30. Selesai?

221 56 9
                                    

"Udan baikan?"

Shenka yang duduk dengan bersandar pada kepala ranjangnya itu pun mengangguk-angguk. Dia tersenyum di atas wajahnya yang masih terbilang pucat. Meski tidak separah semalam, tapi sekarang keadaan dia sudah lebih baik. Untuk lebih meyakinkan, Kafka pun menempelkan punggung tangannya pada kening Shenka.

"Udah nggak terlalu panas." Cowok itu mengangguk-angguk kecil.

"Yey, nggak jadi mati."

"Jangan ngomong sembarangan gitu, By."

Cewek itu malah memamerkan deretan giginya. "Sini, kasih aku pelukan." Dia merentangkan tangannya.

Kafka pun hendak menyambut dengan sepenuh hati sebelum terdengar suara handle pintu yang ditekan. Kafka pun menarik kedua tangan Shenka yang terangkat itu untuk kembali turun ke bawah. Wajah cewek itu pun seketika cemberut penuh protesan.

"Duh, cantiknya Mama udah bangun."

Untung saja ucapan Teresa membuat kekesalan Shenka teralih, dia pun memasang senyum lagi dan menyambut ibunya itu.

"Makan sekarang ya, Mama suapin." Wanita itu pun menyimpan nampan di atas nakas. Semangkuk bubur bersama sayur bening.

"Sama Kak Kafka aja," ucap Shenka yang membuat Teresa seketika menatap ke arah putranya. Kafka mengangkat tangan berpura-pura tidak mengerti.

"Kak Kafkanya mau siap-siap sekolah, sama Mama aja ya?" bujuk Teresa lagi.

Shenka menggeleng-geleng. "Kak Kafka nggak sekolah kok. Justru Mama yang harus siap-siap kerja."

"Kak Kafka bakal sekolah."

Shenka seketika cemberut. "Terus Shenka ditinggal sendirian?"

"Nggak, Mama bakal nungguin kamu."

Shenka menggeleng lagi. "Kak Kafka sekolah sehari nggak bakal bikin jadi pinter, tapi Mama kerja sehari pasti hasilin uang. Aku sama Kak Kafka aja." Shenka meraih tangan Kafka lalu memeluknya.

Teresa terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, meski tidak ada kata yang terucap karena bingung. Teresa pun berakhir dengan helaan napas.

"Shen, Kafkanya Mama pinjem dulu ya?"

"Tapi izinin bolos sekolah ya?"

Teresa mengangguk. Shenka pun melepaskan tangan Kafka. Dia sempat melambai saat Kafka dan ibunya pergi ke luar.

"Kamu inget ucapan Mama semalam, 'kan?"

Kafka menghela napas berat. "Iya, Ma. Lagian kenapa Mama tiba-tiba berubah gini? Sebelumnya nggak. Mama bahkan dulu biasa aja Kafka bolos buat nemenin Shenka. Selama di Bali? 'Kan Kafka yang sama dia," papar cowok itu.

"Mama nggak bodoh, Kaf. Waktu kamu marah karena tau Shenka bukan anak Papa Andra, nggak mungkin kalo nggak ada apa-apa, 'kan? Kamu suka dia?" Teresa sebenarnya sudah menekan prasangka itu, tapi setelah melihat Shenka tidur dalam pelukan Kafka semalam, dirinya memang harus mengambil langkah maju. Terlebih pagi ini Shenka lebih memilih Kafka dibanding dirinya. Itu terasa aneh.

"Masa aku harus benci? Bukannya kita keluarga?"

Teresa menatap datar. "Kamu ngerti maksud Mama."

Kafka menggeleng. "Aku sama sekali nggak ngerti maksud Mama," ucapnya yang jelas hanya sebuah kebohongan saja.

"Terus apa alasan kamu marah kemarin?"

"Aku marah nggak dikasih tau soal Shenka itu, karena di belakang aku banyak bikin kesalahan yang nggak aku sadari. Aku nyinggung kondisi Shenka dengan dalih candaan. Mama tau dia senyebelin apa waktu kumat, Kafka pernah nggak sengaja ngatain anak pungut karena dia nggak sekalem Papa." Kafka memperhatikan raut Teresa baik-baik. Menilik reaksi sekecil apa pun yang wanita itu berikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang