Keadaan ini cukup menyiksa bagi Hinata. Ia hanya bisa berbaring tanpa minat, meskipun tak terlelap sama sekali.
Makan malam tadi, ia bahkan meminta bantuan kepada Hanabi agar menyiapkannya, karena merasa begitu lemas untuk sekadar melakukan aktivitas sekecil apa pun.
Hinata hanya ingin berbaring, merilekskan diri, dan tak berbuat apa-apa.
Malas.
Sepertinya, itu kata yang sesuai untuk menjabarkan dirinya sekarang ini.
Hanabi juga sudah sempat datang dan memanggilnya supaya bisa makan malam bersama, tetapi, Hinata menolak lantaran tak begitu nyaman untuk menelan sesuatu.
Mungkin, ia akan mengisi perut setelah dirinya merasa jauh lebih baik.
Saat pintu kamarnya diketuk, Hinata melirik kecil. Ia berseru pelan untuk merespon, diikuti oleh kehadiran sang ayah di sana.
Ayah pasti ingin mengetahui keadaannya.
"Ayah ..."
"Masih merasa tidak enak badan?"
Hinata mendudukkan diri. Memberi senyuman tipis pada sang ayah agar tidak membuat beliau cemas.
"Aku sudah merasa jauh lebih baik."
Hiashi bergumam. Menempatkan diri di dekat ranjang sang anak, pria yang senantiasa masih menggunakan kursi roda tersebut sengaja membuat obrolan agar Hinata bisa melupakan sejenak rasa tidak nyamannya.
"Ibu kalian juga mengalami hal yang sama saat mengandung kalian. Bahkan lebih parah, karena dia sampai merasa jijik pada Ayah."
Pelan, Hinata tertawa. Cerita ini sudah berkali-kali ia dengar, namun tetap saja menghibur.
Ia jadi merindukan sang ibu.
"Mengenai kedatangan orang-orang itu, ..."
Seketika, senyuman Hinata memudar. Ia mengerti bila Ayah sedang membahas tentang ibu dan kakak Naruto.
"Sepertinya, dia tipe orang tua yang suka mengurusi masalah rumah tangga anaknya."
"Entahlah," Hinata membalas lembut. "Aku juga tidak begitu dekat dengan mereka."
"Dia memintamu untuk mempertimbangkan sesuatu. Ayah harap, itu tidak merujuk pada hal-hal yang tidak diharapkan. Ayah tidak bisa banyak berkomentar tentang apa yang terjadi saat ini, karena kamu sudah dewasa dan paham memilih apa yang tepat bagimu. Ayah hanya mengharapkan yang terbaik bagi dirimu. Jika itu hanya membuatmu terganggu, jangan terlalu dipikirkan."
"Terima kasih, Ayah." Hinata tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk semua pengertian dan ketabahan yang dimiliki oleh sang ayah. Beliau terlalu baik. Hiashi adalah ayah yang luar biasa bagi mereka.
"Apa ... Ayah baik-baik saja dengan semua ini?"
Untuk beberapa saat, Hiashi tampak memikirkan jawaban apa yang tepat untuk ia katakan. Dirinya tak ingin menimbulkan kata-kata yang hanya akan membuat Hinata merasa semakin disudutkan.
Dia sudah melewati terlalu banyak masalah. Sebagai orang tua, Hiashi tidak bisa menampik segala sesal yang masih ia miliki sampai saat ini.
"Ayah baik-baik saja. Yang terpenting sekarang adalah keadaanmu."
"Ayah..."
"Baiklah, lebih baik kita berhenti membahas sesuatu yang bisa membuatmu terlalu banyak berpikir."
Hinata tahu Ayah sedang mecoba mengalihkan keadaan. Hinata tak ingin bersikeras, jadi, ia mengangguk pelan. "Iya."
Hiashi tersenyum. Teduh sekali. Ia menatap perut sang anak cukup lama. Di sana memang sudah terlihat perbedaannya. "Dia tumbuh dengan cepat, dan umur-umur seperti Ayah ini memang sudah sangat rindu menggendong bayi. Ayah sudah sangat tua. Rasanya baru kemari melihat kalian memakai seragam TK."
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement [ NaruHina ] ✔
FanfictionHubungan mereka sederhana; Hanya perlu melakukan 'hal kecil' yang Namikaze Naruto inginkan, maka Hyuga Hinata akan memperoleh apa yang Ia butuhkan. *** "Karena kita bukan orang yang saling mengenal, kurasa, ini tidak akan menjadi masalah yang begitu...