"Ngomong-ngomong," katanya sambil melirik Karel yang masih sibuk mengunyah, "di kampus mana kamu ingin melanjutkan studi?"
Pertanyaan itu membuat Karel berhenti sejenak dari kegiatan mengunyahnya.
Ia terlalu fokus pada rencana investasi saham dan krisis keuangan yang akan datang hingga lupa bahwa tahun ini ia akan lulus.
Di novel yang ia ingat, Karel asli bahkan tidak disebutkan kuliah di mana, karena alur cerita langsung melompat ke saat karakter utamanya sudah berusia dua puluhan tahun.
Tapi, mengingat keluarga besar pemilik asli tubuh ini sangat terobsesi dengan reputasi dan pengakuan sosial, sudah bisa dipastikan mereka akan mendaftarkan Karel ke universitas terbaik di negara ini.
"Gak tahu, paling UI atau UGM,"
Setelah Karel mengatakan itu, handphone Arthur yang tergeletak di meja tampak menyala. Ia melirik sekilas dan segera meraih ponselnya. "Sebentar," katanya, sebelum melihat siapa yang menelepon.
Ternyata itu sekretarisnya. Ia langsung mengangkat telepon tersebut.
"Saya ke lokasi sekarang,"
setelah mengucapkan itu ia segera menoleh ke arah karel, "saya ada pekerjaan sebentar"
"Pekerjaan? Malam-malam begini?"
Arthur mengangguk dengan sedikit keengganan.
perlahan, Arthur meraih bagian belakang kepala Karel dan mengecup lembut dahinya. Ciumannya singkat, tapi cukup untuk membuat Karel terdiam sesaat.
"Hati-hati" ucap Karel pelan, mengantar arthur pergi
Arthur tersenyum tipis, senyum yang selalu terlihat hangat di mata Karel. "Kamu juga, selamat malam" jawabnya, sembari tangannya mengusap rambut Karel dengan lembut, jemarinya menyelip di sela-sela helaian rambut pemuda itu.
Kemudian Arthur berbalik dan melangkah menuju lift. Saat ia sudah berada di dalam, pintu lift mulai menutup perlahan, dan Karel masih berdiri di ambang pintu apartemennya, memperhatikan Arthur dari jauh.
Arthur sempat melambaikan tangan ke arah Karel dengan senyum.
Arthur meraih teleponnya dengan cepat, matanya menyipit, penuh fokus. Setelah mengetik sesuatu di layar, suara dari seberang langsung terdengar.
"Adrian, berikan saya laporan terbaru tentang MIRAC Group sekarang. Pantau terus, jangan sampai perusahaan itu gulung tikar" ucapnya dengan nada tegas dan tanpa kompromi.
Tanpa menunggu jawaban, Arthur sudah mematikan telepon. Karena karel sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli saham tersebut dan Jika perusahaan itu bangkrut, Karel pasti akan kecewa dan ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
...
Sabtu sore, Karel, yang biasanya hanya berdiam diri di kamarnya, kini berada di tempat yang penuh dengan bau pengap dan udara yang lembab.
Sangat kontras dengan penampilannya yang rapi dan wajah tampannya.
Beberapa orang yang melintas meliriknya penuh rasa ingin tahu, bertanya-tanya apa yang dilakukan seorang pemuda sepertinya di lingkungan kumuh ini.
Setelah bertanya beberapa kali pada penduduk sekitar, Karel akhirnya menemukan tangga yang harus dinaikinya untuk mencapai lantai lima.
Setiap anak tangga terasa berderit dan licin, seolah bangunan ini tidak ada yang menghuni, bahkan cahaya matahari nyaris tidak masuk ke dalam gedung.
"Gimana Tristan bisa tinggal di tempat kek gini?" pikir Karel dengan alis berkerut.
Tristan, yang di masa depan akan menjadi salah satu bawahan Daniel dengan IQ lebih dari 150, terkenal karena kecerdasannya yang luar biasa.
Dalam novel Tristan mampu memprediksi tren harga dan menjadi jenius dalam dunia investasi.
"Sorry, Daniel, gue ambil bawahan lo satu. Lo kan udah cukup pintar tanpa dia," gumam Karel sambil tersenyum kecil,
Saat mencapai lantai lima, matanya langsung tertuju pada rumah nomor 47 terletak di ujung lain.
Namun, alih-alih langsung mendekat, ia menghentikan langkahnya sejenak. Di depan pintu, beberapa preman dengan tampang kasar sedang berteriak dan memaki.
ia memutuskan untuk disinilebih dahulu untuk memantau siatuasi.
Salah satu preman menendang keras sebuah kotak sampah di samping hingga isinya berhamburan di lantai.
"Saya janji, saya akan lunasi utang suami saya! Tapi, tolong... jangan sakiti suami saya" wanita itu memohon dengan suara bergetar dengan kedua tangannya mengatup.
Namun, preman-preman itu hanya tertawa mengejek. Bagi mereka, teriakan semacam ini sudah terlalu biasa.
Tetangga sekitar, yang awalnya sempat melongok ke luar, kini memilih menutup pintu rapat-rapat, tidak ingin terlibat.
"Berisik lo!" salah satu preman berteriak kasar.
Mata preman itu beralih ke Tristan yang masih tertunduk, menilai bocah itu dari ujung rambut hingga kaki.
Karel, yang masih mengamati dari sudut, melihat pandangan jijik dan penuh niat buruk di mata preman tersebut.
"Penampilan anak lo boleh juga," ucap preman itu sambil menyeringai, matanya berkilat licik.
"Lumayan, pasti banyak tante-tante kaya yang antri buat bocah kayak gini. Bawa dia!"
"Sialan!" Teriak Tristan sembari dengan sembrono melompat ke arah preman yang menghinanya.
Namun perlawanan itu sia-sia. Preman-preman lainnya dengan cepat menyerang balik, memukul Tristan hingga dia tersungkur.
Tristan yang kini terkapar di lantai, lemah dan terengah-engah, ditarik paksa oleh dua preman yang dengan santai menyeret tubuhnya.
"Tristan! Tristan!" Wanita itu memanggil putranya dengan suara parau, "Ibu janji, ibu akan jemput kamu! Ibu akan lunasi utangnya kalau ibu sudah punya uang!"
Karel mengamati adegan itu dengan tatapan dingin. Ia tahu betul bahwa wanita itu tidak akan bisa menyelamatkan Tristan.
Perempuan tua itu hanya peduli pada suaminya, seorang pria yang kecanduan berjudi, Meskipun berkali-kali dipukuli, wanita itu tetap mencintai suaminya, dan
Tristan pemuda naif itu selalu mencoba membantu ibunya, meski harus menjadi sasaran amukan sang ayah.
Saat Tristan dipukuli oleh ayahnya, wanita itu hanya bisa menangis, air matanya mengalir tanpa henti, tapi tak ada tanda-tanda niat untuk membantu putranya.
"Stop!"
Karel mengangkat kakinya untuk memblokir mereka yang hendak membawa Tristan.
"Bocah sialan! Pergi lo, sebelum gua hajar!" teriaknya dengan kasar.
Namun, matanya yang tadi penuh niat jahat langsung berubah begitu melihat penampilan Karel yang lebih rapi dan terawat dibandingkan Tristan yang lusuh.
Karel memandang preman itu dengan jijik. Perlahan, dia merogoh ransel dan mengeluarkan beberapa tumpukan uang kertas dan melempar kebawah hinnga berserakan.
Seketika, bawahan preman itu melompat untuk mengambil uang yang berhamburan. "Bos, bos! Gila, ini duit banyak banget!" Salah satu dari mereka berjongkok, dengan cepat meraup uang yang berceceran, melepaskan genggaman mereka dari tubuh Tristan.
Melihat uang sebanyak itu, Tatapan serakah di matanya langsung muncul dan merak dengan rakus merebut uang-uang yang berceceran, sebelum orang lahin melihat.
Tristan juga terpana sesaat melihat uang yang berceceran di lantai. bahkan dalam mimpi pun ia tak pernah membayangkan bisa memiliki uang sebanyak itu.
"Ikut gue," kata Karel menyadarkan tristan yang tenagh termenung.
Tristan mengedipkan matanya beberapa kali, bingung apakah yang dimaksud pria ini benar-benar dirinya. Ia melirik para preman yang masih sibuk mengumpulkan uang di lantai.
"Cepat"
...
[jangan lupa vote dan komen]
[karena jadwal penulis semakin sibuk, untuk selanjutnya penulis akan mempublis cerita dua hari sekali setiap pukul 06.00]
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Villain
Fantasy|End| Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat yang ia perankan hidup dalam kemewahan, jadi ia tidak perlu bekerja keras seperti dikehidupan se...