28. A Simple Happiness Thing

1 1 0
                                    

Hari berganti. Malam-malam gelap telah pergi. Mendatangkan mentari indah untuk harapan kehidupan di belahan bumi ini.

Hari ini cerah. Entahlah karena matahari yang bersinar bersama langit berawan di sekelilingnya, atau karena kebahagiaan di hati insan yang beraktivitas di atas tanah.

Senyum terbit sangat lebar, setidaknya di wajah keluarga Ayah Daud.

"Nak, jangan lupa periksa laci juga ya. Takut ada barang yang tertinggal," titah Ayah. Filza pun sigap melaksanakan perintah Ayah.

Hari ini. Bunda akhirnya bisa pulang setelah tiga hari Bunda dirawat di rumah sakit. Badan Bunda sudah terasa lebih segar hari ini. Otot dan sendi pun terasa lebih nyaman bergerak. Apalagi saat tadi pagi dokter mengatakan bahwa Bunda sudah boleh pulang. Rasanya semua sakit itu langsung pindah dari badan.

Selama tiga hari ini sudah tak terhitung berapa kali Bunda mengeluh tak betah di rumah sakit. Bunda bosan. Yang biasanya sibuk berkegiatan bebas, belanja ke pasar, arisan bersama ibu-ibu lainnya. Malah harus terkurung di kamar rumah sakit dengan infus lekat di tangannya.

"Alhamdulillah, akhirnya bunda lepas dari kurungan." Bunda duduk di ranjang, namun kali ini sudah tak dikekang infus lagi.

"Bunda, bukan dikurung, ya. Tapi berobat."

"Ya sama aja, Yah. Bunda gak bisa ke mana-mana. Tiduran doang, makan, bahkan sholat aja harus sambil baring. Mana pagi siang malam disuntik lagi!"

Amran terkekeh kecil melihat kedua orangtuanya yang berdebat kecil. Ayah akhirnya pun mengalah dengan argumen Bunda. Karena sejak kemarin-kemarin pun, Ayah sudah mengalah, walaupun tetap berulang kali tetap menyanggah ucapan Bunda yang merasa dikurung seperti burung selama di rumah sakit.

Bahkan selama ini pun, Ayah selalu mengalah. Ayah menjalankan posisinya sebagai kepala rumah tangga yang baik. Kepala rumah tangga yang harus membimbing keluarganya, tanpa pernah melukai hati keluarganya. Apalagi dengan Bunda. Ayah sangat menyayangi Bunda.

Amran tersenyum sendiri, membayangkan betapa manisnya hubungan kedua orangtuanya.

"Suatu hari nanti, istriku harus merasakan apa hal yang sama seperti yang Bunda rasakan."

Amran terkekeh dengan isi kepalanya. Spontan ia menggeleng-geleng.

"Istri? Menikah? Mungkinkah?"

Si bujang malas pusing, apalagi dengan hal yang belum ia rencanakan lagi setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Amran memilih fokus melanjutkan melipat pakaian mereka semua ke dalam tas ransel.

"Beres!" serunya. Ransel yang kenyang dengan pakaian itu pun ia letakkan di dekat pintu.

"Barang-barang lain juga udah beres, nih. Udah Filza cek semuanya, gak ada yang tertinggal." Gadis itu berujar sambil mengacungkan jempol.

"Oke." Ayah mengangguk. Beliau mengedarkan pandangan, sampai akhirnya berhenti pada sosok wanita yang ia cintai. "Ayo, Bunda. Kita pulang." Keduanya saling berbalas senyum. Membuat putra dan putri mereka yang ada di sana pun terabaikan. Amran dan Filza pun spontan ikut senyum-senyum.

"Ekhem." Amran berdehem.

"Bang!" panggil Filza.

"Hm?" Amran mendelik, sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Bang, kayaknya kita gak diajak pulang deh?" Filza pura-pura curi pandang dengan Ayah dan Bunda.

"Iya, ni, Dek. Gimana ya kita? Apa cari rumah baru?"

"Boleh juga tu, Bang. Aduh sayang banget ya kita, gak diajak pulang."

Gadis itu pintar sekali berakting jail seperti ini. Memasang wajah sok lesu, pun mengusap matanya yang kering tak ada air mata. Oh, ya! Jangan lupakan senyum jail dari kedua bersaudara itu.

"Iri aja liat orang pacaran!" Bukannya meladeni anak-anaknya, Ayah lebih memilih menghampiri istri tercintanya.

"Istriku, ayo kita pulang. Biarkan anak-anak jomblo itu." Ayah menyodorkan tangan.

Bunda pun tertawa, tampaknya agak malu-malu. Walau akhirnya tetap menyambut tangan suaminya. Pipi merona Bunda pun tak bisa disembunyikan lagi.

"Oke. Kepada pasangan halal, selamat berpacaran."

Tak lagi lanjut usil. Kini dua bersaudara memilih mengangkat semua barang-barang mereka menuju mobil yang ada di parkiran. Membiarkan kedua orangtua mereka beromantis di belakang.

Urusan administrasi pun sudah beres. Sudah Amran urus semuanya tadi. Sekarang tinggal mereka yang meninggal bangunan bernama rumah sakit ini.

"Nih, Bang. Huh!"

Filza menyerahkan pada Amran tas yang ia bawa. Untuk disimpan si bagasi mobil. Gadis itu pun berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Capek ya, Dek?" tanya Amran setelah menyusun barang dan menutup bagasi.

"Iya, Bang. Tapi..." Filza tak menghabiskan ucapannya. Ia lalu tersenyum. Matanya kini beralih seolah memberi isyarat pada abangnya untuk melihat adegan yang ada tak jauh di sana-ada di seberang jalan menuju area parkiran rumah sakit.

Amran yang menangkap maksud Filza pun ikut tersenyum.

"Adek gak masalah capek, Bang. Asalkan Ayah dan Bunda bahagia. Selalu tersenyum seperti itu."

Amran dan Filza berdiri setengah bersandar pada mobil. Menatap kedua orangtua mereka yang tampak mesra sekali di sana.

Telaten. Tampak Ayah menggenggam tangan Bunda sangat erat. Membawa Bunda menyebrang dengan sangat hati-hati. Entahlah apa yang mereka bicarakan, sampai-sampai terus tersenyum dan tertawa bahagia selama berjalan menuju parkiran.

"Iya. Apa pun, asal Ayah dan Bunda bahagia."

Amran lalu menoleh pada adiknya, yang masih asik menonton kemesraan pasangan halal itu.

"Udah, jangan ketahuan banget lagi ngeliat. Ntar Bunda malu lagi, kayak di kamar rumah sakit tadi hahaha." Filza pun ikut terkekeh mendengar ucapan Amran.

"Filza."

"Hm?" Si adik menoleh pada abangnya-yang ternyata sedang menatapnya usil.

"Apaan? Kenapa liat Filza begitu?"

"Nikah, gih! Biar gak jomblo."
Tak menjawab, Filza memilih langsung melempar bogeman ke lengan abangnya.

"Enak aja!" Amran pun tertawa karena berhasil mengganggu adik kecil yang sudah tak kecil.

Amran lalu bersiap membuka pintu untuk Bunda. Pasangan romantis itu sudah tiba ke mobil.

"Silakan, Bunda Cantik."

Bunda tersenyum. "Terima kasih, Bang."

Setelah Bunda masuk ke mobil, lalu semuanya juga menyusul masuk. Amran yang menyetir, Filza duduk di sebelah, sedangkan Ayah duduk di belakang bersama kekasihnya.

Tak henti-henti menggenggam tangan Bunda, bahkan sesekali mereka terkekeh kecil dengan obrolan yang tak terdengar ke depan.

Filza pun menoleh ke belakang. Tentu saja ia penasaran dengan apa yang diobrolin dua orang di jok belakang.

"Aduh, Ayah, Bunda. Pegangan terus, kayak mau nyebrang aja nih!"

~~~

Toktok.

Terdengar ketukan dari balik pintu kamar.

Amran yang baru saja selesai menyimpan sajadahnya, pun, langsung balik lagi untuk membuka pintu kamarnya. Ia baru saja pulang menunaikan salat isya berjamaah di masjid.

"Amran."

Terdengar samar suara panggilan itu.

"Sepertinya suara Bunda," gumam Amran.

"Bunda?" Benar saja. Ia langsung menemukan senyuman teduh Bunda Tersayang di balik pintu.

"Abang, bunda mau bicara sebentar, boleh?"



Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang