21.

22 14 0
                                    

Dua minggu yang melelahkan telah berlalu, ialah hari-hari berisi ujian akhir semester satu dan remedial. Hari ini adalah hari pembagian raport semester satu. Orang tua dari siswa akan datang ke sekolah untuk mengambil raport milik anak-anak mereka. Zalfa beserta teman-temannya kini berada di koridor, menunggu raport selesai dibagikan oleh guru kepada para orang tua.

Hati Zalfa begitu resah menunggu kabar dari orang tuanya nanti. Terkait peringkatnya yang apakah nanti turun atau justru naik dan mengalahkan si Kembar. Dia sebenarnya sangat tidak ingin bertaruh. Akan tetapi dia sudah terlanjur mengiyakan taruhan antara dirinya dan Avan. Entah siapa yang akan menang maupun kalah nanti.

"Mi, menurut lo, kali ini gue bakal menang gak?" cetus Zalfa yang duduk di kursi koridor di samping Fahmi.

"Harusnya, sih, kalah, Fa. Biar gue gak jadi kayang," jawab Fahmi diiringi tawa renyah setelahnya.

"Ah, gak asik lo, gak dukung gue," timpal Zalfa dengan wajah kecewa.

"Ya udah iya. Gue dukung lo, deh. Semoga menang, ya," ujar Fahmi seraya tersenyum simpul.

Tak lama, satu per satu orang tua atau wali murid pun keluar dari kelas yang digunakan untuk pembagian raport. Zalfa pun langsung menghampiri ayahnya yang keluar dari kelas membawakan raport miliknya. Bisa dia lihat dari raut wajah ayahnya yang terlihat biasa-biasa saja. Sepertinya kali ini Zalfa sudah tahu jawaban dari segala rasa penasarannya.

"Aku dapat peringkat berapa, Pa?" tanya Zalfa pada ayahnya dengan wajah penasaran.

"Selamat, Nak. Kamu dapat peringkat paralel ke-empat lagi," ujar Tito seraya mengusap-usap pucuk kepala puterinya.

"Maaf, Pa. Lagi-lagi Zalfa gagal dapat peringkat satu," ujar Zalfa tanpa menatap wajah ayahnya. Dia ingin menangis.

"Gakpapa, Nak. Belajar lebih giat lagi, ya? Kamu pasti bisa, kok," ujar Tito kini memilih untuk memeluk dan menenangkan puteri semata wayangnya.

Zalfa menangis dalam pelukan ayahnya. Hatinya terasa lelah menghadapi kenyataan bahwa dirinya memang kesusahan untuk merebut peringkat paralel satu dari si Kembar. Namun, dia telah memutuskan bahwa dirinya tidak akan pernah menyerah. Masih ada kesempatan, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang berharga itu. Zalfa lalu menyudahi pelukan dengan ayahnya dan mulai mengusap-usap air matanya sendiri.

"Zalfa mau ke kantin dulu, Pa. Papa mau ikut?" ujar Zalfa kini berusaha tersenyum di hadapan ayahnya.

"Papa mau pulang, ada pekerjaan di rumah yang harus diselesaikan," ujar Tito seraya membenarkan letak kaca matanya.

"Oke, Pa. Hati-hati di jalan," ujar Zalfa lalu bersalaman dan mencium tangan ayahnya.

Zalfa kemudian pergi ke kantin sendirian. Dia ingin menghadiahi dirinya sendiri segelas es matchalatte. Sebuah self reward untuk kerja kerasnya selama ini. Masa bodoh apabila dirinya sedang kalah saat ini. Kerja keras sesekali juga perlu dihadiahi.

Sesampainya di kantin dia segera memesan seporsi otak-otak dan es matchalatte kesukaannya. Dia lalu menunggu pesanannya dan duduk di deret kursi-meja kantin. Tak lama, beberapa dari teman-temannya datang menyusulnya dan ikut duduk di sebelahnya. Ada Fahmi, Agil, Ali, dan Fendi kini ikut duduk di deret kursi kantin bersamanya.

"Fa, lo kalah lagi, ya?" terka Fahmi melihat wajah Zalfa yang tertera sedikit sembab.

"Diem lo, Mi." Zalfa melirik tajam ke arah Fahmi di hadapannya.

"Paralel satunya siapa emang?" tanya Ali dengan wajah penasaran.

"Si Avan," jawab Fendi yang duduk di sebelah Zalfa dengan cepat. Dia lalu sedikit tertawa setelahnya.

"Di, lo ketawa?" ujar Zalfa melirik tajam ke arah Fendi. "LO KETAWAIN GUE?" sambungnya menaikkan nada bicaranya seraya mencekal kerah seragam Fendi.

"Fa, sabar, Fa!" seru Fahmi sedikit panik.

BUGH.

Zalfa yang terbakar amarah pun memukul wajah Fendi. Fendi sampai terpental ke belakang. Zalfa berdiri dan berjalan menghampiri Fendi untuk memukulnya lagi. Akan tetapi dicegah oleh Fahmi dan teman-temannya.

"Fa, sabar, Fa! Lo gak boleh kayak gini!" seru Fahmi memeluk Zalfa dari belakang agar gadis itu tak bisa bergerak.

"Lepasin, Mi. Lepasin gue!" sentak Zalfa berusaha berontak.

"Yang lo pukul itu anak orang! Sadar, lah, Fa!" teriak Fahmi kini melepas pelukannya dan membalikkan badan Zalfa menghadapnya.

"Tapi lo bisa mukul Reza---"

"REZA ITU MUSUH. FENDI ITU TEMEN, FA. TEMEN KITA." Bentakan Fahmi membuat Zalfa seketika terdiam menatapnya. "Gue, tuh, muak sama lo yang sekarang, Fa. Lo udah bertahun-tahun latihan beladiri, lo lebih kuat dari cewek pada umumnya karena didikan Papa lo. Tapi seenggaknya kendaliin amarah lo, Fa! Mereka yang lo pukulin itu manusia! Anak orang! Lo nggak bisa sembarangan ngajak gelud anak orang! Sadar dikit, lah, Fa!" sambung Fahmi dengan wajah garangnya menyentak Zalfa.

"Udah, Mi. Gue gakpapa, kok," ujar Fendi yang sudah berdiri dari posisi jatuhnya akibat pukulan Zalfa tadi.

"Gakpapa gundulmu, Mas bro!" sentak Fahmi menatap garang Fendi.

Sedangkan Zalfa kini matanya menelusur keadaan sekitar yang mana dirinya menjadi pusat perhatian. Dia memilih berlari pergi meninggalkan kantin. Mengabaikan Fahmi yang terus-menerus memanggil namanya dari jauh. Pergi menelusur koridor dan berakhir masuk ke dalam toilet perempuan.

Zalfa mencuci mukanya sebentar. Dia perhatikan wajahnya sendiri di cermin. Masih sedikit sembab. Dia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dia akui dirinya memang kesulitan untuk mengendalikan emosi. Dia tidak tahu bagaimana raut wajah yang tepat untuk ditunjukkan di hadapan teman-temannya nanti.

Zalfa lalu keluar dari toilet perempuan dan langsung disambut oleh kehadiran seorang Avan. Dia memandang pemuda itu dengan tatapan sinis.

"Sori, gue rebut lagi paralel satu dari lo," ujar Avan di hadapan Zalfa dengan wajah datar.

"Gakpapa, lain kali gue bakal rebut paralel satu dari lo," balas Zalfa memandang Avan dengan wajah garang.

"Lo habis nangis?" ujar Avan hendak menyentuh sebelah pipi Zalfa. Namun, tentu saja tangannya langsung ditepis oleh sang gadis.

"Enggak." Zalfa berjalan menghindar dari Avan di koridor. Namun, pemuda itu juga berjalan mengikutinya.

"Gue habis mukul Fendi," ujar Zalfa tanpa melihat wajah Avan di sampingnya.

"Kenapa lo mukul dia?" ujar Avan menoleh ke arah sang gadis penasaran.

"Dia ngetawain gue. Gue kebawa emosi," terang Zalfa pada Avan diselingi helaan napas kesal.

Zalfa menghentikan langkahnya mendadak. Dia berpindah posisi di hadapan Avan dan tangannya menunjuk wajah pemuda itu dengan garang.

"Lihat saja nanti. Gue bakal rebut paralel satu dari lo! Dan gak bakal ada yang ketawain gue lagi!" sentak Zalfa yang langsung berbalik badan dan berjalan meninggalkan Avan setelahnya.

Avan yang langkahnya terhenti hanya memandangi punggung Zalfa yang sedang berjalan semakin menjauh darinya.

"Kenapa dia bersikeras banget, sih?"

***

To Be Continued

Jangan lupa jejaknya oey!

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang