30. Permintaan Bunda

1 1 0
                                    

Membiarkan luka-luka terbasuh air mata. Biarkan gejolak terpendam keluar dengan lepas.

Menangis tidak bermakna akan kelemahan. Karena air mata juga bisa menjadi simbol pada kehidupan positif. Ketika seseorang yang menangis bahagia, menangis terharu, bahkan saat ia menangis karena sedih atau kesakitan. Ialah bagaikan rasa akan ketulusan hati, begitu pula tentang validasi rasa.

Amran duduk termenung di atas ranjangnya. Tatapannya kosong, bersamaan dengan isi kepalanya yang ribut. Tapi bukan ribut berargumen, melainkan karena ribuan pertanyaan yang tak kunjung ia temu jawaban.

"Menikah?"

Amran menghembus kasar napasnya.

"Mungkinkah?"

Amran memejamkan matanya, pun, mendaratkan tangannya menopang di atas dahi. Seketika pembicaraannya dengan Bunda beberapa hari lalu tereka ulang di kepalanya.

"R-rencana? Pernikahan?" Amran bingung harus bereaksi bagaimana dengan pertanyaan Bunda-yang mana kali ini tampaknya lebih serius dari biasanya.

"Amran. Bunda gak akan paksa Amran untuk menikah. Itu kebebasanmu untuk memilih, Nak. Tapi, bolehkan kalau Bunda tanya? Siapa tau, kan, mungkin Amran sudah ada rencana, atau calon mungkin, atau sekedar memikirkan sedikit akan hal itu?"

"Gak ada, Bun. Amran belum ada kepikiran ke arah situ."

"Boleh Bunda tau kenapa?"

"Hmm gak ada sih, Bun. Amran merasa belum siap aja untuk menjadi seorang suami, seorang ayah. Amran sepertinya belum sanggup memikul tanggung jawab sebesar itu. Menjadi kepala keluarga."

"Sepertinya, kan? Berarti ada kemungkinan mampu?"

Amran terdiam.

"Boleh Bunda tahu? Kira-kira, di aspek mana yang Amran merasa belum sanggup dan belum pantas?"

"Gak tau, Bun. Amran juga bingung. Tapi, rasanya Amran gak akan bisa jadi suami dan ayah yang sebaik Ayah."

"Ya memang gak akan bisa, Nak! Kamu gak akan jadi sebaik Ayah, tapi Amran akan jadi seseorang yang terbaik dari versi diri Amran sendiri."

Bunda menatap putranya lekat. Berusaha menelusuri, mencari-cari firasat semu akan apa yang sedang putranya ini rasakan. Menerka-nerka, apakah ini saat yang tepat untuk menyampaikan hal ini.

"Maaf, Sayang. Bunda minta maaf kalau apa yang akan Bunda sampaikan ini, mungkin saja membebani Amran nantinya."

"Gak! Gak Bunda! Bunda gak perlu minta maaf, dan Bunda gak perlu merasa gak enak begitu. Bunda sampaikan saja. Amran gak akan merasa terbebani sedikit pun."

Wanita paruh baya itu tersenyum. Mendengar bagaimana lantang dan pasti suara berbakti putranya itu. Setiap hari Bunda Anum akan bersyukur karena memiliki putra seperti Amran.

"Bunda gak tau hal ini datang atas dasar apa. Entahlah ini hanya keinginan biasa, atau apa. Bunda gak tau, Nak. Bunda..."

Amran menantu lanjutannya.

"... berharap Amran bisa mulai mencari pasangan hidup."

Diam. Sunyi menyeruak beberapa saat.

Hening.

Amran berusaha mencerna apa yang harus dia lakukan sekarang.

"P-pasangan?"

"Bunda berharap bisa lihat siapa gadis yang Abang pilih untuk kelak menjadi istri. Bunda mau lihat bagaimana gadis yang akan menemani kehidupan Anak Bunda ini dalam atap pernikahan nantinya."

"Bunda. Tentu Bunda akan melihat semua itu, dan penilaian serta persetujuan Bunda adalah yang paling penting untuk Amran memilih pasangan."

"Gak, Bang. Gak harus sesuai sama Bunda kok. Kan, Abang yang akan menjalani kehidupan pernikahan itu nanti, jadi ya, harus sesuai dengan Abang dan gadis tersebut. Asalkan baik secara agama, Bunda pasti merestui."

"Bunda. Siapa pun perempuan itu nantinya, yang pasti, Bunda akan ikut berperan dalam Amran menemukan calon pasangan yang baik. Gak mungkin Bunda gak ikut serta, Bun!"

"T-tapi, kalau nanti umur Bunda..."

Tak sampai menyelesaikan ucapannya. Tiba-tiba Amran spontan memelukmu Bunda Anum.

"G-gak! Gak Bunda! Bunda gak boleh berpikir seperti itu. Bunda akan baik-baik aja! Bunda akan selalu ada bersama Amran."

Getir. Bunda membalas pelukan erat putranya.

"Nak."

Bunda melerai pelukan tersebut.

"Umur, jodoh, rezeki, semua yang terjadi di dunia itu atas kehendak Allah Ta'ala. Kita gak ada yang tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Jangankan besok, untuk detik setelah detik ini pun, itu hanya Allah Ta'ala yang tau. Kita hanya makhluk lemah, Nak, yang tak punya kehendak bahkan atas diri kita sendiri."

Bunda menangkup wajah Amran. "Bunda tidak memaksa, tapi, kalau Amran tidak keberatan, Bunda rasa sudah saatnya Amran mulai memilih gadis mana dan seperti apa yang ingin Amran nikahi kelak. Semoga saja, saat gadis itu terpilih dengan hati Amran, semoga saja Bunda bisa melihat gadis rupawan itu."

Ucapan Bunda malam itu terbayang-bayang terus di kepala Amran. Bahkan hingga malam ini.

Amran menatap langit-langit kamarnya.

"Menikah?" Ia terus bergumam pada kata itu.

Bertanya-tanya pada dirinya apakah ia akan mampu melakukan ibadah seumur hidup itu. Yang terpenting adalah, bagimana ia akan memperlakukan keluarganya nanti. Amran tak ingin salah langkah dan menzalimi keluarganya kelak.

"Apakah aku bisa menikah?"

"Apakah aku akan bisa membuka hati lagi?"

"A-apakah aku bisa mencintai seseorang lagi?"

Luka-luka lama itu masih meninggalkan nyeri. Bekas yang entahlah kapan akan pulih. Amran sudah, dan selalu berusaha untuk tidak mengenang perasaannya pada Ifa.

Ya. Gadis yang masih-pernah-ia cintai beberapa tahun lalu. Gadis yang membuatnya terluka begitu dalam saat kepergiannya, membuatnya terus dikekang rasa sesal karena terlambat mengungkapkan perasaan. Membuatnya kalap, hilang kesadaran saat menyaksikan secara langsung bagaimana darahnya tumpah di atas jalanan aspal di bawah hujan malam itu, membuatnya tak sadar bahkan saat seorang penjahat menjebaknya pada sebuah maksiat laknat. Gadis yang membuatnya di setiap tahun masih mengunjungi kotanya untuk merasakan percaya mati rasa di Festival Topeng.

Lathiful Khaira. Seorang gadis yang membuatnya lupa bagaimana rasanya jatuh cinta, atau mungkin, membuatnya takut untuk mulai mencintai lagi. Entahlah.

"Apakah aku bisa mencintai istriku kelak setelah semua mati rasa ini?"

"A-aku takut, malah akan menyiksanya. Aku takut jika ternyata aku belum selesai dengan masa laluku, dan mungkin tidak tau kapan akan benar-benar selesai."

Amran memejamkan matanya kuat-kuat. Bukan tidur, hanya berusaha menyalurkan gundah kebingungan di perasaannya.

Di satu sisi ia takut, merasa belum siap secara lahir dan batin untuk memulai sebuah hubungan menuju pernikahan. Namun pula di sisi lain ia merasa firasat dan keinginan Bunda adalah sesuatu pertanda. Seolah ini adalah sinyal takdir untuk dirinya. Bagai sebuah sinyal yang tak boleh ditepis begitu saja.

Manusia terlalu lemah, bahkan untuk sekadar memikirkan urusan hidupnya sendiri.

Amran butuh salat.

Sebagaimana pula, seorang hamba itu harus berserah dan berdoa pada Sang Maha Penciptanya. Karena hanya Dia Yang Maha Kuasa, sebaik-baik dan satu-satunya pemberi skenario kehidupan ini.

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang