"Rumah. Tempat yang akan menerimamu apa adanya. Menjadi tempat berlindung dan menyusun rencana untuk bertahan hidup. Jika tak punya rumah, itu artinya kamu yang harus sukses dan membangun rumah impian tersebut dengan tanganmu."
༄࿐ ༄࿐ ༄࿐
Matahari sudah bersinar. Langit malam sudah tergantikan dengan pagi yang cerah. Si merah jantan pun sudah berkokok berkali-kali, bahkan sepertinya sekarang ia sudah pergi beristirahat. Kembali ke kandang.
Saat itu pula Amran akhirnya tiba di depan gerbang rumahnya.
Pukul 07.48.
Amran berhenti sejenak. Menunda niatnya untuk keluar dari mobil dan membuka gerbang.
"Huh." Dada Amran terasa sesak sekali.
Orang-orang di rumah belum menyadari kedatangan Amran. Halaman hingga teras rumah tampak sepi. Semua anggota keluarga mungkin sedang di dalam dan menikmati sarapan bersama-sama.
Amran menyenderkan kepalanya pada kaca mobil. Menatap kosong. Sesekali mengusap kepada dengan frustasi.
"Aku harus tenangkan diri. Jangan sampai ada yang sadar, kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak mau jika ayah dan bunda tahu semua yang telah terjadi semalam. Cukup. Cukup aku yang menanggung semua ini."
"Dalam semalam."
Ya. Hanya dalam semalam. Semua terjadi begitu cepat. Seolah waktu pun tak membiarkan Amran untuk mencerna semua kejadian. Jangankan untuk melawan, untuk menghindari pun tak bisa.
Takdir?
Amran lalu mencari-cari botol airnya, yang ia dapat dari Zaki kemarin hari. Berniat ingin membasuh muka agar lebih segar.
"Yah! Botol airnya tidak ada. Sudah diambilkan ibu baik semalam."
Amran ingat pada ibu baik, yang sempat berusaha melindunginya dari si pemuda serba hitam. Namun Amran tidak ingat apakah ia ada meminum air dari botol itu atau tidak, dan entahlah di mana keberadaannya sekarang.
"Andai ibu baik itu berhasil, mungkin, semua tak akan terjadi begitu rumit dan menghancurkan. Andai? Pantaskah manusia berandai-andai?"
"Huh."
Amran akhirnya mencoba melakukan terapi ringan. Menetralisir tegangan dalam raganya.
Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembusnya dengan kuat ke arah sebelah kiri. Hembus yang kuat seperti seseorang yang akan meludah. Ia lakukan itu sebanyak tiga kali. Lalu dilanjut dengan beristigfar berkali-kali.
Alhamdulillah. Ini sedikit membantu. Debaran tak nyaman di dadanya sedikit mereda.
Amran lalu menoleh ke arah gerbang rumahnya. Ia tersenyum. Menatap bangunan yang menjadi tempat ia hidup, berlindung, dan dididik selama ini oleh kedua orangtua yang sangat menyayanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Layu
Mystery / Thriller🥀🥀🥀 Malam itu terjadi begitu saja. Kecelakaan besar yang datang dengan ganas dan merampas nyawa perempuan yang selama ini Amran cintai dalam diam. Andai kecelakaan itu tidak terjadi, maka seharusnya besok adalah hari bahagia di mana ia akhirnya a...