03.

52 36 8
                                    

Pada malam hari, Zalfa menekuni kegiatan yang sama sekali berbeda dengan tugas sekolah. Berbekal ilmu teknik dari sang Papa, penyedot debu telah dia bongkar. Bagian mesin dimodifikasi dengan menghubungkan rangkaian komponen sensor debu, resistor tambahan senilai 150 ohm, dan kapasitor 220 mikrofarad.

Di kota kecil tempat tinggal Zalfa saat ini, kompetisi bidang robotika diadakan suatu instansi dalam kurun waktu setahun sekali. Tetapi, ekstrakurikuler robotika SMA Taruna justru dihentikan tepat enam bulan lalu. Alhasil tahun ini Zalfa harus berjuang sendirian untuk meraih trofi.

Kepulan asap timah solder pun terapung keluar jendela kamar Zalfa. Meja kerja di kamarnya tahan bakar, sehingga dia rasa proyek ini aman-aman saja. Sesekali hidung Zalfa berdengkus kasar, sebab keadaan jemarinya yang belum mahir menyolder rangkaian komponen elektronika pada papan sirkuit dalam struktur mesin penyedot debu.

"I WON'T WASTE MYSELF ON YOU ... YOU ... YOU. WASTE MYSELF ON YOU ... YOU, YOU. Aaaa!"

Mata solder bersuhu tinggi tergelincir membakar telunjuk kiri Zalfa. Desisan kasar terus keluar dari mulutnya saat mencabut colokan solder yang terhubung listrik dan meletakkan kembali segala peralatan ke brankas penyimpan. Secepat kilat dia pun berlari ke dalam kamar mandi dan membasuh tangan dengan air keran. Progress mandiri Zalfa bermodalkan sisihan uang saku bulanan kini berantakan, hanya karena Fahmi berjerit ria macam orang kesurupan.

Kamar Fahmi memang berada di seberang kamar Zalfa. Sama-sama berada di lantai ke-dua rumah. Mereka bisa melihat satu sama lain dalam jarak tiga meter. Setelah keluar dari kamar mandi, Zalfa pun mengambil sandal jepit dari bawah meja. Di dekat jendela kamar, kuda-kuda beladiri seketika dia ancangkan. Kedua sandal dilemparnya hingga melesat cepat ke dalam kamar Fahmi.

"ON YOU ... EH, BUSET."

Musik berisik baru saja dimatikan oleh sang tersangka teriakan. Dari jendela di seberang sana yang masih terbuka, muncullah pemuda tampan berpiyama kuning dengan ciri khas mata sipit beriris hitam kecokelatan, kulit seputih aktor Tionghoa. Alis tebal sebanding alis Bruce Lee, dan surai hitam bagian atas diikat ala-ala Takiya Genji. Akan tetapi tidak mirip kedua tokoh film laga tersebut sama sekali.

Selain itu, ada satu fakta konkret mengenai tetangga Zalfa ini.

Jidat Fahmi lebar.

"Sopankah begitu?" Fahmi melipat tangan di depan badan. Sisir hitam kecil dia jepit di ketiak. "Kalau ada perlu tinggal panggil. Jangan lempar sendal!" seru Fahmi dengan alis tebal bertaut kesal.

Gadis berwajah ketus menarik napas panjang dan diembuskan perlahan. "Konser lo bikin isi otak gue berantakan," ujar Zalfa seraya memijit dahi yang tak selebar jidat Fahmi.

Namun, respons pemuda di seberang justru mengusap hidung mancung yang gatal. Lalu dengan raut wajah datar berucap, "Ya maap."

Tekanan di kepala Zalfa kian memuncak. "Gue baru inget tadi di jam istirahat lihat Reza di halaman kosong samping sekolah. Dia jatuh ke lubang jebakan yang lo buat kemarin-kemarin," ucap gadis itu kini meremas celana piyama berwarna abu yang dia kenakan. Rasa ingin memukul tepian jendela pun ditahannya sekuat mungkin.

"Bagus, dong." Fahmi mengorek harta karun di lubang hidung, tanpa menghiraukan tatapan tajam gadis di seberang.

Brak!

Bagus gundhul-kau, Nyet! Gue pulang -pulang di-bully gegara lo berarti! batin Zalfa setelah menutup jendela kamar secara kasar. Dia kembali duduk di kursi meja belajar dan meneliti layar laptop. Telunjuknya bergerak cepat di atas touchpad guna mencari file jurnal referensi penelitian. Penyesalan terkadang hinggap di hati, mengingat pendapat seseorang bahwa gadis tomboi macam dirinya lebih cocok berada di sekolah teknik. Namun, patuh terhadap keputusan orang tua lebih penting bagi Zalfa.

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang