Mata sayu milik pemuda berkulit semolek porselen hampir tak terlihat oleh lindungan hoodie. Beberapa siswa-siswi di koridor memilih menyingkir agar tidak mengganggunya. Benar, mengganggu kenyamanan seorang Agil Ichsan adalah kesalahan fatal, dan tiada seorang pun mau melakukannya. Setidaknya, begitulah yang dipikirkan Zalfa.
Menepis keramaian koridor kelas sebelas, adalah hal yang sedang dilakukan kedua sahabat di samping Zalfa ini. Dia merasa harga dirinya sedang turun drastis, sebab Agil berjalan dengan tingkah sok dingin, sedangkan Fahmi menunjukkan si Bambang (kumbang hijau kesayangannya) ke segala arah. Bagaimana orang-orang tidak menghindar? Pemuda di kanan-kirinya ini saja sungguh sangar. Sudah lawak, tengil, liar lagi!
Zalfa, Agil, dan Fahmi pun sampai di area loker sekolah. Bising siswa-siswi yang lalu-lalang serta suara brankas terbuka menyambut gendang telinga. Kemarin mereka direpotkan dengan rumus-rumus Matematika. Sedangkan hari ini, tepatnya pada hari Selasa, adalah saatnya untuk memenuhi otak dengan ragam kosa kata bahasa. Mereka harus membawa kamus bahasa Inggris agar tidak diusir keluar kelas oleh Pak Agung—guru bahasa Inggris mereka—pagi-pagi.
"Duh, Mi! Gue lupa!" seru Agil yang tengah mengobrak-abrik isi brankas, "Kamus gue belum dibalikin sama Yuyul!" sambungnya menatap Fahmi dengan wajah panik. Pemuda mirip bule itu menarik hoodie-nya frustasi. Rambut bergelombangnya pun kini tampak berantakan.
"Kamus lo dicuri tuyul?" Fahmi menoleh penasaran.
"Yuli, bego! Enak aja lo katain pacar gue tuyul." Agil kini menutup brankas merah berukuran sedang yang letaknya di tengah itu. Brankas milik mereka bertiga memang bersebelahan dan lebih mudah digapai.
"Oh, si Mbak Yuli," ucap Fahmi manggut-manggut sebelum mengambil buku tebal dan menutup brankas. "Tuyul dan Mbak Yul. Agil jadi tuyulnya, jhahahah!"
"Psst! Diem, Mi!" sela Zalfa menepuk sebelah pundak Fahmi. Gadis itu pun menunjuk seseorang yang sepertinya sedang berjalan ke arah mereka.
Seorang perempuan, berbadan tinggi, mulus, kurus, rambut lurus tergerai yang tersenyum manis datang mengembalikan kamus Agil. Terdapat lambang XII di lengan kanan seragamnya, menandakan bahwa dia adalah senior. Zalfa tak habis pikir mengapa ada kakak kelas yang justru terjerat pesona lelaki buaya macam Agil Ichsan ini.
"Hehe, makasih Yuyul!" seru Agil seraya tersenyam-senyum menerima kamusnya, "Ayo, aku anterin ke kelas!" sambungnya kemudian berjalan bersamaan bersama pacarnya di koridor.
Zalfa yang sedang membuka brankas dikejutkan oleh keberadaan sepucuk amplop di antara tumpukan buku-bukunya. Tidak biasanya dia mendapat surat cinta. Apakah itu memang surat cinta? Dia lalu mengambil kamus dan sepucuk surat itu bersamaan lalu kembali mengunci brankasnya.
"Mi, gue dapet ginian masa?" cetus Zalfa seraya menunjukkan amplop putih kecil pada sahabatnya.
"Cie... dapet surat cinta, nih? Coba buka?" ujar Fahmi nampak penasaran setelah mengambil kamus dan mengunci brankasnya sendiri.
Zalfa segera membuka amplop kecil yang ditemukannya. Mengeluarkan lipatan kertas dari dalam amplop tersebut dan membukanya, lalu membaca isi dari surat tersebut. Ternyata surat itu hanya berisi deretan angka yang mencurigakan. Mulai dari angka, "1910301718...," eja Zalfa membaca isi suratnya.
"Apaan, anjir?! Nggak jelas!" seru Fahmi merebut sepucuk surat dari tangan Zalfa. Karena tak percaya, dia pun membacanya segera.
"1910301718 10311023."
Fahmi menganga. Alisnya terangkat setinggi mungkin setelah membaca surat yang diterima sahabat ketusnya itu. "Nggak jelas! Buang aja, Fa!" seru Fahmi seraya berjalan menuju tempat sampah terdekat. Dia lalu membuang surat yang diterima Zalfa begitu saja ke tempat sampah.
"Malah dibuang. Terserah, deh!" ketus Zalfa kemudian berjalan bersama Fahmi menuju kelasnya.
***
Udara pada sore hari agak dingin kala itu. Siswa-siswi sibuk dengan kegiatan berberes mereka, setelah jam pelajaran ke delapan usai. Beberapa yang ikut ekstrakurikuler akan menetap di lingkungan sekolah, sedangkan siswa yang tidak berkepentingan akan memilih untuk segera pulang ke rumah.
"Mi, lo ada rapat OSIS, ya? Terus gue pulang sama siapa?" tanya Zalfa setelah selesai dengan kegiatan berberes mejanya.
"Tunggu di parkiran aja, Fa. Gak lama, kok," jawab Fahmi kemudian menggendong tas di punggungnya.
Zalfa, Fahmi, dan teman-temannya pun pergi keluar dari kelas. Sesuai perintah dari Fahmi, Zalfa pergi ke parkiran sekolah terlebih dahulu. Langkahnya perlahan menelusuri tempat parkir, mencari motor sport putih kesayangan Fahmi. Setelah menemukannya, dia pun menunggu sembari berdiri di samping motor sport putih itu.
Suara bising kendaraan yang dinyalakan dan siswa-siswi yang berlalu-lalang di tempat parkir mengusik pendengaran Zalfa. Tetiba, dia melihat seseorang sedang berjalan menuju ke arahnya. Seorang gadis tembam berkulit putih dengan rambut berkuncir kuda kini berhenti di hadapan Zalfa dan melambaikan tangan menyapanya.
"Hai, Fa! Mau temenin gue gak?" ujar Andien dengan senyum secerah mentari.
"Temenin kemana?" ujar Zalfa menautkan alis penasaran.
"Beli capcin depan sekolah. Kuy?" ajak Andien seraya menarik sebelah lengan Zalfa.
"Tapi gue lagi nungguin Fahmi," tolak Zalfa menepis tangan Andien.
"Sebentar aja, Fa! Ayo!"
Zalfa terpaksa menuruti kemauan Andien yang terus menarik-narik sebelah lengannya. Dia dan gadis itu kini berjalan bersama keluar dari gerbang sekolah. Hanya untuk membeli es capuccino cincau buatan ibunya Hanin saja. Namun, Zalfa bisa merasakan perasaan tidak enak kini menyelimuti hatinya.
Benar saja, belum sempat Zalfa dan Andien menyeberang jalan untuk pergi ke kedai es, mereka berdua sudah dihadang dan dikelilingi oleh empat pemuda dari SMK sebelah. Zalfa merutuki kesialannya dalam hati. Seharusnya dia menetap di dalam lingkungan sekolah saja tadi.
"Kalian berdua mau kemana?" ujar pemuda berbadan kekar, berkulit putih, dan berambut keriting, ialah Reza Prasetya, yang merupakan pimpinan geng kini melirik sinis dua gadis di hadapannya.
"Bukan urusan lo! Minggir!" sentak Zalfa dengan tatapan tajam terhadap Reza.
"Siapa lo nyuruh-nyuruh ketua, ha?" ujar pemuda berbadan tinggi, kulit putih, dan berambut lurus di samping Reza, ialah Kevin Widianto, yang merupakan wakil dari pimpinan geng Reza melirik Zalfa sinis.
"Mau gue hajar, ha?" ujar pemuda tinggi berkulit sawo matang dan berambut cepak, ialah Jani Saputra, yang merupakan anggota geng Reza kini maju selangkah di samping Kevin.
"Gak usah dihajar, disiram aja." Pemuda tinggi berambut cepak yang mengenakan kaca mata, ialah Andre Jullian, kini menimpali. Di tangannya terdapat es capuccino cincau tersisa setengah dari porsinya.
"Wah, ide bagus, Ndre. Sini capcinnya," titah Reza kemudian menerima gelas capcin dari Andre. Pemuda ini kemudian membuka tutup gelas capcin dan menuangkan isinya langsung ke atas kepala Zalfa yang masih bergeming. Sehingga, sontak keempat pemuda itu kemudian berseru.
"WEEEH...." Keempat pemuda kini tergelak bersamaan.
Andien menganga terkejut menatap Zalfa yang mendapat perlakuan tidak senonoh dari Reza. Dia tidak bisa melakukan perlawanan apa pun terhadap geng dari sekolah sebelah itu. Dia tidak mau menambah masalah hidup hanya karena berusaha membela Zalfa.
Sedangkan Zalfa kini memegangi kepalanya yang basah dan berbau cincau. Rasa dingin kini menjangkau ubun-ubunnya, akan tetapi darahnya justru berdesiran menuju otak. Emosinya kini sampai ke otak dan seketika kuda-kuda beladiri dia ancangkan. Dia lalu melompat dan membenturkan jidatnya sekeras mungkin ke dahi Reza hingga menimbulkan bunyi keras.
JEDUAK!
"WEEEH!" sentak ketiga pemuda kini panik memegangi badan Reza.
"Ayo, lari, Ndien!" teriak Zalfa kemudian lari berbalik menuju area sekolah bersama Andien.
***
To Be Continued.
Jejaknya jangan lupa oey.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVANIA
Teen Fiction[ Bukan cerita BL ] Kisahnya Zalfania Fransisca Tita. Punya tetangga tingkahnya lawak parah, tiada hari tanpa dibuat marah. Sudah punya banyak masalah, dibuat marah pula. Kesal-lah! Kisahnya Fahmi Ramadan. Punya teman masa kecil tingkahnya kaku para...