Hari akan terus berganti. Memberi ruang untuk bergerak menuju hari berikutnya. Memberi banyak kenangan indah pada mereka yang bersyukur, pun, segala kikuk tegangan pada mereka yang tak pernah merasa cukup.
"Huh. Lelah," gumam Amran. Ia menatap tumpukan dokumen soft file di laptopnya.
"Tapi aku menikmati lelah ini." Pria itu bangkit dari meja kerjanya, pergi ke luar kamar.
Bragh.
"Eh?"
Amran menoleh pada suara tubrukan. Ada sesuatu yang terjatuh dari rak di dekat ranjang, dan setelah ia lihat ternyata itu adalah salah satu buku catatannya. Sebuah buku bersampul kertas keras, berwarna cokelat, dengan beberapa sketsa asal di belakangnya.
Dalam kesunyian bilik, Amran pun duduk sebentar sambil membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Melupakan rencana awalnya yang mau ke luar kamar. Ia sapu debu halus yang mengerubungi si buku, memastikannya sudah bersih.
Lembar demi lembar ia buka. Halaman pertama, belum ia temukan catatan pelajaran. Hanya ada beberapa resep makanan yang mungkin Amran dapatkan waktu itu. Mungkin spontan menulisnya, dan berencana memasaknya meski harus mengalami trial error beberapa kali., untuk jadi ide menu baru di toko kuenya.
"Namanya saja yang toko kue, tapi kalo ada pesanan makanan berat atau lainnya, pasti tetap aku ambil." Amran terkekeh. Nostalgia bagaimana gigihnya ia saat masa-masa pengembangan bisnisnya.
Ia buka lagi lembar-lembar berikutnya. Belum menemukan catatan atau resume mata kuliah. Ia malah menemukan kata-kata mutiara. Mungkin saat itu sedang demam puitisasi? Entahlah.
Dunia itu seperti batu. Ada bagian permukaannya yang halus, juga ada yang kasar. Dunia itu juga keras, tapi tetap bisa dipecah, bahkan dengan tetesan-tetesan air. Namun poinnya bukanlah hanya pada tetesan air, tapi pada konsistensi.
Batu memang bisa terbelah dengan sekali hantaman ombak besar, namun bukan hanya terbelah, ia pun akan hancur. Berbeda dengan tetesan air-air kecil, yanh turun dengan perlahan dan konsisten. Batu itu akan terbelah, tapi tidak hancur berkeping.
Perlahan-lahan, jangan hancurkan duniamu dengan ombak ekspektasi. Bentuklah impian dalam realita yang nyata, dengan tindakan-tindakan kecil yang konsisten.
"Ternyata isi kepalaku bijak juga ya." Ia tertawa geli. Masih banyak paragraf-paragraf sajak yang asal Amran tulis di sana.
Baru setelah beberapa lembar itu, ia menemukan resume catatannya.
"Buka serbaguna, kah, ini?"
Amran merasa cukup nostalgianya. Ia hendak menyimpan buku itu ke rak kembali.
"ABANG!"
"AMRAN!"
Sontak ia terlonjak mendengar teriakan Filza dan ayah yang bersahutan memanggilnya. Suara mereka panik, dan tentunya tak kalah memberi sinyal panik pada Amran yang mendengar dari kamar.
"Astaghfirullah, ada apa?!"
Amran segera ke luar, dan ... mendapati alasan mengapa Filza dan ayah panik.
"Bunda!"
Betapa kelunya tubuh, kaku hampir melepuh semu. Saat ia melihat Bunda yang tersungkur lemah di sebelah kursi sofa, dengan Ayah dan Filza di sebelah Bunda. Amran hampir lupa cara bernapas saat ia pun menghampiri Bunda yang melemah.
"Bang, cepat hidupkan mobil! Kita bawa Bunda ke rumah sakit sekarang." Tak ada respon atau bantahan. Amran langsung sigap melakukan perintah Ayah.
"Filza! Ambilkan jilbab Bunda di kamar, sekalian kemas beberapa baju ke dalam tas. Apa saja!" Pun, Filza bergegas bangun dan melakukan perintah Ayah.
"Anum," panggil pria paruh baya itu pada wanitanya. "Ayo, kita ke rumah sakit, ya. Bertahan, Istriku." Ayah segera memapah wanita yang sangat ia cintai itu. Filza belum datang membawakan jilbab, jadi Ayah Daud mengambil kain batik milik Bunda yang ada di sofa, mungkin Bunda membawanya tadi.
Ayah Daud lalu menutup kepala wanitanya seperti memakaikan kerudung walau tanpa jarum.Si luar. Amran sudah siap dengan mobilnya. Segera ia membukakan pintu saat Ayah datang memapah Bunda. Tangan Amran refleks bergetar. Panik.
Semuanya panik. Apalagi Ayah dan Filza yang tadi melihat Bunda terjatuh saat hendak bangun dari sofa.
Tak lama kemudian Filza pun datang. Ayah memintanya untuk mengunci pintu rumah.
"Ini, Yah. Udah Filza kunci." Ayah meraih kunci yang putrinya berikan.
"Filza duduk di depan sama Abang, biar Ayah yang jagain Bunda."
Sigap. Semuanya segera masuk ke mobil. Amran segera melajukan kendaraan beroda empat itu, membelah jalanan yang mulai sepi. Mengingat sekarang sudah pukul sebelas malam.
"Bertahan, Sayang. Kita ke rumah sakit." Samar, namun terdengar. Betapa lembutnya Ayah mengajak Bunda berbicara. Seolah menenangkan, padahal dirinya sendiri, lah, yang sedang panik dan ketakutan. Cemas akan kesehatan istrinya.
Amran menyarankan untuk mereka datang ke puskesmas terlebih dahulu, karena pun, jaraknya lebih dekat, jadi Bunda bisa mendapatkan pertolongan lebih cepat. Tapi Ayah menolak. Ayah mau langsung ke rumah sakit saja, biar Bunda bisa ditangani lebih baik di sana.
Amran dan Filza manut.
"Ayah, Dek, Bunda kenapa?"
"Bunda ..."
"Bunda gapapa, Nak." Suara Filza terhenti. Saat Bunda berusaha menjawab dengan suaranya yang melemah.
"Sepertinya darah tinggi Bunda kambuh," jawab Ayah.
Amran mengangguk. Bunda memang punya riwayat darah tinggi, entahlah bagaimana detailnya, Amran kurang mengerti. Tapi dulu Bunda pernah sampai dirawat inap di rumah sakit karena darah tingginya naik. Mungkin karena itu juga Ayah jadi insiatif untuk menyuruh Filza mengemas pakaian Bunda tadi.
Beberapa menit kemudian akhirnya mereka pun tiba. Filza turun duluan. Bergegas pergi ke IGD untuk meminta bantuan pada dokter atau perawat di sana. Tak lama beberapa orang berseragam putih itu pun keluar sambil membawa brankar.
Perlahan, Bunda pun dipapah untuk rebah di atas brankar, lalu segera dibawa ke IGD. Amran dan Ayah dimintai salah perawat untuk tidak mengerubungi pasien-yaitu Bunda-saat dokter datang memeriksa.
"Biar anak perempuannya saja yang mendampingi," kata perawat laki-laki itu. Entahlah mengapa harus demikian. Mungkin, karena yang terlihat sangat panik saat ini adalah Ayah dan Amran. Filza pun sebenarnya panik, tapi sepertinya emosinya sekarang sedang lebih stabil. Walau dengan berat hati, namun Ayah dan Amran tetap mengikuti arahan.
Mereka duduk di sebuah kursi besi berderet itu.
"Ayah." Amran memegang pundak pria di sampingnya. Pria itu tampak sangat gelisah. Keringat dan air mata ternyata sudah bercampur di wajahnya yang mulai keriput. Pria itu menoleh pada putranya.
"Insyaallah, Bunda baik-baik aja, Yah."
Entah siapa yang memulai. Kini kedua laki-laki itu sudah saling merangkul. Hambur dalam peluk.
"Ayah gak sanggup lihat Bunda kesakitan," lirih Ayah Daud. Suaranya sudah parau.
Amran berusaha menenangkan Ayah, walau dirinya pun tak kalah gundah.
Amran diam-diam tersenyum kecil. "Ayah sayang banget, ya, sama Bunda."
Amran perlahan mengelus pundak Ayah. Pundak yang selama ini menjadi yang paling kuat, tegar, tempat semua orang bersandar. Namun hari ini tampak hampir meroboh, karena pujaan hatinya sedang terbaring sakit di sana.
"Orang yang kita cintai memang sangat berarti dalam hidup ini, ya, Yah.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Layu
Mistero / Thriller🥀🥀🥀 Malam itu terjadi begitu saja. Kecelakaan besar yang datang dengan ganas dan merampas nyawa perempuan yang selama ini Amran cintai dalam diam. Andai kecelakaan itu tidak terjadi, maka seharusnya besok adalah hari bahagia di mana ia akhirnya a...