7. Bersama Rumah

2 1 0
                                    

"Hidup itu komplikasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hidup itu komplikasi. Ada bagian senang tapi ada juga bagian sedih. Suka, suka, senyuman, tangisan, semua itu wajar. Kembali lagi terhadap bagaimana si pemilik tubuh yang perasa mau menanggapi. Menikmati? Meraung? Berpasrah acuh? Atau berusaha dengan tenaga dan berdoa dengan lemah? Semua tentang pilihan."

༄࿐ ༄࿐ ༄࿐


Setelah sarapan dan kegiatan minum teh di ruang keluarga. Sekarang semuanya sudah berpencar ke kamar masing-masing, atau melanjutkan kegiatan pribadinya sendiri-sendiri. Pun, Amran yang langsung masuk ke kamar dan mandi bersih-bersih diri. Hendak mengganti seperangkat pakaian yang tadi diberikan oleh si bapak baik.

Amran menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum. Hingga ia melihat wajah yang biasa orang sebut dengan tampang kebahagiaan. Membuatnya getir, mengingat ia baru saja menimpa musibah. Orang-orang memandang hidupnya sempurna, dan hari ini satu luka besar sudah membersamai julukan sempurna itu.

Amran menatap pakaian yang ia pakai. "Aku akan simpan baju dan sarung ini baik-baik. Semoga, suatu hari aku bisa bertemu bapak itu lagi," ujarnya.

Amran lalu bergegas ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Mandi, menciptakan rasa bersih dan nyaman dari siraman air dingin.

Amran sendirian di kamarnya. Tidak ada yang tahu apapun yang terjadi di sana. Tidak ada yang tahu akan dampak sinyal tubuh yang masih Amran rasakan, apalagi saat ia sedang sendirian. Bahkan tidak mereda, seolah malah makin menjadi-jadi. Namun Amran berusaha mengontrol tekanan lara pada dirinya.

Usai mandi-dan meredam efek tubuhnya-Amran lalu keluar dari kamar. Tidak ada tujuan pasti. Hanya mau keluar. Lalu ia mencari-cari rakyat lain di rumah ini.

Riuh pun terdengar samar dari arah dapur. Seperti dentingan antara piring dan piring, bersahut-sahut dengan bunyi percikan air.

Mendengar suara-suara tersebut dari dapur pun sontak membuatnya tertarik untuk mengecek ke sana.

"Filza?"

Ternyata itu ulah adiknya yang sedang mencuci piring kotor.

Yang dipanggil pun spontan menoleh. "Iya, Abang. Kenapa?"

"Dek, kamu cuci piring, atau lagi ngadain simulasi perang dunia? Berisik amat!"

"Abang!" kesal Filza. Ia kembali berbalik badan dan melanjutkan pekerjaannya.

"Serius abang tanya! Suara tang-ting-tang-ting piring cucian kamu udah kayak suara adu pedang. Kirain apaan tadi."

Filza menoleh lagi, memperlihatkan wajah cemberut. Membuat si abang terkekeh gemas. Berhasil menggoda adik kecilnya, yang sudah tidak sekecil dulu.

"Bisa, kali, pelan-pelan aja nyuci piringnya. Ntar pecah, tangan Filza juga yang luka," ujar Amran, ia pun berlalu di belakang adiknya, menuju lemari pendingin yang tepat ada di samping wastafel dapur. Meraih sebuah botol air dingin, lalu menuangnya di gelas yang dia ambil dari rak. Meneguk airnya dengan nikmat.

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang