20. Untungnya Tidak Terjadi

2 1 0
                                    

Dunia gelap.

Amran mengerjap-ngerjap, berusaha membuka matanya. Seolah jiwanya belum kembali seutuhnya.

"Abang..."

Suara itu, suaranya Bunda.

"... Abang kenapa?"

Suara penuh nada khawatir dan cemas. Nada yang datang karena rasa sayang, namun tidak suka Amran dengar. Amran tak suka, jika dirinya membuat orang lain khawatir, terutama Bunda.

"B-bunda?"

Cahaya mulai menerobos mata. Amran akhirnya sadar dengan apa yang terj6di depannya.

Ia tengah berbaring di ranjang kamarnya, dengan dikelilingi beberapa orang. Kaget. Cepat-cepat ia bangun dan duduk.

"K-kenapa kalian kumpul di sini?" Amran menatap heran. Di sana ada Ayah, Filza, dan Bunda yang kini sedang menggenggam tangannya.

"Abang. Abang, kenapa, Nak?" lirih Bunda. Sedangkan Amran hanya bisA menatap heran. Tak paham apa yang terjadi.

"Tadi Abang teriak-teriak, Bang. Nangis, meraung, dan suaranya  terdengar sampai ke luar. Tapi kamarnya terkunci. Semuanya panik, kirain Abang kenapa-napa. Akhirnya ayah dobrak pintunya, dan ternyata kamu lagi mengigau dalam tidur." Amran terbelalak mendengar cerita ayah.

"Nak," panggil Bunda. Wanita paruh baya itu mengelus lembut Surai rambut putranya. "Kamu kenapa? Ada masalah?"

"G-gak, Bunda. Amran baik-baik aja kok."

Si bujang refleks mengulum bibirnya. "Tolong, tahan sebentar. Jangan bereaksi aneh-aneh sekarang!"

"Kalau Abang baik-baik aja, kenapa bisa sampai mengigau begitu. Biasanya orang akan mengalami hal seperti ini jika sedang banyak masalah. Abang ada masalah apa? Cerita sama bunda, ya, Nak."

Mata Bunda sudah berembun. Sungguh, Amran tak tega melihatnya.

Amran balas menggenggam tangan Bunda. "Amran baik-baik aja, Bunda. Bunda, jangan khawatir, ya."

"Abang, kan, baru selesai makan tadi. Terus langsung masuk kamar. Berarti belum lama, kan, Abang tertidur? Abang mimpi buruk, atau kenapa? Cerita, Sayang, cerita sama kami."

Keluarga ini adalah salah satu rezeki terbaik yang Amran miliki. Benar, mereka akan sangat siap mendengarkan semua cerita Amran. Tapi, Amran yang tidak akan pernah siap untuk bercerita tentang semua ini.

Amran menoleh. Menatap Ayah dan Adiknya yang juga masih berdiri di sana. Dengan tatapan yang sama, ya, sama khawatir.

"Mungkin, Amran memang mimpi buruk tadi, tapi Amran gak ingat mimpi apa. Bunda, Ayah, Adek, Amran baik-baik aja, oke?"

"Amran ..." Ucapan Amran terputus. Kerongkongannya tiba-tiba terasa tidak nyaman, sampai membuatnya terbatuk-batuk.

"Adek ambil air! Cepat!" Filza buru-buru melakukan perintah Bunda.

"Ini, minum dulu, Bang."

Amran langsung mengambil segelas air yang Filza sodorkan. Meneguknya sedikit buru-buru.

Deja vu? Rasanya hampir mirip saat di malam itu ia buru-buru meneguk air dari si pemuda serba hitam.

"Udah, kita biarkan Amran untuk istirahat dulu," tegas Ayah. Kini beliau pun ikut duduk di sebelah Amran. "Kalau udah siap cerita, tolong, cerita ya, Nak. Semuanya siap mendengarkan Amran. Amran gak sendirian, ada keluarga yang akan selalu bersama Amran."

"Ayah." Amran lirih, lalu bagai melebur saat Ayah Daud menariknya ke pelukan.

Saat itu Amran baru sadar, bahwa ternyata ada seseorang lain yang berdiri di ambang pintu. Agak bersembunyi, seperti mengintip sedikit-sedikit.

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang