10.

42 28 5
                                    

Dua minggu yang menyebalkan telah berlalu, ialah hari-hari yang berisi ujian tengah semester dan remedial. Saat ini, Zalfa menganga terkejut pada hari senin pagi. Dia baru saja menerima selembaran kertas berisi nilai-nilai ujian tiap mata pelajaran beserta data peringkat kelas dan peringkat paralel. Diusapnya mata berkali-kali, sebab masih tak percaya bahwa dirinya mendapat peringkat paralel keempat lagi. Akan tetapi saingannya, ialah Fendi, mendapat peringkat paralel kedua. Kemudian peringkat paralel tiga didapat oleh Erghi.

Lalu, siapa peraih peringkat paralel satu?

"Legend, sih, ini. Baru kali ini paralel satunya bukan dari IPA 2," cetus Fahmi yang bertempat duduk di depan Zalfa.

"Ini siapa paralel satunya? Bikin penasaran aja," ketus Zalfa agak meremas kertas di tangannya itu.

"Baik anak-anak, simpan lembaran daftar nilainya karena lembaran itu nanti dimintai tanda tangan orang tua kalian dan dikumpulkan kembali besok," ujar Bu Sri selaku guru Biologi sekaligus wali kelas XI-IPA 2. "Sekarang saya akan membacakan siapa saja yang terpilih untuk mengikuti Olimpiade. Angkat tangan yang namanya dipanggil, ya," tambah beliau kemudian membaca nama-nama yang tertera di selembar kertas.

"Fendi Bagaskara," panggil Bu Sri.

"Saya, Bu." Fendi mengacungkan tangan.

"Kamu terpilih untuk mapel Kimia."

"Rofi Nurrisa, " panggil Bu Sri kemudian.

Tampak siswi kurus berkulit sawo matang mengangkat sebelah tangannya. "Hadir, Bu."

"Kamu terpilih untuk bidang Astronomi," tambah Bu Sri lagi.

"Tika Amalia?" cetus Bu Sri lagi.

Tika pun mengacungkan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menyembunyikan lontong yang sempat dia makan diam-diam. "Hadir, Bu."

"Kamu terpilih untuk mapel Informatika," tambah Bu Sri kemudian membaca satu nama lagi yang berada di abjad paling bawah. "Zalfania Fransisca Tita?" panggil beliau kemudian.

"Hadir, Bu." Zalfa mengacungkan sebelah tangannya.

"Kamu terpilih untuk mapel Fisika," tambah Bu Sri kemudian menempelkan kertas berisi daftar kelompok untuk Olimpiade di mading kelas.

Wanita paruh baya berseragam kedinasan itu kemudian melanjutkan kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Fahmi terlihat sangat antusias setiap memahami mata pelajaran Biologi, sedangkan Zalfa masih begitu penasaran terhadap peraih peringkat satu paralel. Siswa-siswi XI-IPA 2 pun belajar dengan giat sembari menunggu waktu istirahat tiba.

Jam istirahat pertama setelah dua jam mata pelajaran Biologi pun tiba. Karena penasaran, beberapa siswa-siswi kini berkerumun di depan mading kelas dekat meja guru. Mereka penasaran terhadap siapa saja yang terpilih untuk Olimpiade, karena satu tim Olimpiade terdiri dari tiga orang untuk satu mata pelajaran terkait. Betapa terkejutnya Zalfa, kala mendapati bahwa dia satu tim dengan Avan, dan satu siswa dari kelas sepuluh bernama Nandit Naffario.

"Nandit Naffario? Terdengar sangat familiar, dan gue gak suka," ucap Zalfa dengan nada agak berbisik di antara kerumunan siswa-siswi itu.

Merasa penasaran dengan peraih peringkat paralel satu, Zalfa pun pergi ke kelas sebelah untuk menjemput Rike dan ke kantin bersama nanti. Dia pun berjalan pelan di keramaian koridor dan masuk ke dalam kelas XI-IPA 1. Dia lalu mendatangi meja Rike yang letaknya di depan dan dekat dengan pintu.

"Rike, si satu paralelnya siapa, ya?" tanya Zalfa di hadapan Rike dan teman sebangkunya yang bernama Andien.

"Si Avan." Rike dan Andien menjawab bersamaan.

"Iya, gue? Ada apa?" cetus Avan yang baru saja berjalan hendak keluar kelas. "Oh, Zalfa, ya. Untuk sementara, poin satu kosong, ya, Fa," sambungnya kemudian pergi keluar pintu kelas.

"Ngeselin banget. Coba lihat daftar nilai lo, Ke?" titah Zalfa menyodorkan sebelah tangan pada sahabatnya itu.

Rike pun membuka tas dan mengambil lembaran kertas nilai, lalu diberikannya pada Zalfa. Betapa terkejutnya gadis ketus itu kala membaca bahwa peraih peringkat satu paralel jurusan IPA memanglah Avan Bagaskara adanya. Meskipun Zalfa meraih nilai Bahasa Inggris tertinggi satu jurusan, hatinya masih tidak terima kalau Avan memang lebih pintar dari Fendi. Untuk ke depannya, Zalfa tentu harus berjuang lebih keras lagi.

***

Pada sore hari, beberapa siswa terpilih tampak sudah berkumpul di dalam ruangan laboratorium Biologi. Mereka berkumpul sesuai perintah yang ada pada selembaran pengumuman kelompok Olimpiade di mading masing-masing kelas. Di ruangan, terdapat delapan meja panjang dengan muatan enam kursi. Zalfa memilih bergabung di meja yang sudah terdapat Fendi, Avan, Rike, Tika, dan Rofi.

Ketika duduk bersama teman-temannya itu, Zalfa melirik tajam ke arah Avan, dan pemuda itu pun memberikan lirikan yang serupa.

"Apa?" ketus Zalfa dan Avan bersamaan secara tidak disengaja.

Lantas Fendi dan teman-temannya pun tertawa lepas atas hal yang baru saja terjadi, sedangkan Avan dan Zalfa hanya saling membuang muka. Beberapa guru memasuki ruangan, membuat seisi laboratorium itu kini memilih untuk senyap. Mereka kemudian membahas serba-serbi persiapan untuk pelatihan Olimpiade. Setiap kelompok akan mendapatkan satu orang pembimbing.

Atas permintaan para guru pembimbing, kini siswa-siswi terpilih duduk di kursi sesuai dengan anggota kelompok yang terdaftar. Zalfa tak henti-hentinya melirik dua pemuda di hadapan. Satu pemuda tampan bertahi lalat kecil di hidung, dan satu pemuda putih berbadan kekar dari kelas sepuluh. Dua-duanya terlihat sangat menyebalkan!

"Perkenalkan, Kak. Nama gue Nandit," ujar pemuda dari kelas sepuluh itu lalu berjabat tangan dengan Avan.

"Gue Avan. Kalo ini si Zalfa," cetus Avan agar Nandit berkenalan dengan Zalfa.

Akan tetapi respons Zalfa justru menatap tajam murid dari kelas sepuluh itu. "Sori, gue gak mau jabat tangan lo, Dek."

"Kenapa, Kak?" tanya Nandit dengan wajah heran menaikkan sebelah alisnya.

"Lo gak perlu tau. Dan gue gak mau sering bicara sama lo," ketus Zalfa kini bersidekap ria dan membuang muka ke arah lain.

"Kak Zalfa masih belum move on dari masa lalu?" sindir Nandit membuat sang gadis ketus hampir menggebrak meja.

"Jangan dibahas!"

"Fa, lo kenapa, sih?" tanya Avan kini melihat Zalfa dengan wajah bingung.

"Gakpapa," jawab Zalfa singkat.

"Kita bakal sering ketemu selama pelatihan Olimpiade, lho, Fa. Seharusnya lo berteman baik dengan Nandit biar diskusinya nanti lancar," terang Avan dengan nada lembut agar Zalfa membuang egonya.

"Gue enggak peduli."

Avan menepuk jidatnya sendiri. Entah apa yang ada di pikiran gadis ketus itu saat ini. Pemuda itu jadi penasaran, terkait masalah apa yang membuat Zalfa tidak mau berteman dengan adik kelasnya. "Fa, please, jangan egois begini. Berteman yang baik, lah!"

"Gue enggak mau berteman sama adiknya penghianat!"

"Hah?"

Avan menautkan alisnya tak percaya. Mencerna susah payah akan pernyataan Zalfa yang membingungkan.

"Gue enggak sama seperti saudara gue, Kak." Nandit angkat suara kembali. "Kalau begitu gue minta maaf atas kesalahan Kakak gue di masa lalu, Kak," sambung Nandit kini dengan wajah berharap menatap Zalfa agar tidak bermusuhan dengannya.

"Gak gue maafin!"

***

To Be Continued

Hayoloh ada apa dengan masa lalu Zalfa?

Follow dulu lah yang belum follow, vote dulu yang belum vote.
Jangan lupa share juga cerita ini ke temen-temen kalian!

Oke?

AVANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang