24. The Night After Meet

2 1 0
                                    

Langit sudah diselimuti gelap. Bahkan bintang dan bulan pun tak terlihat di hamparan hitam itu.

Sunyi.

Ruang hening menguasai. Sepertinya pra makhluk hidup sudah kembali ke kasurnya masing-masing.

Amran melirik perkakas waktu di dinding . "Sudah pukul dua belas malam," gumamnya.

Si bujang merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Merekatkan diri dari huru-hara kegiatan seharian.

Dimulai pagi hari mengurus dokumen-dokumen di universitas yang menerimanya, lanjut ke perpustakaan kota untuk mencari referensi materi, kemudian ke toko buku, bertemu Aisyah, dan menghabiskan sisa siang bersama di warung bakso.

"Huh."

Amran menghela napas berat.

"Terlalu kejutan." Ia bergumam, sambil perlahan memejamkan mata, namun tidak tertidur. Pun merebahkan punggung tangan di dahi, lelah, seolah beban luka baru menimpanya.

Sayangnya, memang ada luka baru.

"Bu Lina."

Ia terbayang wajah beliau. Seorang psikolog yang ia temui satu tahun yang lalu. Seseorang yang awalnya asing, namun bisa membuat Amran bebas nan nyaman bercerita akan semua isi hatinya. Senyuman wanita paruh baya itu teduh, namun tegas. Ia lembut, tapi kadang sarkas. Seperti saat-saat ia menyindir Amran yang pernah hampir dua bulan tidak datang konsultasi.

"Seperti kuah gulai lupa garam, ya. Baru hampir pulih saja tapi kamu sudah lupa dengan penawarnya. Giliran kambuh baru panik." sarkas beliau waktu itu.

Setiap mengingat Bu Lina, akan selalu ada rasa takjub di pikiran Amran untuk beliau. Memang itu sudah tugas dan profesi beliau, namun cara beliau memperlakukan pasiennya, benar-benar selayaknya manusia yang memanusiakan manusia. Gaji untuk hidup ada, tapi hatinya juga sangat tulus.

"Huh."

Amran merasakan sesak di dadanya.

"Innaalilahi wa innaa ilaihi raji'un." Bibirnya bergumam kelu.

Setetes air mata mengalir begitu saja.

Semalam Amran sempat menghubungi klinik jiwa tempatnya terapi. Ia terpaksa langsung menghubungi ke sana, karena Bu Lina yang sudah beberapa kali dihubungi namun tak kunjung ia dapat balasan. Sampai akhirnya tadi siang, Amran mendapatkan konfirmasi kabar dari klinik tersebut. Kabar, yang tak pernah disangka akan ia dengar secepat itu.

Seharian ini hampir semua terjadi dengan penuh kebahagiaan. Sampai akhirnya siang tadi sebelum menuju warung bakso bersama Aisyah. Amran mengecek notifikasi dari ponselnya, dan mendapatkan informasi bahwa Bu Lina telah tiada. Jadi pihak klinik ingin melakukan pemindahan jadwal terapi Amran dengan psikolog lain. Namun Amran menolak.

Remuk sekali hatinya saat mendengar itu. Tidak akan semudah itu untuk membuatnya memulai semua adaptasi itu dari awal. Remuk sekali hatinya, saat mendengar bahwa sosok yang sudah ia anggap seperti keluarga itu telah tiada.

Tadi. Rasanya ia ingin menangis langsung, namun ia sudah terlanjur mengajak Aisyah makan, jadi, tak mungkin digantikan dengan edisi melihatnya menangis.

Entahlah kekuatan dari mana, tapi tadi selama bersama Aisyah, rasanya Amran bisa mengontrol emosinya. Seolah ia bisa sedikit menjadi baik-baik saja.

Setelah dua tahun lebih ia tak bisa membendung segala gejolak emosi. Dua tahun lebih ia harus langsung berlari, bersembunyi, diam-diam saat emosinya nyaris ingin meledak. Akhirnya hari ini ia bisa sedikit mengontrolnya. Walau diam-diam air mata tetap jatuh, tapi tadi, rasa gugup malah lebih menguasai dirinya.

Naas sekali diri.

"Semoga Bu Lina mendapatkan tempat terbaik di sana. Amran akan selalu doakan Ibu. Amran janji, akan terus berusaha untuk sembuh, bahkan walau dengan atau tanpa terapi dari Ibu, atau psikolog lainnya. Amran akan kuat, Bu."

Ya. Amran harus kuat. Tidak boleh ia jadikan sia-sia semua perjuangan Bu Kina selama ini.

"Aisyah." Nama itu spontan tersebut dari lisanbsi bujang.

"Kenapa? Kenapa aku bisa akrab dengannya? Bahkan, aku yang memintanya untuk tidak canggung denganku?"

Senyuman gadis itu terbayang nyata. Saat dia menunduk karena merasa tak enakan, saat ia tersenyum malu karena Amran memanggil namanya sedikit berteriak, saat ia tertawa kecil karena beberapa lelucon garing dari Amran, dan saat ia akhirnya mulai nyaman bercerita dengan Amran. Memori-memori itu sangat lancang menguasai pikirannya di saat seperti ini.

Mengingat wajah di periang tapi pendiam itu. Amran merasa ada sesuatu yang tak biasa. Seperti ada yang seharusnya terjadi tapi belum terjadi, dan seperti ada yang pernah terjadi tapi ia tak ingat.

"Kamu siapa, Aisyah? Kenapa wajahmu seperti tidak asing? Di kesempatan mana kita pernah berjumpa?"

~~~

Hal yang sama sedang terjadi di bawah atap lain. Di sebuah bilik serba merah muda. Dihiasi banyak benda lucu nan centil.

Terlihat si pemilik kamar sedang duduk di atas sajadahnya, sambil bersandar pada kayu-kayu menyanggah ranjang.

Gadis itu sudah selesai menunaikan salat isya, pun, sudah selesai mengulang-ulang hafalannya. Namun ia masih enggan bangun dari sana. Masih nyaman di atas bulu-bulu busa sajadahnya.

Tapi tak senyaman itu. Pikirannya sedikit ribut. Di keheningan, si gadis pemilik kamar itu menangis tanpa suara.

"Abi," lirihnya.

"Maaf." Suaranya mulai parau. "Maaf, karena mengecewakan Abi. Maaf, karena Aisyah belum bisa benar-benar sembuh bahkan sampai Abi udah gak ada."

Gadis itu usap pelan pipinya. Lalu ia tatap jemarinya yang basah dengan air mata. Mengingat seseorang yang selama ink selalu setia menemani putrinya. Tak pernah membiarkan putrinya menangis. Seorang pria hebat yang akan selalu memeluk putrinya kala rapuh. Seseorang yang sangat ia cintai
Abi.

"Aisyah rindu Abi."

Aisyah ingat betul. Bagaimana abi selalu merangkulnya. Menggendong putri kecilnya yang suka jatuh dari sepeda, jatuh dari pohon, dan jatuh dari berbagai tempat lainnya. Namun beliau tak pernah marah.

Abi tak pernah marah. Abi malah akan memberi semangat pada putrinya untuk mau mencoba hal-hal gila itu lagi.

"Anak Abi hebat, mau belajar manjat pohon ya? Udah gapapa jatoh, nanti kapan-kapan, biar abi ajarin cara jadi pemanjat yang handal, oke?" Begitu ujarnya kala itu.

Pria hebat yang selalu menyayangi keluarganya. Tak pernah mau meneteskan air mata di depan siapa pun, namun diam-diam mengkhawatirkan jiwa-jiwa yang ia kasihi. Hingga akhirnya, hari itu. Kejadian buruk terjadi pada Aisyah. Tidak, itu bukan kejadian buruk. Tapi itu kejadian yang sangat buruk. Itu musibah.

Semua terjadi begitu saja. Membuat si pria hebat akhirnya menangis terang-terangan. Aisyah ingat bagaimana abi memeluknya dirinya erat. Sangat erat. Aisyah yang lebih muda, hari itu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan abi, pun, abi yang tak bisa membendung air matanya.

"Nak, kamu hancur maka abi juga hancur. Kita obati ini semua bareng-bareng, ya, Nak."

Seolah Aisyah bisa mendengar suara itu.

"Abi, Aisyah rindu."

Tangis yang tadinya tanpa suara kini mulai semakin sesenggukan.

Malam itu, tanpa sadar Aisyah akhirnya tertidur di atas sajadahnya. Hingga tengah malam nanti umi masuk ke kamarnya. Sebenarnya mau ajak mengobrol, tapi malah menemukan putrinya sudah tertidur.

"Aisyah. Nak, bangun. Ayo tidur di kasur."

Mawar LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang