Bel tanda istirahat kedua pada siang hari lantang berbunyi. Sebatang cokelat yang sedang Zalfa makan jatuh ke lantai kelas. Dia merasa sial sebab Fahmi dan Agil yang berada di dekatnya lantas mentertawakannya. Dengan tak acuh, Zalfa mengambil kembali sebatang cokelat di lantai tersebut. Lalu mulutnya mengerucut meniup-niup sebatang cokelat yang tersisa setengah dari porsinya itu.
"Belum lima menit!" seru Zalfa kemudian mengerling tajam ke arah Fahmi dan Agil yang duduk di depannya.
"Hati-hati, sakit perut nanti, Fa," sahut Fahmi seraya cengengesan melihat sahabat ketusnya sibuk mengunyah cokelat.
"Baru aja keluar dari RS, nanti masuk RS lagi gegara makan cokelat yang enggak higienis," cetus Agil tanpa melihat Zalfa, tangannya sibuk dengan permainan di gawai miliknya.
"Biar!" sentak Zalfa ketus. Dia lalu kembali menggigit sebatang cokelat dan mengunyahnya dengan cepat.
"Cokelat dari mana, sih, Fa? Perasaan di koperasi enggak ada cokelat batangan," ujar Fahmi dengan raut wajah terheran-heran seraya memegangi dagunya sendiri.
"Avan yang ngasih cokelat ke gue kemarin, pas gue dirawat di RS," terang Zalfa di sela-sela makan cokelatnya.
Tepat setelah Zalfa menyebut nama Avan, pemuda yang dimaksud tetiba datang memasuki kelasnya. Awalnya Zalfa mengira bahwa Avan datang hanya untuk menjemput Fendi untuk pergi ke kantin seperti biasa. Akan tetapi perkiraannya ternyata salah, sebab kini pemuda bertahi lalat kecil di batang hidungnya itu sedang berjalan mendekat ke arahnya. Setelah sampai di dekat meja Zalfa, Avan pun bergerak menarik pergelangan tangan Zalfa tiba-tiba.
"Fa, ikut gue ke rooftop!" seru Avan seraya menarik-narik pergelangan tangan kanan Zalfa.
"Jangan ditarik, bahu gue sakit! Bahu gue masih proses penyembuhan!" sentak Zalfa dengan wajah marah menahan rasa sakit di bahu kanannya.
Lantas Avan melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan kanan Zalfa dan berucap, "Maaf."
Zalfa pun berdiri dari duduknya. Dia lalu mengikuti Avan keluar kelas dan berjalan beriringan di koridor menuju ke rooftop sekolah. Mereka berdua lalu membuka pintu masuk rooftop dan berjalan menaiki anak tangga. Sesampainya mereka di rooftop, mereka langsung disambut oleh desiran angin yang menerpa wajah perlahan-lahan.
Zalfa memilih duduk dan bersandar di dinding pinggir rooftop. Avan pun memilih duduk di sebelah kanannya. Zalfa gigit kembali sebatang cokelat di tangannya. Sibuk mengunyah cokelat tanpa menghiraukan pemuda di sebelahnya. Rasa manis dan legit cokelat pemberian Avan membuatnya ketagihan.
"Gue kemarin udah bilang, kalau lo makan cokelat dari gue, berarti lo resmi jadian sama gue." Avan kini angkat suara. Dia lalu menoleh pada Zalfa di sebelah kirinya. "Lo enggak inget?" sambungnya bertanya pada gadis ketus itu.
"Iya, gue inget. Tapi gue enggak bisa nolak cokelat," jawab Zalfa di sela-sela makan cokelatnya. Dia lalu sempat terdiam beberapa detik. Kepalanya lalu mendongak melihat awan bergerak perlahan di langit. "Dan kayaknya gue juga enggak bisa nolak lo." Zalfa menyambung kalimat tanpa menoleh pada Avan.
Avan bisa merasakan seolah kupu-kupu berterbangan dari dalam perutnya. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar penuturan yang terlalu jujur dari gadis ketus di sebelahnya. Tanpa aba-aba, dia pun bergerak memeluk gadis ketus itu erat. Perasaan senang membuncah dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Makasih udah menerima gue," ujar Avan seraya memeluk Zalfa dengan erat. Matanya terpejam dengan senyum yang semakin menghangat pula.
"Sama-sama," ujar Zalfa tanpa membalas pelukan Avan. "Tapi bahu gue serius sakit, Van. Lepasin," sambung Zalfa membuat sang pemuda lantas melepas pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVANIA
Teen Fiction[ Bukan cerita BL ] Kisahnya Zalfania Fransisca Tita. Punya tetangga tingkahnya lawak parah, tiada hari tanpa dibuat marah. Sudah punya banyak masalah, dibuat marah pula. Kesal-lah! Kisahnya Fahmi Ramadan. Punya teman masa kecil tingkahnya kaku para...