Bab 23. Menemukan

11.2K 1.2K 22
                                    

Ketika mobilnya berhenti di depan rumah sakit kota, Karel segera mengambil maskernya dari saku dan berlari dengan seluruh tenaganya menuju meja administrasi di lobi rumah sakit.

Keringat mulai membasahi dahinya meskipun cuaca tidak terlalu panas ditambah ekspresi cemasnya semakin jelas saat memasuki ruang administrasi.

"Permisi! pasien bernama Arthur... bisa tolong dicek di mana dia sekarang?" tanyanya cepat, suaranya terdengar sedikit bergetar karena rasa cemas.

Petugas administrasi, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi, mengangkat pandangannya sekilas sebelum menunduk kembali pada layar komputer.

"Bisa beri tau nama lengkapnya?"

"Arthur Maximilian Lichoin" jawabnya cepat, ia semakin khawatir dengan semua kemungkinan yang bisa terjadi.

Arthur pemeran utama ke dua, kenapa ia begitu bodoh hingga tidak begitu menyadari.

"Pasien sudah dipulangkan oleh keluarganya tiga hari yang lalu," jelas petugas administrasi.

"Tiga hari yang lalu?" ia mengulangi dengan nada tak percaya.

Setelah mengatakan itu, ia merasa kepalanya mulai berputar, tangannya terulur di meja resepsionis untuk menjaga keseimbangannya. 

Wajahnya tampak pucat, dan napasnya mulai tidak teratur, membuat petugas administrasi sedikit khawatir. "Anda baik-baik saja? Mungkin saya bisa menghubungi dokter"

Karel menggelengkan kepalanya pelan dan perlahan duduk di kursi terdekat, berusaha menenangkan diri sambil mengatur napas.

"Karel, kamu di sini? Kamu nggak apa-apa?" Suara itu semakin mendekat, dan Karel segera mengenali pemilik suara tersebut—Dahlia, pemeran utama wanita.

Ketika Dahlia menyentuh lengannya,  dengan gerakan yang cepat ia langsung menghempaskan.

Hal itu membuat Dahlia tersentak dan mengerutkan kening, menunjukkan ekspresi jijik yang cepat terlihat di wajahnya.

"Ck, kalau bukan karena disuruh ayah, sudah gue tinggalin lo di sini. Dasar tukang bully" gerutu dalama hati.

Namun, ia segera mengubah ekspresinya dengan cepat, berusaha menunjukkan sikap yang lebih ramah.

Dahlia tersenyum halus, meskipun senyumannya tampak sedikit dipaksakan. "Kebetulan banget kita ketemu di sini. Dunia ini jadi semakin kacau aja kan? Kasus penyakit ini terus meningkat, jadi aku mutusin untuk jadi relawan. Semoga bantuan aku bisa berguna" 

Karel yang kepala pusing kini tambah pusing, ketika mendengar ucapan dari pemeran utama wanita yang panjang dan lebar.

Lagipula ia tahu betul bahwa alasan Dahlia menjadi relawan bukanlah murni dari niat baiknya, melainkan untuk meningkatkan citra ayahnya yang akan mencalonkan diri sebagai walikota. 

Tidak ingin membuang waktu dengan basa-basi, ia segera beranjak dari kursi.

Dahlia, yang masih berdiri, mencoba meraih lengan Karel sekali lagi dengan nada lembut, "Karel, tunggu."

Namun, Karel dengan cepat menepis tangan Dahlia dengan gerakan dingin "Pergi," ujarnya dengan nada yang tajam dan tidak bersahabat.

Sedaagkan Dahlia ia tetap mematung menelan ludahnya gugup, ketka mendapati aura karel yang tidak seperti biasanya.

Beberapa saat kemudian senyum sinis muncul di bibir Dahlia, jika saja dana pemilu sudah terkumpul, ia takakan sudi lagi bertemu dengan orang yang sok berkuasa itu.

Tapi tak apa, yayasan yang ia bangun akan memiliki banyak pendonasi dan ia akan segera menyerahkan ke ayahnya sehingga ia tak perlu berurusan dengan orang bodoh itu.

[BL] VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang