"Siapa yang melakukan ini padamu?!" teriakan itu menggelegar memecah keheningan ruangan dan itu membuat Karel kaget bukan main.
Wajah Arthur kini suram, rahangnya mengeras saat menatap punggung Karel, seolah ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Karel hanya bisa berdiri membeku, bibirnya sedikit terbuka tapi tidak tahu harus menjawab apa.
ia tau apa yang arthur lihat di punggungnya dan betapa mengerikannya bekas luka itu. Meskipun sudah tak terasa sakit, tapi tetap menyisakan keropeng merah gelap yang tampak kasar.
"Ini... udah nggak sakit kok, tenang..."
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Arthur telah menariknya dalam pelukan dengan gerakan yang hati-hati takut melukai karel.
Karel menunduk mengeratkan pelukannya, sehinnga ia dapat merasakan dada Arthur naik turun dengan napas yang berat, seolah sedang menahan segala emosi.
"Ini pasti sakit," suara Arthur gemetar ketika mengatakan itu, Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya mengalami penyiksaan seperti itu.
Ini semua salahnya, jika saja ia memberikannya kepada karel bulan lalu maka kejadian ini tidak akan terjadi.
Arthur tidak mendnegar apapun dari karel, sehingga membuatnya semakin khawatir.
Dengan lembut, Arthur melepaskan pelukannya dan membantu Karel duduk di sofa.
Arthur mengambil kemeja Karel yang tadi ia lempar sembarangan dan mengenakannya kembali ke bahu Karel.
Tangan besar itu dengan hati-hati menyentuh kulit Karel.
Setelah memasangkan kancing-kancingnya, Arthur duduk di sebelah Karel, meraih tangan Karel ke dalam genggamannya.
Lalu Arthur menatap mata Karel. Matanya, yang masih memerah karena marah, tampak lebih lembut sekarang. "Ceritakan,"
Karel menatap Arthur, mencoba merangkai kata yang tepat "Ini... hukuman keluarga. Bulan lalu... nilai gue jelek, jadi..."
Setalah mendengar itu, rahang Arthur mengeras , tapi karena tidak ingin menakuti kekasihnya ia berusaha menahnnya amarahnya.
"Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya?"
Karel tidak segera menjawab. Dia tahu Karel asli memiliki ego yang terlalu tinggi untuk membiarkan orang lain mengetahui kelemahannya.
Sedangkan Arthur, merasa dirinya gagal melindungi orang yang ia cintai, semakin tenggelam dalam rasa bersalah.
"Maaf..."
"Udah lama juga, jadi nggak sakit lagi," Karel tersenyum kecut sambil membetulkan kancing-kancing kemejanya.
Ia kira tadi ia akan melakukan hal lain, tapi huh.
Arthur tiba-tiba bangkit darinya sofa, menarik Karel berdiri bersamanya. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Karel.
"Ayo ke rumah sakit,"
Namun, Karel hanya tersenyum kecil, merasa hangat karena ada seseorang yang begitu memperdulikan kesehatannya.
Setidaknya, satu orang yang benar-benar peduli. "Tenang, gue udah ke dokter,"
"Tetap saja saya belum yakin" nada suara Arthur tiba-tiba terdengar tegas.
Karel menghela nafas ringan, lalu dengan lembut menarik Arthur kembali duduk di sofa dan kemudian menidurkan kepalanya di pangkuan Arthur.
ia lalu meraih tangan Arthur dan meletakkannya di atas kepalanya, membiarkan jari-jari Arthur merasakan rambutnya, sesaaat ia merasa kantuk mulai menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Villain
Fantasy|End| Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat yang ia perankan hidup dalam kemewahan, jadi ia tidak perlu bekerja keras seperti dikehidupan se...