Karel terpaksa berjalan kaki selama sepuluh menit melewati jalanan berbatu khas pedesaan yang tidak ramah bagi kendaraan roda empat.
ia melihat salah satu Vila mencolok, Vila itu berdiri megah, dikelilingi oleh taman yang luas. Namun, bukan keindahan taman yang menarik perhatiannya, melainkan sosok yang ada di depannya.
Cahaya matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat menciptakan bayangan seorang pria dewasa, berdiri dengan punggung tegap, sedang menyiram tanaman, dengan bantuan tongkat untuk berjalan.
Matanya terangkat menatap punggung pria itu dengan tatapan kosong, bibirnya mulai terkatup rapat, berusaha menahan air mata yang siap tumpah kapan saja.
Matanya terus terpaku pada punggung itu yang masuk ke Vila, "Kalian tunggu disini, jangan biarkan satu orang pun masuk"
Tanpa menunggu jawaban dari para preman di belakangnya, ia sudah berlari masuk ke Vila.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Mendengar suara Arthur membuat tubuhnya membeku dan detak jantungnya semakin kencang, benar ini adalah prianya Arthur.
Sebuah tongkat merah tiba-tiba terulur, hingga ujungnya berhenti tepat di depan matanya. Tapi ia tetap diam tak bergeming.
Matanya terpaku pada pria di depannya, menatap dengan penuh kebencian dan kerinduan sekaligus.
ia sangat benci ditinggalkan tanpa memberi penjelasan dan sekarang ia akan meminta penjelasan langsung dari bibir pria di depannya.
ia menutup menutup sejenak sebelum berbicara, mencoba menegangkan diri "Kenapa... kenapa kamu ngelakuin ini?"
Tetesan air mata jatuh tanpa suara dari sudut matanya, perlahan menuruni pipinya.
Mata Arthur yang sebelumnya kosong dan tenang, kini membelalak lebar ketika mendegar suara itu, suara yang sudah lama tidak dia dengar, begitu akrab, begitu dekat.
Tidak ingin membuat Karel khawatir, ia menunjukkan senyum tipis, namun senyum itu terasa dingin, hampa, tidak sampai ke matanya. Bibirnya sedikit tertarik ke atas, tapi matanya tetap kosong, tidak mencerminkan emosi apa pun.
Tangannya segera menurunkan tongkatnya, kakinya mulai melangkah kearah Karel, membawa tubuhnya semakin dekat.
"Kenapa kamu di sini?" ia menurunkan oktaf suaranya, hampir terdengar seperti bisikan.
Tangannya terangkat, meraba-raba ruang di antara mereka dengan pelan, hingga akhirnya jari-jarinya menyentuh kulit Karel dan merasakan pipi Karel yang basah.
"Kenapa?... Kenapa kamu nggak kasih tau aku? Aku cari kamu ke mana-mana!" Karel berbicara pelan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.
Arthur menurunkan tangannya setelah menyentuh pipi Karel, lalu mundur satu langkah.
"Jangan menangis"
"Apa kamu tahu kondisi saya saat ini?" Nada suaranya begitu pelan, berharap kata-katanya bisa menenangkan Karel, ia harap setalah mengehui kondisinya karel akan pergi dan hidup lebih layak.
"Gimana gue bisa tau, lo bahkan ga nelpon atau ngasi kabar" ia meluapkan emosinya dalam satu tarikan nafas, langkah kakinya maju dan memukul bagian dada arthur.
Arthur hanya diam, kepalanya sedikit menunduk. Ia menerima setiap pukulan Karel tanpa perlawanan dan tanpa mencoba menghindar.
Pukulan itu tidak membuatnya sakit, tidak secara fisik. Namun, ketika dia mendengar isakan Karel membuat hatinya merasa terluka.
"Saya buta," bisik Arthur dengan lirih, setalah mengatakan itu, ia tidak berani lagi mendekati karel.
"Saya harap kamu bisa mencari orang lain yang lebih baik. Dan mengenai kunci jawaban, jangan khawatir..."
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Villain
Fantasy|End| Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat yang ia perankan hidup dalam kemewahan, jadi ia tidak perlu bekerja keras seperti dikehidupan se...