Hinata segera menuju ke kamar, tidak berniat mendengar lebih jauh pembicaraan antara Naruto dan Sai karena ... entahlah, ia hanya merasa sedikit tidak nyaman berada di sana.
Sekarang, Hinata sedang termenung di sisi ranjang. Wajahnya mengarah pada jendela, tetapi pikirannya sedang terjun entah ke mana.
Cukup erat, ia meremas sprei di sisi tubuhnya. Hinata merasa perlu melakukan hal tersebut karena ada sesuatu di dalam dirinya yang mendesak.
Sedetik kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Hinata tahu bila Naruto-lah yang datang, jadi, ia menolehkan wajah dengan setengah gerakan dan menyadari pria itu berdiri diam dalam jarak beberapa meter.
"Ke mana kau semalam?"
Pertanyaannya membuat Hinata mengulum bibir. Sebenarnya, inilah alasan mengapa Hinata hendak bertemu Naruto sesaat lalu. Ia ingin menjelaskan alasan dirinya tidak pulang malam kemarin.
"Aku di rumah sakit. Ayahku sudah sadar, jadi aku di sana untuk menemaninya."
Hening terjadi. Mata Hinata bergerak gelisah karena Naruto tak mengatakan apa-apa. Lalu, rembulan itu benar-benar menoleh secara penuh untuk menatap langsung mata biru itu.
"Maaf, aku tidak memberi kabar. Aku hanya takut mengganggu, karena aku tahu kau sedang kesal padaku."
"..."
"Aku membuat masalah."
Hinata menarik napas. Entah apa yang membuatnya merasa sangat berat saat ini.
"Ibuku memutuskan akan memberikannya padaku. Dia menyanggupinya."
Saat kalimat itu terdengar, bibir Hinata tertekuk miris. Oh astaga, apa yang salah dirinya? Mengapa ia malah bersikap aneh seperti ini?
"Ya, aku tahu. Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu bersama Sai," Hinata mencoba tersenyum. "Kau mendapatkan apa kau inginkan dan ayahku juga sudah sadar, semuanya kebetulan sekali."
"Dan kau tahu apa artinya itu?"
Hinata sempat menunduk, tapi dia kembali mendongak saat diberi pertanyaan. Naruto sangat datar padanya.
"Semua ... sudah selesai?"
Sejenak, Naruto membisu. Ia menatap wajah Hinata selama beberapa detik, setelah itu bergumam, "Hm."
Keterlaluan. Hinata tidak terima ini. Ia tidak terima mengapa perasaannya malah seperti tercubit.
Naruto, apa dia benar-benar hanya--
"Aku mengerti," Hinata berdiri. Sesungguhnya, ia ingin bertanya satu hal, namun, Hinata tidak berani mengatakannya. "Rencananya terbongkar dan kau sudah berhasil mendapatkan tujuanmu. Keadaan ayahku juga sudah mengalami perkembangan, jadi, ... ya, seperti ini."
Mata biru itu, Hinata berpaling agar tidak menatap mata biru itu lagi.
"Untuk bayaranmu, aku akan memberikannya sesuai dengan yang sudah dijanjikan."
Bayaran.
Mata Hinata memanas. Mengapa air matanya malah ingin keluar?
Tangannya terkepal. Perkataan Naruto seperti menggores harga dirinya sangat dalam.
Setelah mencoba menenangkan diri, Hinata kembali membalas tatapan.
Kali ini bukan pandangan lemah atau berusaha tegar yang dia perlihatkan, melainkan sorot tajam.
"Ya, kau memang harus membayarku. Itu sudah kesepakatan kita."
Naruto mendengus.
Hebat sekali. Naruto memang manusia yang selalu menganggap remeh segala hal. Dengusan itu sangat menyebalkan di telinga Hinata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agreement [ NaruHina ] ✔
FanfictionHubungan mereka sederhana; Hanya perlu melakukan 'hal kecil' yang Namikaze Naruto inginkan, maka Hyuga Hinata akan memperoleh apa yang Ia butuhkan. *** "Karena kita bukan orang yang saling mengenal, kurasa, ini tidak akan menjadi masalah yang begitu...