26.

18 13 0
                                    

Angin sepoi-sepoi membawa hawa yang semakin memanas di kantin. Pada siang hari ini, seperti biasanya, Zalfa sedang menunggu bakso pesanannya. Di deret meja-kursi tempatnya duduk, sudah ada Agil, Ali, Avan, Fendi, Rizki, dan Udin yang menemani. Mata Zalfa melirik kesana-kemari mencari keberadaan teman lawaknya. Entah ke mana Fahmi sehingga tidak ikut geng-nya ke kantin.

"Kegagalan gue lengkap banget, ya? Udah gagal rebut paralel satu, gagal di olim, gagal di lomba debat," cetus Zalfa seraya menunjukkan raut wajah sedih terhadap teman-temannya.

"Lomba kebersihan kelas juga gagal," timpal Agil tanpa melihat Zalfa di depannya. Tangannya sibuk memainkan game online di gawai miliknya.

"Itu, sih, kegagalan kelas. Bukan kegagalan Zalfa," sahut Ali di samping Agil seraya bersidekap dada.

"Setidaknya lo masih punya kesempatan, Fa. Tetap semangat!" sahut Avan yang duduk di sebelah kanan Zalfa, sedangkan Fendi duduk di sebelah kirinya.

"Fahmi habis darimana itu?" celetuk Fendi menunjuk ke arah keberadaan Fahmi di pintu kantin.

Zalfa refleks melihat ke arah pintu kantin, di mana Fahmi sedang berjalan membawa sekotak makanan menuju ke arahnya. Wajah Fahmi datar-datar saja ketika memilih untuk duduk di sebelah kiri Agil. Zalfa pun melihat sekotak martabak yang diletakkan Fahmi ke tengah meja.

"Gue habis dari luar sama Hanin tadi. Ini oleh-oleh buat kalian. Anggap saja pajak jadian," ujar Fahmi seraya mata sipitnya melirik teman-temannya.

"Lo jadian sama siapa?" sahut Rizki dan Udin bersamaan.

"Sama Ghea, nih, boss!" seru Agil heboh menepuk sebelah bahu Fahmi.

"Woaaahhh!" seru Udin dan Rizki bersamaan seraya bertepuk tangan.

"Gue terima pajak jadiannya," sahut Zalfa membuka kotak dan mengambil satu potong martabak manis bawaan Fahmi. Gadis ketus ini lalu memakan martabak itu dan matanya langsung terbelalak begitu merasakan rasa manis di mulutnya. "Enak! Martabak dari mana ini, Mi?" seru Zalfa menatap Fahmi dengan antusias di depannya.

"Martabak dari simpang bluemoon," ujar Fahmi dengan wajah datar menatap Zalfa.

"Kapan-kapan gue beli sendiri, deh!"

***

Motor sekupi milik Zalfa dikendarai dengan santai oleh Agil. Sore ini, lagi-lagi Agil meminjam motor Zalfa untuk pulang. Zalfa yang membonceng di belakang pun hanya diam menikmati pemandangan kota tersinari cahaya senja. Hingga suatu pemikiran tetiba datang mengusiknya.

"Gil, Fahmi, kok, bisa segampang itu jadian sama Ghea?" cetus Zalfa memecah keheningan di antara mereka berdua.

"Emang kenapa, Fa? Lo cemburu?" sahut Agil seraya cengengesan setelahnya.

"Enggak!" seru Zalfa menimpali. "Gue cuma heran saja, bisa segampang itu seseorang jatuh cinta," sambungnya beralih menatap pemandangan di kiri jalan.

"Lo sendiri gimana? Masih belum move on dari Kak Langit?" duga Agil seraya melirik Zalfa lewat spion sebelah kiri sekilas.

Zalfa tidak menjawab. Dia berpikir cukup lama. Memastikan bahwa dirinya memang masih menyimpan luka lama atau sudah membuangnya bersama kenangan lama. Dia begitu lama berpikir sehingga Agil sudah menghentikan motor tepat di depan sebuah rumah besar. Zalfa beserta Agil pun segera turun dari motor sekupi itu.

Zalfa bisa melihat bahwa di depan mansion milik Agil, sudah terparkir belasan motor vespa yang ditumpangi belasan pemuda pula. Membuatnya merasa sedikit takut dan ingin lari dari sana sekarang juga.

"Aseeek! Si boss bawa cewek baru!" salah satu dari belasan pemuda berseru heboh.

"Kenalin dong, boss!" sahut pemuda lain pada Agil.

"Ihirrr, ihirrr!" seru para pemuda ini saling bersahutan.

"Berisik kalian! Diem!" sahut Agil menyuruh para pemuda itu untuk diam. Dia lalu beralih menatap Zalfa. "Mau mampir, Fa?" tanyanya pada gadis ketus itu.

"Enggak, Gil. Gue takut," jawab Zalfa jujur dengan wajah cemas menatap Agil. "Jadi, geng Declutter beneran masih ada?" sambung Zalfa seraya melirik sekilas belasan pemuda di depan mansion milik Agil.

Agil tidak menjawab dan hanya mengangguk disertai senyum menatap Zalfa. Gadis ketus itu pun segera berpamitan pada dirinya dan pergi menjauh dari mansion miliknya. Agil hanya menatap Zalfa yang kian menjauh dengan senyum penuh arti. Lalu mengacak-acak rambut bergelombangnya sendiri dengan geli hati.

***

Pada sore hari pukul setengah lima, Zalfa dan Fahmi sedang dilatih beladiri di dojo milik keluarga Zalfa. Keduanya kini sedang berlatih tanding seperti biasa. Berdiri berhadapan dengan jarak satu setengah meter dan memasang kuda-kuda setengah zenkutsu* sambil berlompat-lompat kecil. Ketika peluit dibunyikan, mereka segera beradu pukulan, tendangan, dan tangkisan.

Poin Fahmi lebih banyak dibandingkan poin Zalfa. Fahmi selalu menemukan celah pada gerakan Zalfa dan berhasil melayangkan tinju ke arah perut sahabat ketusnya itu. Zalfa yang geram pun berkali-kali mencoba melayangkan pukulan ke perut Fahmi, akan tetapi pemuda itu selalu berhasil menangkis pukulannya.

"Udahlah! Gue capek!" seru Zalfa memilih berhenti dan duduk di pinggir matras.

"Lihat, Yah? Zalfa malah menyerah," seru Fahmi seraya menoleh kepada ayahnya yang sedang duduk di pinggir dojo bersama ayahnya Zalfa.

"Ya, sudah. Istirahat dulu sini," seru pria paruh baya keturunan Tionghoa, ialah Pak Farhan, yang merupakan guru karate sekaligus guru seni SMA Taruna.

Zalfa dan Fahmi pun berjalan mendekat ke ayah masing-masing di pinggir dojo. Mereka sempat saling melempar pandangan sebelum mulai duduk dan berbincang bersama.

"Kalian berdua sudah siap buat turnamen akhir Maret?" ujar Tito, ialah ayahnya Zalfa, seraya membenarkan letak kaca matanya.

"Siap, Pa."

"Siap, Om."

"Walaupun tahun kemarin menang, berlatih tetap penting agar jadi juara bertahan, Mi," ujar Pak Farhan seraya mengelus puncak kepala putranya.

"Aku pasti menang lagi, lah, Yah!" seru Fahmi seraya mengalihkan tangan ayahnya.

"Aku juga ingin menang kayak Fahmi," sahut Zalfa seraya menunjukkan raut wajah sedikit sedih.

"Kamu enggak perlu memaksakan diri, Zalfa," ujar Tito terhadap putrinya. "Oh, iya, kalian berdua masih berteman baik, 'kan?" sambung Tito melirik Zalfa beserta Fahmi bergantian.

"Fahmi jadi nyebelin sejak jadian sama Ghea, Pa!" seru Zalfa seraya melirik tajam Fahmi.

"Zalfa jadi nyebelin sejak suka sama Avan, Yah!" ujar Fahmi pada ayahnya, lalu beralih melirik tajam Zalfa.

"Gue enggak suka sama Avan, Mi!"

"Argh! Enggak usah bohong lo!"

Zalfa dan Fahmi kini saling dorong-mendorong menggunakan tangan. Zalfa yang kalah kuat dari Fahmi berakhir terjungkal ke belakang. Zalfa segera bangkit dan menatap garang Fahmi. "Awas lo, Mi!" ujar Zalfa segera berdiri.

Fahmi yang panik pun segera berlari menjauhi Zalfa. Mereka berdua kini bermain kucing-kucingan memutari dojo. Sedangkan kedua ayah hanya bisa bergeleng-geleng kepala mengamati perbuatan anak-anak mereka. Tidak berusaha melerai karena mereka pada akhirnya akan lelah sendiri dan berhenti.

"Mereka ... masih akur, ya?"

***

To be continued

Jangan lupa jejaknya woi!

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang