Si bayi besar tampak sedang bermanja, Nana duduk di atas karpet dan bersandar pada ranjang. Sedangkan Jeno, ia menduduki paha Nana. Jeno tidak perduli akan berat badannya, toh—Nana juga tidak keberatan. Otak dan tubuhnya begitu lelah, namun mulut Nana enggan memaafkan kejadian yang baru saja Jeno perbuat.
Itulah sebabnya Jeno tidak mau pergi dari sana sebelum Nana memaafkannya.
Jeno menaduh dagunya di dada Nana, memandang wajah manis istrinya yang sama sekali tidak mau menatapnya. Tetapi, tangan Nana membelai rambut Jeno yang berkeringat. Menghirup aroma tubuh berkeringat suaminya.
Baunya seperti keringat bayi bercampur dengan aroma khas yang begitu lembut, Nana tidak merasa risih.
"Nana nggak mau maafin Jeno??"
"Enggak, buat apa? Nanti kamu pasti bakal ngulangin lagi?"
"Endak!! Jeno ndak akan mengulanginyah" Jeno mengusak dada Nana dengan wajahnya.
Nana menggeliat tidak nyaman, ia jambak gurau rambut Jeno hingga bondol beberapa helai.
"Selama aku pergi, dirumah kamu ngapain aja?"
Jeno mendongak, mengecup pipi Nana. "Tadi aa Dejun ke sini"
"Ngapain???"
"Endak ngapa-ngapain, aa cuma ngobrol bersama Jeno"
"Ngobrol apa??" Nana penasaran, Jeno kembali menaruh pipinya di dada Nana.
"Kata aa, Jeno harusnya nen sama Nana bukan susu milo terus"
Nana melotot lebar, ia mendorong dada Jeno dengan kasar. "Udah pinter bohong ya?? Atau jangan-jangan kamu cuma pura-pura kena autis iya kan?? Biar bisa manfaatin Nana??"
Jeno menggeleng ketakutan, mulutnya hanya menyampaikan apa yang baru saja ia rekam di dalam otaknya. Tetapi reaksi Nana membuatnya jatuh sakit tanpa darah.
"J-Jeno ndak bohong Nana, kenapa Nana dorong aku? Sakit tau, Na" kedua netra Jeno berkaca-kaca, tatapan Nana lebih menakutkan dari seekor hewan buas yang sedang lapar.
"Inget nggak, kalau kamu sampai berani ngomong kaya gitu lagi hukumannya apa??"
Jeno menunduk, ia menyesal sudah mengatakan hal itu. "Jeno harus merelakan Nana pergi"
"Pinter! Awas ya kalo sampe ngulangin lagi?"
"Tapi Jeno tidak berbohong Nana, Jeno tidak—hikks hiiksss"
Jeno memukuli kepalanya sendiri di depan Nana yang hanya melipat kedua tangannya di dada. Tidak ada respon apa-apa selain tatapan kesal dari Nana. Pukulan itu sukses merubah kulit pelipis Jeno yang semula putih kini menjadi merah.
TOK
TOK
TOK
Hingga suara nyaring ketuk pintu di kamar itu menghentikan aktivitas Jeno yang langsung mengelap air matanya. "Jeno ndak papa, Jeno ndak nangis lagi. Nana baik sekali, sekarang Jeno mau bantu Nana bukain pintunya"
"Nggak usah, duduk manis di sini. Nggak usah macem-macem, ngerti!?" Nana mengusap air mata Jeno dengan ibu jarinya.
"Boleh cium??" Jeno bertanya ragu, masih dengan isak tangis yang tersisa.
"Hmmm" Nana membubuhi bibir, pipi kanan dan kiri Jeno dengan kecup kilat.
Nana menuju pintu kamarnya, mendapati bibi Hana berdiri di sana.
"Ada tuan Renjun, dia menunggu di bawah sana" ujar Bibi Hana sopan.
Nana mengangguk tanpa menjawab, di lihatnya Jeno telah merebahkan diri di kasur di temani kartun shinchan kesukaanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Idiot Husband || NOMIN
DragosteMy Idiot Husband Jeno : Dom Jaemin : Sub Nomin Fanfiction Writer : Papi