19. Di hukum Jeno 🌚

7.3K 581 134
                                    

Pencet bintang biar ngga dobel dosanya '!!

Udara Jakarta lagi panas, seperti tatapan para manusia kalau ngerti tetangganya beli kulkas. Hmm,, biarkan mafia gabut Jung Jeno ini kembali menampakkan sifat lamanya. Ia kendarai sepeda BMX merah hitamnya, dengan hati-hati tangannya membuka gerbang.

Jeno menggigit empeng warna birunya, ia kalungkan juga tumbler unicorn yang selalu Nana sediakan di atas meja.

Oh iya,, dimana Nana saat ini? Mengapa ia biarkan Jeno pergi sendiri dengan sifat lamanya? Kan Nana udah tau ya kalo Jeno cuma pura-pura sakit?

Nana masih tidur! Tubuhnya lelah setelah Jeno menggempurnya sampai subuh. Di bilang keterlaluan, tapi niat Jeno baik kok. Namanya juga mengharap keturunan, kali ini Jeno akan lebih berhati-hati lagi dalam menjaga Nana.

Jeno mengayuh sepedanya, bokser warna pink berpadu lekton putih melekat di tubuh besarnya. Suara knalpot buatan limbah gelas ale-ale mengalihkan para atensi tetangganya. Karena hanya Jeno si pemilik ide kreativ tersebut.

"Aduhhhhh,, bocah bagus pagi-pagi udah kabur dari rumah" suara Mpok Seulgi si penjual gado-gado melengking merdu.

Jeno menyipitkan matanya, karena ia lebih terobsesi pada empeng di mulutnya. Kalo ngejawab, nanti jatoh ya kan?

"Troooooonnnnntrooooonntoooonnn" begitulah bunyi knalpot Jeno.

Sebenarnya Jaehyun mengetahui kemana anaknya pergi. Jaehyun memilih untuk duduk di tepi kolam renang tanpa menggagalkan aksi nyleneh anaknya. Duduk sembari menikmati kopi paginya, dan juga pantat Hana yang menjadi tontonannya pagi ini.

Hmmm,, walau Hana sudah tua—tetapi lekuk tubuh Hana, indah juga.

Sepeda Jeno berhenti di depan warung es, ia senderkan sepedanya di bawah pohon mangga. Jeno merogoh kantung boksernya, mengambil uang seratus ribuan

"Mang! Es mang!!"

"Mang!!! Beli es atau warungnya aku robohin!!" Jeno mengetuk-ngetuk etalase warung itu, oh iya—empeng kesayangan sudah ia simpan di saku celana,

"Mang!! Woy!! Kuping opo cantelan panci buset, budek amat!"

"Ehh,, Jeno ya ampun bocah—masih pagi udah nge es" si mamang es keluar bawa galon, Jeno milih buat rebahan di sofa warung mamang.

Emang ngga ada sopan santunnya, tapi mamang seneng banget kalo Jeno menampakkan batang hidungnya. Jeno kalo bayar tuh ngga mau di kasih kembalian, minimal minta pijetin pundak sampai anak itu bersendawa.

"Pop-Es rasa coklat sama pempek goreng ya mang, jangan pake sambel. Cuko'nya banyakin, jangan pelit mang nanti kuburanmu ambles"

"Siap! Mau di makan di sini apa bungkusin?"

"Disini aja, Jeno capek mang habis ngontel" curhat Jeno, padahal sih cuma butuh yang seger-seger.

Jeno menatap langit-langit warung si mamang, ia sangat merindukan tempat itu. Tempat yang selalu setia menemani Jeno di saat sedang gundah, menangis karena hidupnya yang terbilang pahit namun tidak semua orang mengetahuinya.

Awal menikah dengan Nana, Jeno selalu datang ke warung mamang. Membawa sifat idiotnya yang di buat-buat, menjadikan sofa tersebut sebagai tempat ternyaman setelah ia mendapat omelan pedas mulut Nana.

Jeno menghabiskan waktunya berjam-jam, sampai ia memberanikan diri untuk pulang. Dengan badan belepotan, pura-pura nyemplung ke empang tetangga.

"Ini mass Jeno, ngalamun tambah ganteng kie kiw"

"Apa sih mang, jangan nge Homo. Dosa!"

💛💛

Nana terbangun, meraba tempat kosong di sampingnya. Ia buka matanya perlahan, tidak ada Jeno di sana. Nana menyibak pelan selimutnya, tubuhnya masih telanjang dengan sperma yang melumuri perut dan selangkangan.

My Idiot Husband || NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang