Seusai perdebatan itu, Dinda lebih banyak diam. Davema sadar akan hal itu, dipeluknya tubuh sang istri dari belakang, "maaf, saya tahu, kamu sudah banyak terluka karena saya,"
Kalau Davema tahu ia sudah banyak terluka? Kenapa laki-laki itu tidak melepaskan dirinya, kenapa laki-laki itu membiarkan semua orang menganggap bahwa dirinya hanyalah mantan istri Davema, dan istri Davema hanya Maria. Kenapa begitu?
Dinda menggigit bibir bawahnya, saat menyadari jika laki-laki yang memeluk dirinya bukan hanya hanya menjadi miliknya. Tapi, Maria, juga memiliki Davema.
"Maria, dia memang istri saya, sah secara agama, tapi tidak secara hukum. Sampai kapanpun, kamu tetap menjadi istri saya secara hukum dan agama. Dan lagi, sampai saat ini, saya tidak pernah serumah, apalagi menyentuhnya,"
Dinda merasa tenggorokannya sakit saat ia menelan ludahnya, "saya capek Dema" ujarnya, ia memilih meninggalkan Davema di ruang kerjanya.
Davema mengepalkan tangannya, hatinya berdenyut nyeri saat lagi-lagi ia menyakiti Dinda. Suara getaran handfhone di saku celananya membuat Davema merongohnya, mengambil handfhone miliknya dari sana.
Davema menghela nafas pelan, Maria, untuk apa wanita itu menghubunginya. Ia mengabaikan, namun lagi-lagi Maria menghubunginya. Mau tidak mau, akhirnya ia mengangkatnya.
"Kenapa?" Ujarnya tanpa basa basi.
"Kamu nggak pulang? Ada mama sama papa kamu disini Dave".
Sial!
Davema menyugar rambutnya kasar, ia benar-benar kesal. "Nanti saya pulang". Ujarnya begitu saja dan memutus panggilan sepihak tanpa menunggu Maria bersuara kembali.Davema menghampiri Dinda yang berbaring di samping putranya. "Sayang, saya akan pulang, hanya sebentar, saya akan berusaha segera kembali".
Dinda tersenyum kecut, ia sudah tahu kalau akan begini akhirnya.
Davema tahu, Dinda kecewa, tapi, mau bagaimana lagi, ia tidak ingin Maria membuat kekacauan.
"Saya sangat sayang kamu Din, maafkan saya".
****
Davema duduk di ranjang dengan tatapan datar, ia baru saja tiba beberapa menit yang lalu. Sialnya lagi, orang tuanya tiba-tiba menginap. Mau tidak mau, ia harus satu kamar dengan Maria.
"Katanya, Dinda kembali, benar?"
Davema hanya diam, menatap Maria dengan tatapan dingin.
"Kamu habis bersama dengan dia?"
"Menurut kamu??"
Maria tersenyum kecut, itu sudah pasti, Maria menggigit bibir bawahnya, hatinya berdenyut nyeri.
"Buat apa wanita itu kembali? Dia sudah meninggalkan kamu, dan datang seenaknya. Dari dulu, dia benar-benar perempuan yang nggak sadar diri, sok cantik da..."
"Kamu menjelek-jelekkan istri saya seolah kamu paling benar Maria, kamu tidak sadar atas apa yang kamu lakukan pada kami? Kamu sudah menghancurkan keluarga kecil saya, kamu tidak menyadari hal itu?? Dan istri saya memang cantik, harusnya kamu tau itu. Harusnya saya tidak pernah datang ke rumah kamu, dan menolong kamu, bahkan harusnya saya tidak menghampiri kamu di toilet". Ujar Davema, lalu beranjak turun dari ranjang dan pergi dari kamar. Ia benar-benar muak dengan semua ini. Sungguh!
Maria mengetatkan rahang, ia benar-benar membenci Dinda, sialan sekali wanita itu. Ia sangat membenci Dinda.
Davema merasakan hatinya berdenyut sakit saat mengingat bagaimana Maria menghina wanitanya. Demi apapun, ia benar-benar merasa sangat bersalah kepada Dinda, ia menyesal tidak mendengarkan apa yang Dinda katakan padanya.
Ia tidak tahu, jika selama ini, Maria-temannya, menyukainya, dan selama ini pula, Maria menjelek-jelekkan Dinda dan memfitnahnya. Tapi, ia selalu mengabaikan ucapan Maria karena rasa cintanya kepada Dinda yang begitu besar. Dan, sekarang, ia benar-benar sudah tahu sifat asli Maria, wanita itu, benar-benar munafik. Sayang sekali, justru wanita munafik itu menjadi istri keduanya.
Bila mengingat soal ini, ia benar-benar ingin memukul dirinya sendiri hingga babak belur. Ia benci kepada dirinya sendiri, benci kala mengingat kejadian yang membuat semua orang mendesak dan memaksanya menikahi Maria.
Sialan!
Benar-benar sialan!Davema mengacak rambutnya, lalu duduk di kursi dekat balkon, menatap bintang-bintang di langit yang bertebaran. Hal yang biasa ia lakukan selama dua tahun ini, sejak Dindanya pergi.
"Nak, belum tidur??" Rianti, ibu Davema, mendekati sang putranya yang duduk seorang diri dengan tatapan sayu.
Davema memaksakan senyumnya, "belum, mama kenapa belum tidur, disini dingin ma, mama masuk saja, ini sudah malam".
Riyanti menggeleng, ia enggan menuruti perintah putranya, "Bagaimana dengan Dinda, menantu mama?"
Davema menelan ludah, "Dinda, dia semakin cantik ma, dan, dia membawa seorang cucu tampan untuk mama".
Rianti mengernyit, "maksud kamu? Dinda, punya anak?"
"Iya, anak kami, wajahnya mirip dengan saya, dan itu semakin membuat saya merasa tidak becus menjadi suami dan ayah untuk mereka. Saya, saya benci dengan situasi ini".
Rianti menutup mulutnya, ia ikut merasakan perasaan yang dialami putranya dan apa yang dialami Dinda-menantunya. Dinda, menantunya pergi saat melihat sang suami harus menikah dengan wanita lain, dan artinya, saat itu pula, menantunya tengah mengandung.
Ya Tuhan, ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya menjadi Dinda.
"Dinda dan cucu mama, mereka berdua dimana? Mereka baik-baik saja kan nak? Mama ingin bertemu, mama sangat merindukan Dinda".
"Nanti, saya akan membawa mama kepada mereka".
Riyanti mengangguk dengan mata berkaca-kaca, "Davema, jangan biarkan Dinda pergi lagi nak, dia pasti sudah banyak melewati hal sulit"
Davema mengangguk, ia tidak akan membiarkan wanitanya pergi lagi.
"Dan, jaga mereka, mama akan selau mendoakan kalian".
"Terimakasih ma" jawab Davema tulus.
______________
Jangan lupa vote dan komennya ya♡

KAMU SEDANG MEMBACA
Possesif Dema (Davema)
RomanceWarning 21+ Davema memandangi wanita cantik yang selama dua tahun ini pergi darinya, tidak ada yang berubah, wanita itu tetap cantik ah malah semakin cantik, anggun dan semakin luar biasa dalam karirnya. Sungguh! ia tidak akan pernah melepaskan, Ad...