29

251 14 1
                                    

"Bapak dan Ibu sudah mau pergi?" tanya Fadhil lagi.

"Iya, Nak. Kami sudah seharian di sini." Papa Kesya yang menjawab.

"Kenapa tidak menginap saya, Pak? Bisa menginap di kediaman saya, kalau dirasa mess ini kurang layak." tawar Fadhil.

Fadhil menunjuk rumahnya dengan jempolnya, khas orang Jawa. Belakangan Kesya baru tau kalau Fadhil ini blesteran Jawa-Sunda. Pantas saja Fadhil memanggilnya dek, bukan teteh seperti pemuda Sunda kebanyakan.

Mata Tari berbinar mengetahui rumah Fadhil paling mentereng di desa ini. Pasti orang tua Fadhil termasuk orang terpandang. Dilihat dari gerak-geriknya Fadhil terlihat seperti pria soleh dan agamis, tutur katanya lembut, adem, seperti ubin musholla.

Tari bertekad dalam hati, anak ini harus jadi menantuku.

"Rumah saya juga biasa saja, tapi insyaallah nyaman dan bersih, Pak." Fadhil merendah.

"Tidak, Nak. Mess ini sudah sangat layak. Lagipula besok saya masih harus kerja. Terimakasih kamu sudah memberi tempat tinggal yang nyaman dan bersih untuk Kesya dan teman-temannya. Kesya sudah cerita, selama di sini dia sering dibantu oleh kamu dan ibumu."

"Sudah menjadi tugas saya, Pak. Selaku kepala desa di sini. Untuk menyediakan tempat tinggal yang layak untuk anak-anak."

Fadhil menyerahkan banyak oleh-oleh kepada orang tua Kesya, bahkan dia membantu memasukkannya ke bagasi.

"Banyak sekali, Nak." Tari terlihat amat gembira, lumayan juga buat dibagi ke tetangga. Nanti di jalan tidak perlu lagi mampir ke pusat oleh-oleh.

"Ini oleh-oleh dari desa kami, produksi lokal dari warga kami. Sudah tersedia di toko oleh-oleh dan market place seperti Syopi dan Lajada. Karena desa kami tidak ada listrik, semuanya dikelola koperasi di kota. Setiap Minggu selalu dikirim ke sana. Insyaallah produk kami selalu fresh, juga dijamin halal."

Kesya tercengang karena pak kades mempromosikan produk warganya dengan lancar. Seperti sales di mall-mall.

Oleh-oleh dari pak kades berupa keripik kulit, peuyeum, dodol dan juga roti Unyil. Ada juga kue burayot buatan ibunya pak kades.

"Ibumu di rumah, Nak? Kami mau berpamitan." Tari terlihat antusias. Sekalian kenalan dengan calon besan.

"Kebetulan Ibu sedang ada acara di kampung sebelah, Bu." Fadhil menjawab.

"Oh, begitu. Kalau begitu sampaikan salam kami, ya."

"Insyaallah, Bu."

Akhirnya orang tua Kesya benar-benar meninggalkan kampung itu diiringi deraian air mata dari Kesya.

"Jangan nangis. Di sini 'kan Dek Kesya juga punya ibu. Ibu saya, ibu Dek Kesya juga."

Kesya menghentikan tangisannya. Aneh mendengar ucapan pak kades.

***

Tristan kembali mendatangi Kesya setelah orang tua Kesya membatalkan pertunangan mereka. Pak kades menghalangi Tristan untuk bertemu Kesya.

"Apa tujuan Anda datang ke desa ini lagi? Kalau hanya untuk membuat keributan, sebaiknya Anda pergi."

"Saya tidak ada urusan dengan warga desa ini. Saya hanya punya urusan dengan Kesya." Tristan menjawab angkuh.

"Selama Kesya di sini, dia juga merupakan warga saya. Keselamatan Kesya merupakan tanggung jawab saya."

Tristan jelas sakit hati dan tersinggung mendengar penjelasan pak kades, walaupun diucapkan dengan sopan.

"Anda pikir Kesya akan saya apakan?"

Dari kejauhan, Kesya dan Tiara yang baru saja jajan cuanki, melihat kegaduhan yang ditimbulkan Tristan. Pria itu bahkan sampai menunjuk-nunjuk wajah pak kades.

Tanpa banyak pikir, Kesya segera mendekat.

"Kesya!" Tristan senang melihat Kesya datang. Pria itu segera pergi dari hadapan pak kades.

"Dek Kesya perlu bantuan?" tanya Pak kades.

Kesya menggeleng. "Terimakasih, Pak. Sementara ini tidak perlu. Kami akan menyelesaikan masalah kami sendiri."

Kesya ngeri kalau sampai pak kades ikut campur, Tristan akan menghajarnya seperti Ganta tempo hari. Kesya tidak tau pak kades bisa bela diri atau tidak.

"Tapi saya bertanggung jawab terhadap keselamatan Dek Kesya. Bahkan orang tua Dek Kesya sendiri yang menitipkan."

"Nanti, kalau saya perlu bantuan, akan saya kabari."

Akhirnya pak kades hanya bisa mengijinkan Kesya pergi bersama Tristan.

"Kakak ngapain kesini lagi?" Kesya menarik tangan Tristan agak menjauh dari kerumunan. Semua itu tidak luput dari pengamatan pak kades.

"Aku kesini mau minta kejelasan, Sya. Kenapa orang tuamu tiba-tiba membatalkan pertunangan kita? Padahal kemarin mereka setuju pernikahan kita dipercepat."

"Kenapa Kakak menanyakan hal yang sudah jelas? Kak, jangan mencari masalah lagi di desa ini. Tempo hari Kakak menghajar Ganta sampai babak belur. Kalau aku tidak memohon kepada pak kades, Kakak pasti sudah masuk penjara."

"Kamu melakukan itu demi aku, Sya?" Tristan merasa sangat tersanjung karena Kesya masih perhatian kepadanya.

"Aku melakukan itu demi mama Amira. Aku nggak mau beliau syok kalau Kakak sampai kenapa-kenapa." Kesya mengelak.

"Ayo kita menikah, Sya. Kita akan membuka lembaran baru di Singapura. Cuma aku dan kamu. Kita akan bahagia."

"Kak, bagaimana kamu bisa merencanakan hidup bahagia dengan aku, sementara kamu punya anak yang terlantar? Gimana aku bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?"

Tristan diam. Sebenarnya ia juga kepikiran dengan anak yang dikandung Cyintia.

"Kamu harus bertanggung jawab, Kak. Anak itu nggak salah, nggak seharusnya dia terlantar. Aku tau kamu orang baik. Kamu nggak akan tega melakukan itu kepada darah daging kamu sendiri." Kesya masih berusaha membujuk Tristan.

"Aku akan membiayai anak itu, Sya. Aku akan tetap tangguh jawab." Tristan berjanji.

"Kak, yang diperlukan seorang anak tidak hanya materi, tapi juga kasih sayang dari keluarga yang utuh. Kakak nikahi Cyintia. Demi aku."

"Sebenarnya aku tidak yakin kalau itu anakku, Sya. Selama ini aku selalu safety, nggak mungkin aku seceroboh itu, yang dikandung Cyintia pasti anak orang lain."

Wajah Kesya memerah mendengar penjelasan Tristan yang terkesan vulgar.

"Kakak tidak usah beralasan lagi. Kalau memang Kakak ragu, Kakak bisa melakukan tes DNA."

Akhirnya Tristan tidak bisa berkata apa-apa. Kesya sudah tidak mau memberinya kesempatan, apalagi keluarga Kesya juga sudah membatalkan pertunangan mereka. Tapi Tristan masih berterima kasih kepada Kesya, karena tidak membongkar perbuatannya di depan orang tuanya.

***

Ada yang bocor tapi bukan genteng 🤭

KKN (Kuliah kerja Nikah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang