28.

21 15 1
                                    

Pada hari itu adalah hari kedua untuk Zalfa dirawat di rumah sakit. Cedera di bahu sebelah kanan membuat lengan kanannya agak sulit digerakkan. Pada pagi hari, selain ditemani oleh kedua orang tua, dia juga ditemani oleh Kak Langit. Pemuda dengan kaca mata besarnya itu kini sedang menyuapi Zalfa beberapa sendok puding rasa cokelat.

"Gimana rasa pudingnya? Enak?" tanya Kak Langit yang duduk di kursi sebelah kiri ranjang seraya tersenyum hangat. Tangannya sibuk memotong-motong puding menggunakan sendok, di mangkuk yang dia pegang.

"Enak, Kak. Beli di mana emangnya?" cetus Zalfa kemudian mengunyah puding dalam mulutnya.

"Di minimarket tadi," jawab Kak Langit kembali menyuapi gadis ketus itu sesendok puding.

Kedua orang tua Zalfa yang duduk di kursi sebelah kanan ranjang seketika saling pandang dan melempar senyum melihat keakraban sang puteri dengan Kak Langit. Namun, sedetik setelahnya, wajah mereka berubah serius setelah sang ayah mengangguk menatap sang ibu. Keduanya kini sepakat untuk menyampaikan hal penting pada Zalfa.

"Zalfa. Mama sama Papa udah sepakat kalau kamu bakal pindah sekolah. Kamu setuju, 'kan?" ujar Ika seraya menatap serius wajah sang puteri.

Zalfa menelan puding dengan tergesa. "Pindah ke mana, Ma?" tanya Zalfa seraya menatap dengan wajah bingung ke arah sang Mama.

"Ke kota sebelah. Kamu bisa tinggal sama Kakek-Nenek di sana," ujar Tito, ialah ayah Zalfa, yang kini memilih melepas dan mengelap kaca mata miliknya.

"Tapi kenapa aku harus pindah?" tanya Zalfa pada kedua orang tuanya dengan raut wajah penasaran.

"Kamu ini, sering di-bully oleh anak-anak SMK sebelah. Kenapa gak pernah jujur ke Mama sama Papa?" ujar Ika dengan wajah kecewa, "Kata Langit, pundakmu cedera karena dipukul pakai tongkat baseball oleh cowok dari SMK sebelah, itu benar?" sambungnya menyentuh lembut pipi sang puteri.

"Benar, Ma. Tapi Zalfa enggak mau pindah sekolah. Menghindar bukan berarti masalah terselesaikan," ujar Zalfa disertai wajah kecewa seraya menyingkirkan tangan sang Mama.

"Bener yang dikatakan Zalfa, Om, Tante. Belum tentu di sekolah yang baru itu aman buat Zalfa," cetus Kak Langit menimpali.

"Kalau begitu, nanti kami pikirkan lagi," ujar Tito seraya memakai kaca matanya kembali.

"Om, Tante, saya boleh bicara berdua sama Zalfa?" pinta Kak Langit dengan senyum ramahnya pada kedua orang tua gadis ketus itu.

"Oh, tentu boleh, kami keluar dulu sebentar," jawab Tito kemudian mengajak istrinya untuk keluar dari ruangan rawat inap sang puteri.

Kini hanya tersisa Zalfa dan Kak Langit dalam ruangan rawat inap rumah sakit itu. Kak Langit lalu meletakkan mangkuk berisi puding ke meja nakas beroda di samping ranjang. Dia tatap Zalfa yang masih terduduk lemah di ranjang rumah sakit. Kak Langit tampak tersenyam-senyum sebelum mulai berbicara.

"Jadi gimana, Fa? Lo mau balikan sama gue?" tanya Kak langit dengan senyum hangatnya yang menenangkan.

"Maaf, Kak. Gue udah enggak ada rasa apa-apa sama Kakak," jawab Zalfa seraya menundukkan kepalanya.

"Coba tatap mata gue," pinta Kak Langit seraya menatap Zalfa serius.

Manik mata Kak Langit pun bertemu pandang dengan tatapan mata Zalfa. "Lo beneran udah enggak ada rasa sama gue?" tegas Kak Langit meminta kejelasan pada gadis ketus itu.

"Beneran, Kak. Udah enggak ada rasa apa-apa sama Kakak," balas Zalfa memandang mata Kak Langit dengan raut wajah datar.

Mereka pun terdiam seraya saling pandang dalam sekian detik. Tak lama senyum Kak Langit pun luntur. Beberapa detik kemudian, Kak Langit lalu membenarkan letak kaca mata besarnya sambil berucap, "Oh, gitu, tah."

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang