Dua minggu berlalu sejak dilaksanakannya lomba olimpiade. Hari-hari yang sibuk dengan Ujian Tengah Semester dua dan remedial pun sudah Zalfa lalui. Kini, pada pagi hari yang cerah di hari Senin, sedang dilaksanakan upacara dalam rangka ketahanan sekolah. Setelah amanat dari pembina selesai, pembina kemudian hendak mengumumkan para peraih peringkat paralel beserta juara olimpiade.
Pembina kemudian mengumumkan nama-nama siswa kelas sebelas, yang merupakan peraih peringkat paralel ke-sepuluh hingga peringkat paralel ke-empat. Anehnya, Zalfa tidak mendengar bahwa namanya dipanggil. Apakah peringkatnya turun? Itu tidak mungkin bukan?
"Peringkat paralel ke-tiga jurusan IPA diraih oleh Fendi Bagaskara dari XI-IPA 2."
Dapat Fendi dengar suara tepuk tangan dari seluruh siswa. Fendi segera keluar dari barisan dan berjalan menuju tengah lapangan. Di tengah lapangan utama itu, sudah berdiri para peraih peringkat paralel ke-empat hingga ke-sepuluh. Fendi pun berdiri di samping kanan Erghi yang merupakan peraih peringkat paralel ke-empat dan menerima bingkisan hadiah dari pembina.
"Peringkat paralel ke-dua jurusan IPA diraih oleh Zalfania Fransisca Tita dari XI-IPA 2."
Di tengah keramaian tepuk tangan, Zalfa membulatkan matanya sempurna. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Hatinya merasa senang karena telah mengalahkan Fendi. Akan tetapi dia juga kecewa karena tidak mendapatkan peringkat paralel satu. Zalfa pun segera keluar dari barisan dan berjalan menuju tengah lapangan. Lalu memposisikan diri di samping kanan Fendi dan menerima bingkisan hadiah dari pembina.
"Selanjutnya, peringkat paralel pertama sekaligus juara olimpiade fisika, diraih oleh Avan Bagaskara dari XI-IPA 1."
Deg.
Zalfa merasakan seolah waktu berhenti sejenak, dirinya terkejut bukan main. Matanya tertuju pada Avan yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Suara sorakan, siulan, dan tepuk tangan begitu ramai mengiringi kemenangan Avan. Zalfa benar-benar melihat bahwa Avan merupakan pangeran sekolah baru yang sangat sulit untuk dikalahkan.
Dapat Zalfa lihat bahwa sekarang Avan memposisikan diri di samping kanannya. Pemuda bertahi lalat kecil di hidungnya itu menerima piagam penghargaan dan medali dari pembina. Namun, hal yang Zalfa rasakan adalah ilusi bahwa seorang Avan sedang diberi mahkota kekuasaan di kepalanya. Tatapan sombong dari Avan membuat Zalfa merasa jika Avan adalah pangeran sekolah yang baru, maka Zalfa hanyalah orang lewat yang sedang beruntung telah mengalahkan pangeran es---yaitu Fendi.
Para peraih sepuluh besar paralel segera kembali ke barisan atas perintah dari pembina. Upacara terus berlanjut hingga selesai. Usai upacara, para siswa kembali ke kelasnya masing-masing. Di dalam kelas, Zalfa pun membuka bingkisan hadiah dari Bapak Kepala Sekolah. Ternyata isinya adalah beberapa buku paket mata pelajaran umum yang diberikan secara gratis.
Fendi berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke tempat duduk Zalfa di pojok kanan kelas. Pangeran es itu kini duduk di bangku kosong sebelah kiri Zalfa. "Gimana? Udah siap jadian sama Avan?" ujar Fendi seraya bersidekap dada menatap gadis ketus itu.
"Kenapa lo nanya begitu?" cetus Zalfa terheran-heran.
"Lo udah kalah tiga kali, sekalipun di UKK nanti lo menang, pemenang taruhannya tetaplah Avan karena skornya 3-1." Fendi memegangi dagunya sendiri setelah berucap. "Atau mau gue panggilin orangnya ke sini?" sambung Fendi.
"Jangan, Di. Jangan."
***
Pada tengah hari di jam istirahat ke-dua, Zalfa dan teman-temannya sedang makan bersama-sama di kantin. Gadis itu memilih untuk memakan bakso ditemankan segelas es matchalatte. Di deret meja tempatnya duduk sudah ada Fahmi, Fendi, Avan, Agil, Ali, Rizki dan Udin. Zalfa menatap Fahmi yang duduk di depannya. Sahabatnya itu masih saja menunjukkan raut wajah kesal terhadapnya.
"Mi, lo masih marah sama gue?" cetus Zalfa seraya mengaduk-aduk es matchalatte-nya menggunakan sedotan hijau.
"Enggak. Siapa juga yang marah?" ketus Fahmi tanpa melihat Zalfa sedikit pun. Tangannya sibuk memotong bakso menggunakan sendok.
"Sikap lo jadi beda ke gue. Lo marah lama banget sampe sebulan lebih dua minggu!" sentak Zalfa kini terbawa emosi. Dia meletakkan gelas esnya di meja dengan kasar.
"Gue enggak marah, Zalfa." Fahmi kini menyendok potongan bakso dan memakannya. "Untuk taruhannya gimana, Fa?" alih Fahmi membahas topik yang lain.
"Gue udah kalah tiga kali, lo enggak jadi kayang, Mi," terang Zalfa kemudian mengunyah bakso di dalam mulutnya.
"Siapa juga yang mau kayang di depan lo." Fahmi berujar dengan nada kesal.
"TUH, KAN. LO MASIH MARAH SAMA GUE." Zalfa membentak Fahmi dan berdiri untuk persiapan menghajarnya.
"Weh, sabar, Fa! Sabar!" sentak Agil di samping kiri Zalfa. Dia lalu menarik sebelah lengan gadis ketus itu agar kembali duduk di tempat.
"Karena lo kalah, terus lo mau jadian sama Avan? Gitu?" duga Fahmi kini menaikkan sebelah alis tebalnya menatap Zalfa.
"Emang kenapa, Mi? Lo cemburu?" terka Ali di sebelah kanan Fahmi seraya tersenyum-senyum.
"Enggak, lah." Fahmi kini mengambil segelas es jeruk nipis dan meminumnya.
"Gue enggak mau jadian karena taruhan," ketus Zalfa kini duduk dan bersidekap dada. "Sori, Van," imbuhnya menatap datar Avan di samping Ali.
"Gue bakal nunggu sampai lo mau, Fa," celetuk Avan menatap Zalfa dengan simpulan senyumnya.
"Aseeek!" seru Udin dan Rizki heboh. "Ihirrr, ihirrr!"
"Gue pergi, deh." Zalfa beranjak dari duduknya. Dia lalu pergi keluar dari kantin.
Zalfa berjalan di koridor. Kemudian menaiki tangga menuju rooftop sekolah. Dia lalu duduk bersandar pada tembok pinggir rooftop. Angin sepoi-sepoi dari barat menghempas-hempaskan rambut sebahunya. Tak lama kemudian seseorang pun datang berjalan mendekatinya. Zalfa hanya bisa mendengkus kesal melihat Avan kini duduk di sebelah kanannya.
"Gue bakal nunggu sampai lo mau, Fa." Kata-kata dari Avan terulang kembali di pikiran Zalfa. Dia penasaran apakah Avan serius atau hanya bercanda.
"Ngapain lo ikutin gue ke sini?" ketus Zalfa tanpa menoleh pada pemuda di sebelahnya.
"Gue juga mau cari angin," ujar Avan merasakan angin meniup lembut rambut gaya under-cut-nya yang tersisir rapi ke kanan.
"Ucapan lo yang tadi di kantin, itu bercanda, 'kan?" selidik Zalfa kini menolehkan kepala menatap Avan.
"Lo maunya gue serius atau bercanda?" balas Avan bertanya balik.
Zalfa kini berpikir sebelum menjawabnya. Jika Avan serius suka padanya, kenapa sewaktu kegiatan Laksana dia justru menggandeng tangan Andien? Dan jika memang Avan hanya bercanda, kenapa dia begitu senang dekat-dekat dengannya? Semua ini membuat Zalfa tak habis pikir. Memahami pemikiran Avan sama sulitnya dengan memahami rumus-rumus fisika.
"Gue suka orang yang serius. Tapi lo enggak termasuk," ujar Zalfa memperhatikan tahi lalat sebesar biji cabai di tengah hidung Avan. Namun, seketika matanya terbelalak ketika mendadak pemuda itu menoleh sehingga wajah mereka saling bertemu pandang.
"Apa iya?"
***
To Be Continued
Jangan lupa jejaknya ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
AVANIA
Teen Fiction[ Bukan cerita BL ] Kisahnya Zalfania Fransisca Tita. Punya tetangga tingkahnya lawak parah, tiada hari tanpa dibuat marah. Sudah punya banyak masalah, dibuat marah pula. Kesal-lah! Kisahnya Fahmi Ramadan. Punya teman masa kecil tingkahnya kaku para...