07.

46 32 1
                                    

Sebuah ruangan terlihat luas, berlantai kayu jati, lengkap dengan lemari perlengkapan beladiri, dan setumpukan matras tersusun rapi di salah satu sisi. Sudah jelas Avan dan Fendi sedang berada di dojo* milik keluarga Zalfa. Hal ini terjadi karena gadis itu lupa akan pesan Fendi kemarin, untuk membawa buku Fisika. Jadilah sore di hari Kamis ini, si Kembar mampir ke rumah Zalfa. Sialnya, Kamis sore adalah jadwal untuk Zalfa berlatih beladiri. Si Kembar terpaksa menunggu Zalfa selesai latihan karena orang tua dari gadis itu berkata, "Mumpung lagi di sini, kalian bisa melihat latihan bela diri dulu."

Hal yang membuat si Kembar mengernyit untuk kesekian kali adalah keberadaan seorang ayah dan anak berwajah mirip keturunan Tionghoa. Mereka seketika tersadar bahwa yang sedang dilatih bersama Zalfa adalah Fahmi. Lalu pria paruh baya berseragam Karate yang tampak akrab dengan ayahnya Zalfa adalah Pak Farhan, guru seni musik di sekolah mereka saat ini. Avan dan Fendi sungguh terkejut melihat orang dengan dua keahlian sekaligus. Selain itu, mereka juga masih tak percaya bahwa Fahmi adalah putra dari Pak Farhan.

"Karateka, yoi!" tegas Pak Farhan terdengar keras.

"Yoi!" sahut kedua murid.

Masing-masing dari empat orang itu telah selesai melakukan peregangan. Tito tampak serius mengawasi pergerakan putrinya. Sedangkan Pak Farhan memberi arahan kepada muridnya.

"Heian Sandan!" sentak Pak Farhan.

"Hajime!"

Wanita paruh baya berambut panjang yang diikat rapi datang membawa nampan berisi minuman beserta camilan ringan. Beliau meletakkannya di dekat dua pemuda berwajah kalem yang sedang duduk bersila di dekat pintu dojo. Kedua pemuda itu seketika terkesiap.

"Maaf, Tante. Kita jadi ngerepotin Tante karena datang ke sini," ujar Avan sambil mengusap tengkuknya canggung.

Ika Prameswari justru tertawa kecil mendengar penuturan pemuda itu. "Nggakpa-pa," ujar beliau lalu turut duduk melihat latihan anaknya. "Saya malah senang dengan kehadiran kalian berdua, jadi saya tahu kalau anak saya berteman dengan baik di sekolah." Ika tersenyum lembut.

Si Kembar kembali melihat ke arah Zalfa dan Fahmi yang sedang dilatih oleh dua master sekaligus. Mereka semakin heran terhadap empat orang berseragam Karate itu, sebab sebelumnya mereka sempat melihat ada perlengkapan beladiri Kendo di suatu lemari yang terbuat dari kaca tembus pandang.

Avan tersenyum simpul mendapati fakta bahwa Zalfa ternyata sangat mirip dengan sang Ibu. Tetapi, ibu kandung Zalfa terlihat jauh lebih feminin. Membuatnya penasaran mengapa gadis ketus itu tidak memanjangkan rambutnya saja.

"Zalfa itu, agak kesulitan dalam berteman. Saya sempat khawatir kalau dia nggak punya teman selain Fahmi. Anak dari Pak Farhan itu, kalian pasti kenal, 'kan?" tutur Ika seraya melihat ke arah Fahmi yang fokus berlatih kata*. Gerakan pemuda keturunan Tionghoa itu tampak selaras dengan Zalfa.

"Kenal, Tante. Lagipula saya satu kelas sama Fahmi." Fendi berbicara di sela-sela makan biskuit cokelat.

"Kalau saya kenal Fahmi baru beberapa minggu yang lalu. Kelas kami bersebelahan," sambung Avan tersenyum lembut.

"Ngomong-ngomong, kalian nggak ikut latihan?" tanya Ika kini menoleh penasaran pada dua pemuda berwajah mirip itu.

"Saya suka olahraga, tapi Karate bukan salah satunya," jawab Avan, sedangkan Fendi turut mengangguk canggung tanda sependapat dengan saudaranya.

"Oh, begitu." Wanita itu berdiri dari duduknya. "Kalau butuh apa-apa tinggal bilang, ya. Jangan sungkan," sambung Ika lalu berjalan keluar dari dojo.

"Baik, Tante."

Avan dan Fendi kembali menyaksikan latihan beladiri itu sambil sesekali memakan biskuit.

Tampak Fahmi dan Zalfa mulai berlatih tanding dengan diawasi oleh Tito, sedangkan Pak Farhan kini duduk bersimpuh memperhatikan di sisi lain matras. Ketika aba-aba 'mulai' dari Tito terdengar, kedua murid memasang kuda-kuda dan memulai serangan.

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang