Bab 22. Sadar

11.2K 1.3K 31
                                    

Matanya menyipit ketika mendapati cahaya yang mendadak datang, menyilaukan pandangannya.

Kepalanya terasa berat sehinnga ia ingin mengangkat tangan kekepla untuk meredakan rasa sakit yang menyiksa. 

Namun, ia segera menyadari bahwa lengan kanannya terbalut perban dan dihubungkan dengan infus.

Matanya menatap linglung ke arah langit-langi bercat putih dan bau antiseptik yang kuat mulai memenuhi rongga hidungnya.

Matanya perlahan mulai bisa fokus dan ia mencoba menoleh sedikit ke samping dan tangannya terulur untuk mencari handphonya.

Namun, alih-alih menemukan ponselnya, ia malah mendapati sosok ayahnya duduk di kursi di samping tempat tidur, sedang menatapnya dengan tatapan yang dingin.

"Apa yang kau lakukan setelah sadar? Istirahatlah," suara ayahnya terdengar sangat otoriter.

"Pon... sél, di mana?" Suaranya serak dan hampir tidak terdengar jelas. Ia berusaha untuk berbicara, namun suara itu terdengar lemah dan terputus-putus. 

Dengan enggan pria tua itu menyerahkan handphone yang telah diperbaiki.

Setelah memberikan handphone, ayahnya menatapnya satu kali lagi sebelum beranjak. "Setelah keluar dari ruang sakit, ada yang harus dibicarakan"

Karel memperhatikan punggung ayahnya yang perlahan menjauh, hingga akhirnya sosok itu menghilang dari pandangannya.

Ia tidak peduli dan lebih memilih untuk mengabaikannya, hanya fokus pada handphonenya yang tidak kunjung terhubung. Ia terus menekan tombol panggilan dengan harapan suara di ujung sana terdengar.

Hinga, rasa pusing yang semakin menghantuinya dan membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. 

Dengan frustrasi, ia merebahkan dirinya kembali di ranjang rumah sakit, tangan yang memegang handphone terus menerus mencoba menghubungi nomor yang sama.

Setelah satu bulan tidak sadarkan diri dan perawatan lainnya, karel akhirnya dinyatakan sembuh dan dapat pulang ke rumahnya.

Dengan wajah muram, ia mulai menyendok bubur hambar ke mulutnya.

"Saya sudah mendaftarkan kamu ke Yale University," tiba-tiba, suara ayahnya memecah kesunyian dan matanya terbelak ketika mengengar perkataan terakhir ayahnya.

"Saya rasa kemampuan bahasa Inggrismu tidak perlu diragukan lagi, dan satu hal lagi, SAT akan diadakan dua bulan kemudian. Jangan mengecewakan."

Yale? ia memberanikan diri memandang ayahnya dengan ekspresi campur aduk dengan eksprsi kemarahan yang samar "Bukannya kakek bilang seharusnya masuk kampus lokal?"

Bagaimana dengan Arthur? Apakah Arthur akan mau mengikutinya? Memikirkan tentang Arthur yang saat ini tidak bisa dihubungi, membuat dadanya semakin terasa sesak.

"Apa yang diketahui kakekmu, hanya itu yang saya katakan," Hars mengusap sudut mulutnya dengan sapu tangan. Setelah itu, ia melangkah menuju mobilnya untuk bekerja kembali.

Karel, yang tersisa di meja makan hanya menatap diam dengan mata dipenuhi kemarahan, Ia memegang sendok dengan erat.

Ketika ia sudah tidak dapat mengendalikan emosinya, ia segera melempar sendok itu hingga hentingan suara yang keras.

Tanpa membuang waktu, ia bergegas keluar dari rumah dan melangkah cepat menuju mobil.

Sopir yang menyadari kehadiran tuannya, segera mendekat.

"Bigcy Apartment, pergi ke sana,"  sang sopir hanya mengangguk karena menyadari suasana tuannya sedang tidak bagus.

Mobil melaju dengan cepat, melintasi jalanan kota dengan suara mesin yang berderu keras.

[BL] VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang