25.

29 14 2
                                    

Hari ulang tahun SMA Taruna yang ke-28 akhirnya tiba. Pada hari itu, OSIS SMA Taruna sepakat untuk menggelar class meeting. Berbagai macam lomba pun dilaksanaan. Salah satunya adalah lomba kebersihan kelas. Kali ini, para siswa XI-IPA 2 sedang sibuk membersihkan dan menghias kelas mereka.

Tak tanggung-tanggung, selain menyapu dan mengepel, siswa XI-IPA 2 juga menghias kelas mereka dengan tema planetarium. Hiasan berbentuk bintang terbuat dari origami ramai digantung di tiap jendela. Serta langit-langit kelas pun ditempelkan hiasan berbentuk bintang dan bulan terbuat dari kertas manila. Pada mading kelas yang ada di tembok depan pun dihiasi hiasan bintang dan diberi judul Mading Elastusinto (Eleven Class Natural Science Two).

"Bagus, 'kan, ide dari gue?" cetus Hanin, siswa yang merupakan ketua OSIS ini lalu membenarkan jepit rambut pada poni rambut sebahunya.

"Iya, bagus, Njul. Kelasnya jadi kayak kelas anak TK!" seru Fahmi seraya bertaut kesal alis tebalnya. Mata sipitnya melirik tajam ke arah sang sepupu, yaitu Hanin, yang kerap disapa dengan sebutan Panjul.

"Mulut lo gue lem juga lama-lama, Padmi!" ketus Hanin dengan wajah garang ingin mencakar wajah Fahmi.

"Udah jangan bertengkar, bintangnya masih kurang banyak ini," ujar Deby seraya membenarkan letak kaca mata ber-frame merah jambunya itu.

"Jangan bintang mulu, buat juga bulan sabitnya!" sahut Rofi dengan antusias.

Siswa XI-IPA 2 sibuk bekerja di meja masing-masing. Membuat hiasan untuk ditempelkan sebanyak mungkin. Tak terkecuali Zalfa, dia sibuk menggunting kertas membentuk bintang untuk ditempel di langit-langit kelas. Dia lalu teringat bahwa pada jam sepuluh nanti ada lomba debat bahasa Inggris yang harus dia ikuti bersama Fahmi. Zalfa lalu menepuk pundak pemuda keturuan Tionghoa yang bertempat duduk di depannya itu.

"Mi, jadi ikut lomba debat, 'kan?" ujar Zalfa dengan raut wajah serius.

"Ya, jadi."

Fahmi menjawab dengan singkat, membuat Zalfa mengernyit heran. Dia jadi penasaran atas perubahan sikap Fahmi terhadapnya. Tetapi, setiap Zalfa bertanya apakah Fahmi marah, jawaban pemuda bermata sipit itu selalu sama, yaitu tidaklah marah. Membuat Zalfa bingung dan frustasi memikirkannya.

Tepat pada pukul sepuluh, Fahmi dan Zalfa pun keluar dari kelas dan berjalan menuju laboratorium komputer di lantai ke-tiga, tempat dilaksanakannya lomba debat bahasa Ingggris. Mereka pun memasuki ruangan dan duduk pada bangku yang tersedia. Zalfa lalu melihat ke sekeliling ruangan, begitu ramai dengan siswa yang sedang berlatih debat. Hingga matanya terbelalak melihat seorang Nandit yang ternyata duduk di depannya.

"Lo lagi. Gue bosen ketemu lo mulu," ketus Zalfa seraya melirik sinis Nandit.

"Kak Zalfa ikut lomba debat sama siapa?" tanya Nandit penuh penasaran menatap Zalfa.

"Sama gue," sahut Fahmi, "Oh, lo belum kenal gue, ya? Perkenalkan, gue Fahmi. Siswa terguanteng dari XI-IPA 2," sambung Fahmi seraya menjabat tangan Nandit.

Sedangkan Zalfa hanya bisa membatin, sifat lawak nomor satu, sok ganteng!

"Nandit, dari sepuluh IPA satu." Nandit menjawab seraya mengeraskan jabat tangannya pada tangan Fahmi.

Tak lama, Fahmi dan Nandit melepas jabat tangan mereka. "Lo pasti adiknya Kak Langit, 'kan?" tanya Fahmi seraya memegangi dagunya sendiri.

Sedangkan Zalfa kini membatin lagi, sifat lawak nomor dua, sok tahu!

"Iya, Kak, bener. Memangnya kenapa, Kak?" sahut Nandit seraya tersenyum canggung.

"Gakpa-pa. Gue cuma mau ngasih ini. Gue harap kita bisa berteman baik! Gak kayak Zalfa yang musuhin lo," terang Fahmi kini menyodorkan plastik kecil berisi tiga buah cotton bud pada Nandit. Jangan lupakan senyum ramah di wajah Fahmi yang cerahnya dapat menerangi satu kota.

Sedangkan Zalfa lagi-lagi membatin keras dalam hati, sifat lawak nomor tiga, sok akrab! Lagian korek kuping buat apa anjir?

"Makasih, Kak." Nandit menerima korek kuping dari Fahmi dengan senyum canggung menahan tawanya.

Malah diterima! Mikir apaan, sih, ini bocah? Huwaaaa! batin Zalfa sudah tidak tahan dengan kelawakan dua orang di depannya itu dan menangis batin.

Mendadak Nandit bangkit dari duduknya. "Kak, gue jarang main ke lantai tiga ini. Toilet terdekatnya di mana, ya?" tanya Nandit kepada Fahmi dengan nada serius.

"Dari sini, lo lurus, mentok kandang macan, belok kanan, mentok kandang kebo, belok kiri," terang Fahmi seraya tangannya memberi isyarat berbelok-belok pada Nandit.

"Instruksi macam apa itu, Fahmi Lawak?!" sentak Zalfa yang sudah hilang kesabarannya. Tangannya menyentil jidat lebar Fahmi berkali-kali.

"Ampun, Fa, ampun!"

***

Pada sore hari pukul setengah empat, Zalfa sedang berjalan di koridor menuju tempat parkir sekolah. Kegiatan class meeting hari ini benar-benar melelahkan. Ditambah lagi dia gagal memenangkan lomba debat bahasa Inggris. Dan juga, sikap Fahmi yang berubah cuek serta judes terhadapnya membuat otak pusing saja. Sesampainya di tempat parkir, Zalfa segera mengambil dan memakai helm-nya.

"Fa."

Seseorang tetiba menepuk bahu Zalfa. Gadis ketus itu pun menoleh dan menyadari bahwa Agil-lah yang memanggilnya. "Kenapa, Gil?" tanya Zalfa kini berbalik badan menghadap Agil.

"Gue pulang bareng lo, ya? Lagipula kita searah," ujar Agil sedikit tersenyum menatap gadis di hadapan.

"Oh, oke."

Zalfa pun menyerahkan helm bogo-nya pada Agil. Membiarkan pemuda berkulit seputih porselen itu mengendarai motornya, sedangkan dirinya membonceng di belakang. Dapat Zalfa rasakan bahwa Agil mengendarai motornya dengan santai dan tidak ugal-ugalan seperti anggota geng motor pada umumnya.

"Vespa lo kemana, Gil?" tanya Zalfa mengingat Agil biasanya mengendarai vespa ke sekolah.

"Di bengkel, lagi rusak parah." Agil menghela napas setelah menjawabnya. "Gue tadi pagi dianter pakai mobil bokap gue. Tapi sekarang bokap gue sibuk gak bisa jemput," sambung Agil memberi penjelasan.

"Kenapa gak ikut Mbak Yuli? 'Kan lo bisa pulang bareng dia?" ujar Zalfa dengan wajah heran yang bisa dilihat Agil melalui spion sebelah kiri.

"Gue udah putus dari dia, Fa."

Zalfa menganga, tercengang mendengar penuturan dari Agil barusan. Dia lalu menutup mulut dan memegangi dagunya sendiri. "Kok bisa putus?" tanya Zalfa dengan nada terheran-heran.

"Ya bisalah. Dia udah bosen sama gue," jawab Agil seraya berdecak kesal.

Zalfa terdiam. Dia menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Karena penasaran, Zalfa pun menanyakan hal yang membuat Agil ingin mengumpat. "Mantan lo ada banyak, ya, Gil?" tanya Zalfa seraya menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal.

"Mantan gue ada empat. Semua kayak bangsat."

Lihat? Agil benar-benar menjawab pertanyaan Zalfa disertai umpatan kesalnya. Sedangkan Zalfa hanya bisa tertawa kecil seraya membatin dalam hati. Dan gue gak mau jadi yang kelima!

Zalfa mendadak teringat akan suatu hal. "Gil, menurut lo kenapa Fahmi sikapnya berubah judes ke gue?" ujar Zalfa kini memainkan tudung hoodie milik Agil yang bergoyang-goyang terkena angin.

"Lah? Lo gak tau, Fa?" duga Agil memberi jeda sebelum berucap. "Fahmi udah jadian sama Ghea!" serunya kini menghentikan motor di perempatan lampu merah.

Zalfa kembali menganga terkejut seraya menatap lampu merah yang menyala di atasnya. "Fahmi jadian sama Ghea?" ujarnya mengulang kalimat dari Agil.

"Kok bisa?"

***

To be continued

Jangan lupa vote, komen, share, dan masukkan cerita ini ke reading list kalian!

Oke?

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang