "saya memang tidak setara dengan kalian, kalian juga boleh menyakiti saya semau kalian, tapi jangan putra saya." Ujarnya lirih dengan nada bergetar.

Rianti ingin mendekati menantunya, namun Dinda mengangkat tangannya,"maafkan mama nak, maafkan mama" ujarnya lirih penuh penyesalan.

Dinda sudah lelah. Sungguh!

Saat pintu dibuka, Dinda buru-buru berdiri, "bagaimana keadaan putra saya dok?" Tanyanya cepat, melihat dokter yang menatapnya penuh sorot menyedihkan membuat dirinya semakin tidak mampu menahan rasa sakit dan tangisnya.

"Dok, kenapa dokter diam saja??"

Dinda memilih menerobos masuk ke dalam, melihat sendiri kondisi putranya. "Kenapa kalian menutup tubuh putra sayaa".

Dinda mendekati ranjang dimana putranya berbaring, mendorong para perawat yang akan menutup tubuh kecil putranya yang pucat pasi. Saat itu juga, dunianya runtuh, dunianya hancur tanpa sisa. Apa ini, kenapa putranya jadi seperti ini.

"Nak, Radja, sayang, bangun", jemari Dinda bergetar saat menyentuh wajah putranya yang begitu mirip dengan Davema, "nak, ini mama, buka mata sayang".

Berkali-kali Dinda memeriksa nafas Radja, dan memeriksa denyut nadi putranya dengan nafas memburu, "nak, sayang, mama mohon buka mata kamu, Radja".

Davema mematung dengan tubuh kaku, ia tidak mampu menahan air matanya saat putranya. Padahal, ia baru bertemu dengan buah hatinya. Kenapa harus seperti ini? Kenapa?

"Radja, mama nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu nak, tolong buka mata sayang, mama mohon".

Davema mendekat memeluk erat tubuh Dinda dari belakang, lalu bahunya bergetar hebat memeluk wanita yang sangat ia cintai. Dinda berusaha melepas pelukannya, namun ia tetap memeluk Dinda.

"Lepas Davema, saya benci sama kamu Davema, kamu.."

Davema terkejut saat tubuh Dinda lemas, Dinda tidak sadarkan diri, ia membopong tubuh istrinya, membaringkannya di atas sofa, dan memanggil perawat untuk menangani istrinya.

Sorot mata Davema penuh akan kekalutan, kesedihan, penyesalan dan ketakutan tiada henti. Subagyo menyentuh jemari kecil cucunya yang baru hari ini ia temui. Radja, mirip sekali dengan Davema waktu masih kecil.

Subagyo menggenggam tangan kecil cucunya, matanya berkaca-kaca. Ia memang terlihat keras dan terlihat tidak berperasaan, tapi, manusia mana yang tidak punya hati dan perasaan. Ia juga sama sedihnya.

"Pa, cucu kita pa, mama baru aja gendong dia, sekarang, ini salah mama pa, ini salah mama".

Subagyo mengusap bahu istrinya, "bukan salah kamu, papa janji, papa akan urus semuanya".

****

"Maksud kamu apa??"

Dito mengelus dadanya saat Angga membentaknya.

"Gue dapet info, Radja di rumah sakit, gue..."

"Kita kesana sekarang" ujar Angga meninggalkan Angga lebih dulu.

"Tapi, sebentar lagi kita meeting bro", ujar Dito sembari mengejar bosnya yang berjalan cepat.

"Persetan dengan itu, kamu urus kembali jadwalnya". Tanpa basa basi lagi, Angga segera menuju parkiran, mengendarai mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Entah kenapa, perasaannya mendadak tidak enak sekarang.

Diam-diam, ia melirik kaca spionnya dari samping. Rupanya, Dito bersama anak buahnya membuntutinya.

"Anjir tu anak, bisa-bisanya gue punya bos kek dia, dia udah bosen hidup apa gimana sih?bawa mobil ugal-ugalan gitu. Kalau bukan temen gue, udah gue karungin tu anak". Ujarnya misuh-misuh sembari sibuk mengabari para investor untuk menunda meeting mereka.



__________________
Jangan lupa vote dan komennya yaa. Makasii ❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang