Bab 18. Pait pait pait

3.5K 422 16
                                    

Suasana makan malam di kediaman keluarga Prabhu menciptakan atmosfer yang mencekam. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring memecah keheningan.

Dahlia, yang duduk di samping ayahnya, merasa tertekan. Ia menundukkan kepala, berharap bisa mengecilkan keberadaannya. Jari-jarinya pun gemetar saat ia memegang sendok.

Beberapa saat kemudian, makanan sudah diangkat kembali oleh pelayan, meninggalkan meja makan yang kini tampak kosong.

"Kamu tahu apa ulahmu, Dahlia Anindya Prabhu? Apa susahnya bertahan sedikit lagi?" Suara Prabhu terdengar berat dan penuh amarah saat menyebut nama lengkap Dahlia.

"Setelah ayah mejadi walikota, barulah kamu bisa berbuat sesukamu!" lanjut Prabhu dengan nada semakin keras, wajahnya merah padam karena menahan marah.

Dahlia tetap terdiam, jari-jarinya semakin erat menggenggam ujung kukunya yang panjang.

Prabhu kemudian beralih pada istrinya "Ini semua salah kamu, Ningsih! Kamu bahkan tidak bisa memberiku seorang anak laki-laki! dan Berapa banyak uang yang sudah kukeluarkan untuk Dahlia? Kukirim dia ke sekolah mahal untuk membangun koneksi, tapi hasilnya apa?"

Brak!

Sebuah suara keras tiba-tiba terdengar, dimana tangan Prabhu menghantam meja, membuat ibu dan anak itu terkejut.

Prabhu memfokuskan tatapannya pada Dahlia yang tengah menunduk "Saya tidak peduli bagaimana caranya. Jika dana kampanye ini hilang, maka kamu kembali ikut nenekmu,"

Mendengar ancaman itu, Dahlia merasakan jantungnya berdetak semakin cepat, membayangkan kehidupan di desa terpencil tanpa barang elektronik itu sungguh menyiksanya belum lagi barang-barang mewahnya.

Neneknya adalah sosok yang keras dan masih setia dengan tradisi kuno, dan lebih parahnya lagi neneknya masih menyimpan amarah pada keluarganya karena tidak memiliki anak laki-laki. 

Sebagai satu-satunya anak perempuan, ia tau akan menjadi sasaran kemarahan neneknya jika kembali ke pedesaan.

"Ayah, tenang saja, Dahlia pasti bisa membujuk Karel lagi." Suaranya bergetar ketika mengingat penderitaannya di desa saat masa kecil.

Namun, Prabhu hanya mengabaikannya. Tatapan matanya tetap dingin, seolah-olah Dahlia tak ada di sana.

Ia menoleh ke arah ibunya, berharap ada sedikit simpati dari sana. Namun ibunya pun segera melengos, tak ingin terlibat atau membela.

Ia sudah kehilangan harapannya, memikirkan Karel ia segera menggertak giginya "Ini semua karena Karel!" deru nafas dahlia menjadi lebih cepat karena kemarahan.

...

"Hancuu..." Karel mengusap hidungnya setelah bersin.

Memilih menghiraukannya ia lanjut meminum alkokol ditangannya, dan terus menari mengikuti aluna musik yang mengema.

lampu kerlap kelip menambah suasana gembira disertai berbagai sorakan terdengar, sudah lama sekali tidak datang ketempat ini karena kesibukannya.

Belum lagi tiga bulan lagi wabah sehingga tidak ada kesempatan untuk menari bebas di club ini karena kebijakan sosial.

Mata Karel melirik ke arah teman-temannya, ada Raka dengan senyum percaya dirinya, dikelilingi oleh beberapa gadis cantik.

Di panggung, Ervin tengah menari liar dengan wajahnya yang kekanak-kanakan, tubuhnya yang lentur bergerak  menikmati setiap detik dari musik. 

Lalu ada juga rafael yang terus menari dengan handphone ditangannya, sepertinya pria itu telah kecanduan game.

Karel pernah beberapa kali mendengar cerita dari temannya yang bekerja sebagai psikolog, bahwa ada orang-orang yang begitu terikat dengan karakter game dan mengira sebagai pacarnya.

[BL] VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang