4

515 29 0
                                    

Tiara dan Kesya yang bau asem karena gagal mandi, segera menghambur keluar. Rupanya di luar sudah menunggu pak kades dan juga dua orang suruhannya, pemuda kampung setempat, namanya Asep dan Ucup.

Kedua pemuda itu diperintahkan pak kades untuk memasang genset dan juga pompa air.

"Alhamdulillah, Pak. Saya udah kepikiran aja, gimana nanti malam kalau nggak ada listrik."

Tiara mengucapkan terimakasih bertubi-tubi kepada Pak kades. Tiara amat bersyukur ada listrik di rumah ini, paling tidak dia bisa mengisi daya ponselnya. Hidup tanpa ponsel sungguh sangat hampa, walaupun tidak ada signal paling tidak bisa nyetel musik.

Pak kades tersenyum mendengar ucapan teman Kesya itu. Ucapan terima kasih Tiara memang agak berlebihan, seolah dirinya dewa listrik saja.

"Kalau bisa sekalian tower selulernya juga, Pak. Supaya saya bisa ngedrakor hehe ...."

Kesya segera mencubit pinggang Tiara sambil berbisik. "Jangan ngelunjak lo."

Pak kades tersenyum lagi, "maaf, ya. Kalau itu diluar kuasa saya."

"Nggak papa, Pak. Ini saja kami udah bersyukur banget kok." Kesya mengucapkan terimakasih lagi.

Pak kades mengeluarkan sesuatu dari mobil Jeepnya, sebuah bungkusan yang isinya makanan juga cemilan. Bahkan kipas angin dan obat nyamuk juga.

"Buatan ibu saya. Lumayan buat cemilan kalau malam-malam." Pak kades mengulurkannya kepada Kesya, tapi Tiara yang menerima.

"Wah, makasih banget, Pak." Tiara melirik Kesya sekilas. "Bapak perhatian banget sama kami."

Kesya tersenyum kaku mendengar sindiran Tiara. "Nanti kita makan sama-sama ya, Tiara."

Setelah satu jam, pekerjaan memasang genset dan pompa air pun selesai. Pak kades pun berpamitan.

"Kalau kalian butuh apa-apa jangan sungkan bilang ke saya." Pesan pak kades.

"Nomor WA nya, Pak?" Tiara siap-siap mengeluarkan ponselnya.

"Karena di sini nggak ada signal, bilang saja ke Asep, rumahnya sebelah sana. Nanti disampaikan ke saya." Pak kades menunjuk rumah Asep yang berjarak tiga rumah dari mess Kesya dan kawan-kawannya.

"Terimakasih, Pak. Maaf sudah merepotkan." Keisya merasa amat sungkan kepada pak kades.

"Tidak repot, Dek Kesya." Pak kades tersenyum kepada Kesya. Semuanya tak luput dari pengamatan Tiara.

Setelah pak kades benar-benar pergi, Asep baru buka suara. "Teteh mah enak, jaman dulu mana ada anak KKN dikasih genset segala. Kayaknya pak kades naksir salah satu diantara kalian ...."

"Dia, Kang!" Tiara langsung menunjuk ke arah Kesya.

***

Malam harinya, keempat gadis KKN berkumpul di kamar Kesya dan Tiara. Mereka memakan cemilan buatan ibunya pak kades, ada juga makanan berat berupa ayam panggang.

"Enak juga ya kalau punya teman 'kanyaah' pak kades. Full fasilitas ...." Tiara buka suara. Kanyaah dalam bahasa Sunda artinya kesayangan.

Ivana dan Irma menghentikan suapannya.  "Tapi kami udah nikah." Ucap mereka berbarengan.

"Bukan kalian. Tapi dia ...." Tiara menunjuk Kesya yang sedang asyik makan kue burayot menggunakan lirikan matanya.

"Oh ...." Irma dan Ivana menjawab berbarengan, lagi.

"Apaan, sih? Pak kades mah emang baik. Nggak ada niatan apa-apa. Orang dia udah tau kalau gue udah punya tunangan." Kesya membela pak kades Ji Chang Wook, sekalian membela dirinya sendiri.

"Iyain gaes." Tiara berbicara kepada Ivana dan Irma.

"Sayang banget, Kesya. Padahal pak kades itu ganteng loh." Irma berkata serius.

"Helo ... Tunangan gue juga ganteng." Kesya menyombongkan diri.

"Mana keluarganya kaya raya, sawah di depan itu, punya bapaknya semua. Kebonnya juga banyak, ada kebon cengkeh, kebon singkong, kebon pisang ...." Irma menambahkan, seolah ia adalah 'bobotoh' nya pak kades.

"Kok lo tau?" tanya Ivana heran.

"Asep yang cerita. Tapi dia duda, sih ...." Irma berkata pelan.

"Hah?" Tiara dan Kesya kontan kaget.

***

Duda mah ga papa, emang kenapa, sih ... 👉👈

KKN (Kuliah kerja Nikah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang