Bab 13. Luka di Punggung

15.1K 1.4K 7
                                    


Karel memandang secarik kertas di depannya dengan ekspresi serius. Coretan demi coretan mulai memenuhi lembar itu, mencoret bagian perekrutan Tristan telah selesai.

Kemarin malam ia telah mendiskusikan saham apa saja yang akan naik baru-baru ini, ia juga berusaha mencari informasi lebih banyak lagi, karena di novel sangat sedikit informasi tentang perusahaan.

Dalam novel, di ketahui Tristan memulai investasinya sejah berumur enam belas tahun, hal itu terjadi setalah Tristan menemukan buku-buku tentang investasi ketika menjadi pemulung.

Karena kecepatannya dalam belajar berbeda dari anak-anak seusianya, sehingga Tristan dapat mengeri isi buku itu dengan cepat.

Tristan lalu mulai dengan investasi kecil-kecilan dan lebih memilih untuk berhati-hati untuk tidak mengambil risiko besar. 

Meskipun hasilnya tidak seberapa, keuntungan kecil yang ia dapatkan dari waktu ke waktu cukup untuk membangun dasar pemahaman yang kuat dan mempelajari beberapa trik.

dan karena ia belum berusia 18 tahun sehinga ia belum mendapatkan kartu bank, sehinnga ia mengunkan milik ibunya dan uang hasil investasinya berakhir diambil ayahnya untuk berjudi.

Kejadian tersebut membuat Tristan terpukul, uang yang seharusnya untuk membayar sekolahnya kini habis tak tersisa, semenjak itu ia berhenti dalam bermain saham.

Karel mengeleng pedih mengatahui nasip targis dari figuran tersebut.

Tadi malam ia juga sudah memberikan uang pada Tristan sebagai modal awal. Jumlahnya tidak sedikit, tapi ia percaya karena menurut cerita di novel Tristan adalah orang yang jujur dan pekerja keras. 

Tapi ia tak sebodoh itu memeprcayakan uanganya pada orang yang baru pertama ia temui, manusia juga mempunyai kecendrungan bisa berubah dan uang dapat mengubah seseorang, jadi dalam pertimbangan ia tetap memantau Tristan.

Dalam waktu-waktu dekat ini, ia juga berniat menguliahkan Tristan, memberi kesempatan baginya untuk belajar lebih banyak tentang dunia bisnis dan memperkuat pondasinya.

Dengan begitu ia dapat membuat tristan menjadi tangan kanannya yang sempurna.

Meski sempat menolak, akhirnya ia dapat membuat Tristan berada di pihaknya dengan berbagai upaya dan tentu dengan sedikit iming-iming.

Selesai merenung, Karel menarik napas panjang dan menyimpan buku catatannya di dalam laci meja. Kini, ia kembali fokus pada pelajaran bahasa inggris.

...

Setelah kelas usai, karel tidak pergi ke kantin seperti biasanya. Sebaliknya, ia langsung menuju ruang guru.

Tanpa permisi, ia membuka pintu dan melangkah masuk, lalu dengan santai duduk di kursi empuk di sudut ruangan. 

Mata hitamnya menyapu ruangan dan pandangannya langsung tertuju pada Arthur yang tengah tertidur yang punggungnya bersender di kursi dengan kacamata yang masih bertengger. 

Menurutnya Kacamata masih bertengger di hidung pria itu, membuatnya tampak polos dan tidak berbahaya. 

Mungkin jika semua murid di SMA Matahari dapat mendengar suara batin kerel, mereka akan menolak tegas pernyataan karel.

Tangan Karel terulur, jemarinya denagn hati-hati mengambil kacamata yang bertengger di wajah tampan pacarnya, lalu meletakkannya di atas meja.

Matanya berhenti di wajah Arthur yang kini terlihat lebih jelas. Alis tebal itu tampak di pahat denggan sempurna, membuatnya tak bisa menahan senyumnya.

           "Buset, tidur aja ganteng begini... pacar siapa ini? Pacar gue dong," gumamnya sambil tertawa kecil.

Dengan senyum jahil, ia mulai mengulurkan tangannya, kali ini ia menyentuh alis hitam pria itu untuk merasakan teksturnya.

Lalu, jemarinya bergerak turun, menyentuh hidung Arthur yang lurus, ia meluncurkan tangannya dengan sengaja seperti bermain prosotan. 

Diiringi senyum jahil, ia menekan hidung itu dengan keras, tapi pacarnya tetap tak bergeming dan masih tenggelam dalam tidurnya.

Tanpa berpikir panjang, ia segera mengambil ponselnya dari saku daa mulai memotret Arthur dari berbagai sudut mulai dari depan, samping, bahkan dari atas.

Saat Karel hendak mengambil foto lain, tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya.

Seketika ia terkejut, hingga ponselnya hampir terlepas dari tangan. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, tangan yang lain melingkar di pinggangnya dan menariknya ke pangkuan pria yang tadi terlelap.

Karel terdiam sejenak, lalu perlahan melipat bibirnya, menahan senyum menggoda. Dengan tenang, ia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian merentangkan lengannya di leher Arthur untuk menarik pria itu lebih dekat.

      "Gak usah pura-pura tidur" bisik Karel dengan suara rendah, "Itu tangan lo kan?"

Arthur tidak menjawab, tapi genggaman di pinggangnya semakin erat. 

Karel yang kesal karena Arthur terus berpura-pura tidur, akhirnya mencubit hidung pria itu dengan keras.

Arthur mengerang pelan, lalu dengan enggan membuka matanya. Tanpa peringatan, dia mengecup bibir Karel singkat, membuat Karel tersentak. 

       "Kamu di sini!" gumam Arthur dengan suara serak khas bangun tidur.

Alih-alih merespon, ia malah menyandarkan kepalanya di dada Arthur yang bidang. Di sana, ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang semakin cepat.

Arthur tersenyum, mulai mengusap punggung karel perlahan sebagai balasan. 

Namun, saat tangannya meluncur di sepanjang punggung Karel, Arthur tiba-tiba merasakan ada yang tidak beres.

Ada tonjolan aneh di bawah seragam Karel, membuat punggungnya terasa tidak rata. Seketika, rasa kantuknya hilang begitu saja, digantikan oleh ekspresi cemas yang merayap ke wajahnya. 

Tanpa bicara, dia melepas pelukan itu dengan cepat, membuat Karel tersentak, membuka mata dengan bingung. 

        "Kamu berdiri sebentar," ucap Arthur, suaranya terdengar tegang dan tidak sabaran. 

Karel, meski bingung, menuruti perintah itu tanpa banyak bertanya. Ia bangkit dari pangkuan Arthur, berdiri di depan pria itu dengan ekspresi penasaran.

Mata Karel melebar saat melihat Arthur mulai membuka kancing-kancing seragamnya satu per satu dengan tergesa-gesa. 

           "Mau nagapain ni?" pikiran Karel, mulai berkecambuk berisi hal- hal yang memungkinkan akan dilakukan.

Arthur membuang seragam Karel sembarangan, kaos tipis yang dipakai di bawahnya ikut tersingkir dalam hitungan detik.

Badannya terasa kaku, fikirannya kini melayang entah kemana, apa Arthur akan melakukan ini sekarang? Di sini, di ruang guru? Tapi sebelum Karel bisa menyusun pikirannya lebih jauh, Arthur memutar tubuhnya dengan lembut, memeriksa punggungnya.

Detik berikutnya, wajah Arthur berubah drastis. Dari kekhawatiran kini ekspresinya berubah menjadi penuh kemarahan.

          "Siapa yang melakukan ini padamu?!" teriakan itu memecah keheningan ruangan, membuat Karel kaget bukan main.

Wajah Arthur kini suram, rahangnya mengeras saat ia menatap punggung Karel seolah tak percaya apa yang dilihatnya.

Karel hanya bisa berdiri membeku, bibirnya sedikit terbuka tapi tidak tahu harus menjawab apa.

....

[sampai bertemu lusa jam 07.00]

[BL] VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang