04.

47 35 5
                                    

Hari Rabu terlalu melelahkan bagi Zalfa. Karena pada hari itu kelas XI-IPA 2 terjadwal dua jam mata pelajaran olahraga, tiga jam mata pelajaran Kimia, tiga jam Fisika, dan dua jam mata pelajaran Seni. Teman-teman sekelas begitu cerdas, dengan sengaja membuat pelajaran olahraga memangkas waktu belajar Kimia. Alhasil Pak Heri berkeputusan untuk mengajar materi Kimia sehabis istirahat pertama saja. Beberapa murid pun memilih tiduran dalam kelas, sedangkan Zalfa kini berada di kantin sekolah.

Kantin sekolah terbagi menjadi dua bagian. Terdapat ruang dapur untuk penyedia menu kantin dan di depan dapur terdapat berderet kursi-meja memanjang dalam jumlah banyak. Satu unit meja-kursi dapat menampung setidaknya sepuluh murid bila duduk berimpitan. Saat ini Zalfa tidak sendirian di sana, melainkan bersama lima dari kesepuluh pemuda kelas sebelas IPA 2.

Tadinya Zalfa ingin mengajak Fahmi. Akan tetapi ditolak dengan alasan bel istirahat belum berbunyi. Pemuda lawak itu malah rebahan di meja belakang, sambil menikmati udara dari kipas angin yang terpasang di langit-langit kelas. Ikan aja nggak tahan panas kalo direbus, apalagi gue. Kalimat filosofi ikan dari Fahmi membuat Zalfa kesal sendiri.

Mengintip dapur kantin, mata Zalfa menilik beragam makanan kecil yang tersedia di meja. Ada martabak mini, pizza roti, pisang krispi, aneka keripik, dan gorengan. Belum menemukan yang dicari, dia pun menginterupsi sang koki. "Mbak Dina, pesen otak-otak tujuh porsi. Buat temen-temen."

Perempuan mirip anak kuliahan tampak sedang sibuk dengan wajan penggorengan. "Siap!" ucap Mbak Dina kemudian bersiap menggoreng otak-otak dalam porsi banyak.

Zalfa kemudian duduk tenang di salah satu deret meja kantin bagian terdekat dapur bersama teman-temannya. Suasana kantin masih sepi. Ketika pesanan sudah disajikan, Agil, Ali, Fendi, Rizki, dan Udin mulai sibuk bergiliran menambahkan bumbu pada sepiring otak-otak. Namun kelakuan nyeleneh kelima teman sekelasnya itu membuat Zalfa heran, sebab mereka sengaja menabur bubuk cabai level setan dalam jumlah banyak untuk otak-otak titipan Fahmi.

"Gil. Bumbu pedesnya banyakin. Sepuluh sendok lagi!" hasut Udin cengengesan menahan tawa.

"Ngahahahah! Mampus si Fahmi." Agil mengaduk otak-otak berbumbu merah pekat dalam mangkuk menggunakan sendok. Berseringai ria bersama empat pemuda di sekitarnya.

Bertepuk jidat pasrah, Zalfa pun beranjak dari sana. Dia lalu membayar pesanan pada Mbak Dina dan pergi keluar dari kantin.

Mangkuk styrofoam berisi otak-otak goreng pun Zalfa bawa mengitari lorong lantai satu. Dia lalu memilih duduk dan makan di depan ruang musik saja. Wadah berisi otak-otak diletakkan di sebelah kanan dekat badan pada lantai keramik. Tangan kanan Zalfa sesekali menusuk otak-otak menggunakan garpu untuk dimakan, sedangkan tangan kiri berselancar ria mengetuk layar ponsel. Masa bodoh bila perbuatannya saat ini tergolong kurang sopan, lagipula Zalfa sedang sendiri saat ini.

"Buat apa nyari jurnal kecerdasan buatan?"

Seorang pemuda ikut duduk di sebelah Zalfa. Akan tetapi dia memilih tak menjawab dan diam saja. Sedetik berikutnya, Zalfa dibuat terkejut akan sebuah plester yang disodorkan pemuda itu di hadapan wajahnya.

"Buat lo. Jari lo luka, 'kan?" cetus Avan sembari tersenyum hangat.

"Oh. Makasih." Zalfa pun menerima dan mulai memasangkan plester tersebut di jari telunjuk kirinya yang terdapat ruam merah akibat solder semalam. "Kenapa lo ngikutin gue mulu?" sambung Zalfa menatap tajam pemuda di sebelahnya itu. Dia lalu menyimpan ponsel ke dalam saku celana training olah raganya.

"Gakpapa."

Zalfa mendatarkan raut wajahnya. Dia justru lanjut memakan otak-otak goreng menggunakan garpu. Tetapi karena ada sesuatu yang mengganjal pikiran, dia beralih menatap pemuda itu sinis. "Lo boloskah?" tuduhnya seraya menyipitkan mata.

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang