8. Kendali Diri

3 1 0
                                    

"Sakit itu wajar, mau sakit jasmani maupun rohani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sakit itu wajar, mau sakit jasmani maupun rohani. Derajat dua macam sakit ini sama, dan sudah seharusnya semua sakit itu dicari penyembuhannya. Karena tidak mungkin seseorang yang sedang demam disuruh dokter untuk beribadah dan cukup bersyukur saja tanpa ada resep obat. Please, stop illnes shaming."

༄࿐ ༄࿐ ༄࿐

Waktu berputar tanpa henti. Berjalan memberi ruang-ruang kehidupan baru di tiap harinya. Memberi wadah untuk bercerita, atau bahkan mengulang cerita.

Sudah hampir seminggu Amran di rumahnya. Menikmati ruang terindah dalam hidupnya, keluarga.

Hari ini mereka mengadakan pesta bakar kecil-kecilan. Berempat, mereka memanggang beberapa macam makanan bersama-sama. Ada ayam panggang, sosis, dan sate daging. Mereka menata waktu bersama yang menyenangkan.

Acara bakar-bakar dimulai dari siang hari sampai petang, lalu lanjut dengan menikmati hidangan bersama. Tadi mereka membagi tugas. Bunda dan Filza menyiapkan objek yang ingin dipanggang, ayah menyiapkan arang dan panggangan, dan Amran yang menyiapkan perbumbuan. Amran mahir sekali urusan itu. Siapa pun yang menyicip masakan Amran pasti akan tergoda iman perutnya. Sangat menggugah selera.

"Abang." Amran sedang mengiris bawang, langsung menoleh pada sumber suara yang memanggilnya.

"Hmm."

"Abang!"

"Iya, apa? Kan udah dijawab juga!"

Filza cengar-cengir. "Huh! Biasa aja kali gak usah marah-marah."

"Ya? Filza manggil, tapi gak ngomong ada perlu apa!"

"Hehe. Hmm, a...anu, Bang."

"Apa?"

Amran berhenti sebentar, menunggu kalimat selanjutnya yang akan si adik ucapkan.

"Huh." Bukannya bicara, gadis itu malah menghela napas panjang. Membuat Amran bingung ke mana maksud obrolan ini.

"Apa? Ngomong aja sih! Sama abangnya sendiri juga!"

"Emang kalo aku ngomong sesuatu yang rahasia, Abang bisa gak ember?" Filza menatap serius

Amran menelisik. "Ember?"

"Iya. Entar, malah apa yang mau Filza ngomongin malah kesebar lagi."

"Filza anggap abang gak amanah?"

"E...eh, b...bukan gitu." Filza gelagapan. "Ada yang mau Filza tanyain sama Abang, tapi takut. Jadi, nanti malam aja ya. Setelah bakar-bakar. Kita bicara empat mata," ucap Filza, sambil mengarahkan dua jarinya bolak-balik dari arah matanya ke mata Amran.

"Oke." Amran melanjutkan mengiris bawang. Filza pun lanjut mengurus pekerjaannya.

Mereka menikmati waktu berharga bersama.

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang