Gemericik air dari wastafel terdengar ketika Zalfa secara perlahan membasuh kepalanya yang lengket dan berbau capuccino cincau. Seragam putih-abunya bahkan terkotori oleh noda berwarna cokelat. Dengkusan napasnya terdengar kasar sekali, ketika tangannya mencuci helai demi helai rambut sebahunya. Jidatnya masih nyeri akibat sengaja dia benturkan ke dahi Reza yang merundungnya tadi.
"Sori, Fa. Harusnya gue gak maksa lo keluar area sekolah," ujar Andien yang sedari tadi menemani Zalfa di toilet sekolah.
Zalfa memeras rambutnya agar cepat kering, lalu mematikan keran wastafel. "Gakpapa, lo enggak salah, kok," ujarnya seraya merapikan rambutnya yang basah. Rintik kecil pun nampak berjatuhan dari rambut sebahunya itu.
"Ya udah, gue pulang duluan, ya," sahut Andien dengan nada agak canggung.
"Iya, hati-hati," ucap Zalfa dengan nada datar. Dia lihat Andien yang membuka pintu toilet dan bergegas pergi untuk pulang. Hatinya menyesal telah menuruti ajakan gadis tembam berkuncir kuda itu untuk beli cappucino cincau. Dia jadi dirundung lagi oleh geng Reza. Harus bilang apa Zalfa pada orang tuanya nanti? Berbohong lagi? Haruskah?
Zalfa pun membuka pintu dan keluar dari toilet perempuan. Begitu keluar, badannya langsung disambut oleh balutan jas merah marun milik Fahmi. Zalfa yang terkesiap langsung menatap Fahmi di sebelahnya.
"Pake jas gue dulu biar gak dingin-dingin amat," ujar Fahmi dengan raut wajah datar, "Ayo, pulang," sambungnya seraya menarik sebelah lengan sahabat ketusnya.
Zalfa dan Fahmi segera bergegas menuju tempat parkir sekolah. Fahmi menyalakan mesin motor sport putihnya setelah Zalfa naik dan membonceng di belakang. Fahmi bawa laju motornya dengan kecepatan sedang menelusur jalanan yang disinari cahaya sore hari. Sesekali mata sipit Fahmi melirik spion sebelah kiri, ingin mengetahui raut wajah seperti apa yang sedang gadis ketus itu tunjukkan.
"Mi, gue ikut ke rumah lo, ya?" seru Zalfa dengan nada terdengar cemas.
"Ya, boleh," jawab Fahmi dengan nada sedikit keras agar terdengar oleh Zalfa.
Fahmi memelankan laju motornya, tanda sebentar lagi akan sampai ke rumah. Dia pun menghentikan motor tepat di depan gerbang rumahnya. Zalfa turun dari motor dan membukakan gerbang rumah Fahmi. Kemudian, Fahmi mengendarai motornya masuk ke garasi, sedangkan Zalfa berjalan mendekat ke teras rumah.
Fahmi dan Zalfa pun melepas sepatu dan segera masuk ke dalam rumah. Rumah menghadap ke selatan yang berada tepat di sebelah kanan-barat rumah Zalfa. Entah sudah berapa kali Zalfa sering mampir ke rumah Fahmi. Biasanya dia mampir untuk bermain game bersama sahabat lawaknya itu. Akan tetapi kali ini Zalfa mampir untuk meminjam baju ganti dari Fahmi.
"Mi, tolong. Gue pinjem baju ganti lagi, ya? Gak mungkin gue pulang dengan tampilan kayak gini. Nanti Mama bisa curiga," ujar Zalfa yang kini duduk di kursi sofa ruang tamu.
"Iya, boleh. Sebentar, ya," sahut Fahmi kemudian menaiki tangga rumah ke lantai dua. Dia membuka pintu kamar yang terdapat stiker bertuliskan If U Not Human Do Not Enter. Mencari kaus dan celana yang tidak terlalu oversize untuk dipakai sahabat ketusnya. Setelah mendapatkannya, Fahmi keluar dari kamar, menuruni tangga, dan menghampiri Zalfa di ruang tamu.
"Maap, adanya baju sama celana pendek ini," ujar Fahmi menyerahkan baju dan celana kepada sahabatnya.
"Gakpapa. Oiya, orang tua lo belum pulang?" duga Zalfa melirik penasaran ke arah Fahmi yang kini memilih duduk di sofa ruang tamu.
"Ayah ada rapat dadakan di sekolah, Bunda belum pulang dari Badan Lingkungan," cetus Fahmi sedikit menguap setelah mengatakannya.
"Oh, gitu. Ya udah gue pinjem kamar lo, ya?" pinta Zalfa sedikit tersenyum pada Fahmi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVANIA
Teen Fiction[ Bukan cerita BL ] Kisahnya Zalfania Fransisca Tita. Punya tetangga tingkahnya lawak parah, tiada hari tanpa dibuat marah. Sudah punya banyak masalah, dibuat marah pula. Kesal-lah! Kisahnya Fahmi Ramadan. Punya teman masa kecil tingkahnya kaku para...