3

1.4K 225 47
                                    

Tegang. Tanpa mesti dipertanyakan, Naruto tahu jika wanita di hadapannya menjadi begitu kaku. Matanya menampilkan getar tak menduga. Deru napasnya seolah terhenti sejenak.

Dia syok.

Hal ini membuat seringai tipis tercetak pada bibir si pria Namikaze.

"Itu yang selalu dia katakan padaku." Naruto mengelus pelan lingkaran stir kemudi. Jari-jari panjangnya bergerak begitu aktraktif seolah sedang menelusuri permukaan kulit seorang wanita. "Hubungan kami membuatnya merasa bila aku sedang membunuhnya secara perlahan."

Penjelasan tersebut seperti membuat Hinata dapat kembali meraup oksigen. Meskipun tidak memahami begitu jauh ucapan pria di hadapannya, namun setidaknya, hal menyeramkan yang baru saja Ia pikirkan -- bukanlah sesuatu yang benar.

Hinata sempat mengira bila pembunuhan yang diucapkan merujuk dalam arti yang sesungguhnya.

Namun demikian, tetap saja, sampai sekarang Hinata masih tidak dapat menampik ketegangan yang ia rasakan.

Sejak pertama kali berada di dekat pria ini, Hinata tak main-main saat berkata bila ada sesuatu yang membuatnya merasa seperti terhimpit. Pembawaan dan cara bicaranya yang tenang, tidak sama sekali bisa memberi kesan nyaman.

"Kami memutuskan berpisah karena dia menginginkan hidup yang lebih baik dan ... normal." Naruto memejamkan mata. Ia seperti sedang mengenang kembali masa lalu yang pernah dilalui. "Namun, namanya perpisahan, pasti ada saja yang membuat salah satu pihak merasa dirugikan."

"..."

"Dia mengancamku, dan aku bukan orang yang suka diperlakukan seperti itu. Setidaknya, dia harus merasakan kerugian yang sama." Naruto tersenyum. Merasa lucu karena ia malah menceritakan tentang kisah percintaannya kepada orang lain. "Tapi, aku menghargai keputusannya. Aku tidak bisa melarang bila dia memang mengharapkan keadaan yang lebih baik. Lagi pula, aku tidak ingin dianggap sebagai pembunuh."

Kepala Hinata tertunjuk. Ia merenung sejenak, sebelum bergumam untuk merespon. "Jadi begitu."

Naruto meliriknya secara singkat. Pria itu memahami bila respon tersebut hanya sekadar ingin menghargai cerita lamanya.

"Kau sudah mendapatkan alasannya. Jadi, apa jawabanmu?"

Tangan Hinata berkeringat. Masih terlalu banyak rasa penasaran yang menghantui pikirannya, namun, ia tak berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di kepalanya.

"Baiklah. Aku kembali pada pertanyaanku sebelumnya," Naruto melanjutkan. "Kenapa kau berubah pikiran dan memutuskan menghubungiku?" Mungkin, Ia bisa mendengar sedikit.

"Ada keperluan mendesak. Biaya sekolah adikku harus dilunasi sebelum tanggal ujian mereka dilaksanakan. Aku juga harus membayar hutang kepada seseorang."

"Biaya perawatan ayahmu?"

"Ya, itu juga." Lidah Hinata terasa kelu.

"..."

"..."

"..."

"Aku ... hanya harus bertemu ibu Anda, 'kan?"

"Hm."

Berat, Hinata meneguk ludah. Sepertinya, mau tak mau ia harus memutuskan. "Baiklah, aku akan melakukannya."

Mengangguk pelan, Naruto seolah sudah memahami bila hal ini akan terjadi. "Kalau begitu, pastikan lusa nanti kegiatanmu kosong. Kita akan pergi menemui Ibuku."

"Secepat ini?" Terkejut, Hinata mendadak sedikit tidak siap. Rasanya terlalu terburu-buru.

"Semakin cepat, maka akan semakin baik. Kau butuh uang dengan segera, benar?"

Agreement [ NaruHina ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang