Zalfa kembali dibuat terkejut bukan main. Pada hari Kamis pagi, dia menemukan sebuah surat di dalam laci mejanya. Isinya bahkan sama seperti surat yang sebelumnya dia dapatkan dari dalam loker. Berisi kode-kode atau susunan angka yang tidak jelas apa maknanya, ialah kode bertuliskan, "1910301718 10311023."
"Mi, gue dapet ginian lagi. Menurut lo maknanya apa?" cetus Zalfa seraya menunjukkan isi surat kepada Fahmi di depannya.
"Maknanya I love you mungkin, Fa." Fahmi menjawab asal.
"I love you ndas kau!" Zalfa menjitak jidat lebar Fahmi.
Zalfa memilih untuk menyimpan surat itu ke dalam saku rok selututnya. Pelajaran Matematika pun segera dimulai setelah seorang guru memasuki ruangan kelas. Seperti biasa, setiap pelajaran Matematika, murid bebas berdiskusi terkait materi bersama siapa pun juga. Zalfa umumnya selalu berdiskusi bersama Fahmi, Fendi, Agil, dan Ali.
"Oke, siapa yang mau ngerjain soal nomor satu?" cetus Fendi memulai topik pembicaraan.
"Lo aja, Di," ujar Fahmi menimpali.
"Iya, bener, lo aja, Di," tambah Ali menepuk sebelah bahu Fendi.
"Gue bisa bantu. Bantu doa, Di," seru Agil seraya cengengesan menatap Fendi.
"Oh, iya, besok udah Laksana, 'kan?" ujar Fahmi mengalihkan topik ke hal yang lebih menarik untuk dibahas.
"Iya, nanti sore bakal ada pembekalan juga," sahut Ali dengan wajah tenang.
"Capek, gak, sih? Jalan 24 kilometer?" duga Agil seraya menggaruk kepalanya bingung, "Takutnya ada yang pingsan di tengah jalan, bisa repot nanti," sambungnya seraya bersidekap ria.
"Gak bakal repot, kita diawasi sama pembina, dan pembina pun bawa mobil," sanggah Ali seraya memegangi dagunya.
"Enak banget jadi pembina, gak perlu jalan kaki," sahut Agil dengan wajah agak kecewa.
"Udah-udah, kerjakan soalnya dulu ini," timpal Fendi angkat suara setelah selesai mengerjakan satu soal Matematika.
Zalfa dan kawan-kawannya pun berdiskusi mengenai banyak hal, sehingga waktu istirahat pertama akhirnya tiba. Siswa-siswi segera berhamburan keluar dari kelas setelah mata pelajaran Matematika ditutup dengan salam oleh Pak Sugeng. Zalfa seketika memicingkan mata, melihat kembaran Fendi yang kini masuk ke dalam kelasnya.
Jantung Zalfa berdetak lebih kencang menyadari bahwa Avan justru berjalan ke arahnya. Biasanya Avan hanya sekadar menjemput Fendi untuk pergi ke kantin bersama. Lalu untuk apa Avan berhenti di hadapannya saat ini?
"Fa, ikut gue, yuk? Gue mau ngomong sama lo," cetus Avan seraya tersenyum simpul.
"Di sini aja," tolak Zalfa memberi raut wajah ketus pada Avan.
"Gak bisa, ayo, ikut gue," paksa Avan justru menarik pergelangan tangan gadis ketus itu untuk berjalan mengikutinya. Derap langkah Avan dan Zalfa kini telah sampai di depan ruang musik sekolah. Zalfa segera menepis kasar tangan Avan yang sengaja menariknya tadi. Dilihatnya kembaran Fendi itu mengeluarkan gawai dari saku celana. Zalfa pun menunggu Avan angkat bicara setelah mencari sesuatu di dalam gawai tersebut.
Setelah menemukan file dalam gawai yang dicari, ialah sebuah pesan voice note, Avan segera memutarnya untuk didengar oleh gadis ketus itu. Pesan suara pun diputar dan sebuah percakapan terdengar dari gawai tersebut.
"Jujur sama gue, lo suka 'kan sama dia?"
"Gue enggak suka, gue cuma ... kagum mungkin."
Zalfa tercengang setelah mendengar pesan suara yang diputar oleh Avan. Dapat dia rasakan sekarang jantungnya berpacu lebih cepat. Pipinya mulai memanas. Zalfa yakin sekali wajahnya semerah kepiting rebus saat ini.
"Lain kali kalo ditanya begini, lo gak usah jawab, Fa," ujar Avan kini menyimpan gawainya pada saku celana.
"I-itu audio dari siapa?" tanya Zalfa seraya berusaha menenangkan diri tanpa menatap pemuda di hadapannya sama sekali.
"Lo enggak perlu tau. Lupain aja soal ini," jawab Avan seraya menggaruk tengkuknya kikuk, "Gue mau minta izin ke lo, buat ikut project bikin robot. Boleh, ya?" sambungnya kini menatap Zalfa dengan raut wajah serius.
Zalfa menghela napas panjang, "Boleh aja, kalo lo beneran mau bantu," ujar Zalfa seraya memegangi dagunya sendiri. "Kapan-kapan lo bisa langsung datang aja ke rumah, nanti gue jelasin sistem robot yang gue buat," tambahnya kini menatap wajah Avan dengan raut wajah datar.
"Oke, siap!"
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Siswa-siswi yang sudah tidak ada kegiatan apa pun akan memilih untuk pulang ke rumah. Tidak seperti anggota Pramuka SMA Taruna yang sore ini justru sedang melaksanakan rapat di ruang Pramuka bersama Pembina. Tampak Pembina Pramuka, ialah Pak Nur Huda, sedang menjelaskan ketentuan-ketentuan untuk pelaksanaan kegiatan Laksana esok hari.
"Baik untuk kegiatan Laksana besok, Bapak sudah memesankan bus. Kalian akan berangkat dari sekolah naik bus dan setelah sampai di pesisir pantai, kita adakan briefing dahulu. Setelah itu, kalian akan jalan kaki untuk kembali ke lingkungan sekolah lagi. Itu adalah syarat agar kalian mendapatkan lencana Laksana."
Anggota Pramuka mendengarkan penjelasan dari Pak Nur Huda dengan saksama. Memahami atas peraturan-peraturan yang disebutkan beliau. Hingga salah satu anggota pun memilih untuk bertanya.
"Interupsi, Pak. Bagaimana kalo ada anggota yang pingsan di tengah kegiatan?" cetus Agil seraya mengangkat sebelah tangannya.
"Nanti ada anggota kepolisian yang mengawasi kalian, dan juga mereka bawa mobil. Kalau ada yang pingsan, nanti bisa dibawa ke mobil pembina ataupun mobil polisi," jawab Pak Nur Huda santai.
Diskusi pun berjalan dengan lancar. Diskusi mengenai serba-serbi kegiatan Laksana esok hari. Anggota Pramuka SMA Taruna hanya bisa berdoa dan berharap untuk kegiatan esok hari berjalan dengan lancar, dan cuacanya tidaklah hujan. Rapat pun selesai setelah ditutup oleh pembina dengan berucap salam. Anggota Pramuka segera keluar dari ruangan untuk bergegas pulang.
Zalfa, Fahmi, Avan, dan Fendi tengah berjalan di koridor menuju tempat parkir sekolah. Karena penasaran, Zalfa pun mengeluarkan amplop surat dari dalam saku rok selututnya. Mumpung si Paralel Satu sedang berada di dekatnya, dia pun berniat untuk menanyakan arti dari kode di surat itu.
"Van, menurut lo, arti dari kode ini apa?" tanya Zalfa kemudian menyerahkan amplop suratnya pada pemuda bertahi lalat kecil di hidung itu.
"Bentar gue lihat dulu, Fa," ujar Avan kemudian membuka isi amplop dan membacanya. Seketika matanya menyipit saat mengeja satu per satu angka pada surat itu, "1910301718 10311023," eja Avan seraya memegangi dagunya sendiri. Dia lalu berpikir sejenak.
"Gimana? Udah tau artinya?" sahut Fendi menatap kembarannya itu dengan wajah penasaran seraya berjalan.
"Jadi gini, kalo angka-angka ini dianggap bilangan desimal, ketika dirubah ke bilangan heksadesimal, angka ini bisa berubah menjadi huruf. Sembilan belas untuk J, sepuluh untuk A, dan seterusnya. Paham gak, Fa?" terang Avan panjang lebar dengan wajah serius. Dia lalu mengembalikan amplop tersebut pada Zalfa.
"Oh, iya! Gue paham!" sahut Zalfa dengan wajah girang ketika menerima amplopnya kembali. "Berarti kalau dibaca, arti kode ini jadinya ...," ujar Zalfa memberi jeda seraya berpikir, "JAUHI AVAN?" cetusnya kini menatap ke arah Avan dengan wajah terkejut.
"Hah? Gue? Serius?" terka Avan langsung merebut kembali surat itu dari Zalfa. Dia lalu membaca ulang kode tersebut dan menerjemahkannya. Ternyata benar, arti dari kode di surat itu adalah perintah dari seseorang kepada gadis ketus untuk menjauhinya. Tetapi, kenapa?
"Balikin sini!" Zalfa merebut paksa surat dari tangan Avan.
"Lo gak perlu nurutin isi surat itu, Fa. Gak ada yang berhak ngelarang lo untuk deket-deket siapa pun juga," ujar Avan seraya tersenyum simpul menatap Zalfa.
"Tapi siapa yang ngirim beginian ke gue? Kurang kerjaan banget," keluh Zalfa seraya mengentak-entakkan langkah kakinya kesal.
***
To Be Continued
Kira-kira siapa pelakunya?
Jangan lupa jejaknya, oey!
KAMU SEDANG MEMBACA
AVANIA
Teen Fiction[ Bukan cerita BL ] Kisahnya Zalfania Fransisca Tita. Punya tetangga tingkahnya lawak parah, tiada hari tanpa dibuat marah. Sudah punya banyak masalah, dibuat marah pula. Kesal-lah! Kisahnya Fahmi Ramadan. Punya teman masa kecil tingkahnya kaku para...